NADA RASA TAK TERUNGKAP

5 1 0
                                    

Kelas sudah penuh, hanya tersisa kursi-kursi di barisan depan yang masih kosong. Aku, Ney dan Vano terpaksa harus mengisinya. Pak Narda, dosen matakuliah Teater belum masuk. Ini adalah suatu keheranan yang sangat diherankan sepanjang belajar dengannya baru kali ini beliau telat masuk.
Elangga Septa Andala, dia terus menatapku membuatku tidak nyaman karena merasa risih dibuatnya. Laki-laki itu sudah lama menungguku, awalnya dia sama dengan Vano hanya sebatas teman akrab yang sering diskusi beberapa hal mengenai sastra. Tapi hubungan kita menjadi renggang karena secara terang-terangan dia menyatakan perasaannya padaku ketika duduk di semester 2. Aku menghiraukan hal itu, rasanya sebuah jalinan pacaran itu hanya untuk membuang-buang waktu saja. Tidak penting untuk ada. Aku lebih suka sendiri dan fokus melahirkan karya-karya terbaik agar bisa bahkan lebih seperti yang eyang dapatkan.
Dia tampan, ku akui itu. Memiliki alis tebal, kulit eksotis, tinggi dan lesung pipi yang membuatnya sungguh terlihat manis ketika senyum. Setelah dia menyatakan perasaannya padaku, aku tidak pernah melihat atau mendengarnya dekat dengan perempuan manapun. Malah yang ku dengar adalah ia di dekati perempuan. Dasar para perempuan yang kecentilan! Yang ku tahu dari dirinya, dia itu adalah seorang ketua himpunan mahasiswa jurusan sastra Indonesia, dan juga ketua dari UKM yang ku ikuti yaitu jurnalistik.
Semenjak kejadian itu, walau sudah lama tapi ada rasa canggung yang menyelimutiku entah kenapa hal itu bisa terjadi. Aku tidak mengetahui secara langsung bagaimana rasaku padanya, namun selama ini aku hanya beranggapan semua hal yang berhubungan dengan cinta itu hanya sebuah omong kosong yang tak seharusnya ada dalam kehidupan manusia. Laki-laki itu tidak bisa dipegang janjinya, gampang lupa mungkin atau bisa jadi pengaruh faktor luar yang diakibatkan dari banyaknya perempuan yang sedang dekat dengannya atau mungkin yang sedang dia dekati.
Aku tidak peduli dengan apapun itu urusan yang berkaitan dengan cinta. Yang ku harap dari itu adalah, silahkan ada tapi jangan menyangkut pautkan diriku untuk masuk ke dalam sana. Ku harap Tuhan akan mengabulkan apa yang menjadi harapanku, walau ku tahu itu adalah kodrat dari seorang manusia.
“Widihh si Elang cakep amat ya da,” ucap Ney.
“Biasa aja,”
“Husshhh.. cakepan juga gue kali Ney haha,” ucap Vano.
“Ah sama aja,” timpalku.
“Ih apanya yang sama? Bedalah jelas-jelas cakepan Elang daripada lo Van, jangan so kegantengan deh!” ucap Ney pada Vano.
Mereka terus berdebat tiada henti, bagai kucing dan tikus atau kalau dalam film kartun itu ibarat Tom and Jerry. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah dua sobatku ini. Ku akui, semua tingkah mereka adalah suatu hal nyata yang membuatku merasa terhibur.
“Elangga cocok sama lo ya Arda,” ucap Ney tiba-tiba.
Entah kenapa aku hanya bisa diam dan membungkam rapat mulut tanpa bisa mengeluarkan suara. Jantung berdetak serasa lebih kencang dari biasanya, entah apa yang terjadi rasanya diriku mulai merasa lemas karena ucapan spontan yang dilontarkan oleh Ney.
Seharusnya ini tak boleh terjadi, apapun alasannya ini tak boleh terjadi. Aku rasa hati sedang keliru. Mendadak keringat dingin jatuh tanpa di sadar, aku tidak bisa menjelaskan apa yang benar-benar terasa. Hanya aku yang tahu bagaimana rasanya dan hanya aku juga yang hanya merasakan ini.
“Apasih Ney? Gue gak suka ya dibilang gitu,” protesku.
“Ciee Arda marah Cieee,”
“Hushhh.. berisik kalian berdua! Tuh Pak Narda udah di depan tahuu,”
Aku dan Ney pun diam, dikarenakan kedatangan Pak Narda ke kelas. Kelas pun yang tadinya riuh mendadak menjadi sunyi. Mungkin mereka takut, aku pun sama. Yah maklumlah takut, yang mereka anggap kan Pak Narda ini termasuk dosen paling killer di antara dosen-dosen yang mengajar di semester 5 ini.
***
Cinta hadir tanpa kita minta, layaknya tamu tak terundang. Datang semaunya dan pergipun semaunya tanpa ucapan sebuah permisi.
Bila ku tahu jika pada kenyataannya aku mempunyai rasa padanya, apa yang harus ku lakukan? Jujur saja, aku sangat takut untuk jatuh cinta. Semoga ini bukan cinta, aku tidak ingin punya hal ini Tuhan.
Jangan biarkan aku untuk kembali merasakannya, cukup sekali dan kesimpulan yang ku dapat adalah, bahwa cinta itu sungguh menyakitkan. Kenapa harus begitu Tuhan? Kenapa harus sesakit ini?
Mungkin ini adalah hal gila yang tak perlu ku bahas, seharusnya. Tapi aku disini hanya ingin bicara kenyataan yang ku rasa. Silahkan orang bebas mau menolak, tapi inilah kenyataan yang ku dapat dari sebuah nama “Cinta”. Berbeda itu wajar, aku tidak marah jika pendapatmu dan pendapatku tak sama. Tapi jangan juga berprotes jika aku berkata, kalau cinta itu sumber segala sakit yang paling menyakitkan yang tak kasat mata.

ARDANARFITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang