HATE

27 4 18
                                    

"aku membencimu." -Hoseok

-------

Sang surya telah kembali ke peraduannya sejak dua jam yang lalu, langit pekat malam telah menggantikan sendu senja yang beberapa saat sempat membayang.

Gemerlap cahaya kota terbias sempurna pada permukaan Sungai Han, terlihat begitu indah dengan suasana gelap yang menjadikannya satu titik fokus pemanja indra.

Hanya duduk, menyenderkan tubuh rapuh yang seolah tak ada daya bahkan hanya untuk berdiri menumpu masanya.

Pandangannya jauh menerawang menghadap lurus, namun satu objek pun tak tertangkap fokus oleh netranya. Bahkan indahnya biasan cahaya kota seakan tak terlihat olehnya.

Baginya,

...segalanya telah mati.

Rasa cinta yang dulu di genggamnya telah pergi. Menyisakan sebuah jiwa yang begitu sarat akan kehidupan.

Senyum secerah mentari sudah lenyap tak berbekas pada wajah rupawannya, rasa rindu telah lama menjelma menjadi benci. Tak ada yang tersisa darinya.

Gadis itu, gadis yang telah merenggut hangat mentari di siang harinya. Gadis itu, gadis yang juga telah merenggut bintang dan rembulan dari malamnya. Tak ada yang tersisa kecuali hanya ruang hatinya yang hampa.

Ingin menjerit.

Ia bahkan sudah melakukan itu puluhan, ah tidak -ratusan kali.

Ingin memaki.

Ia sudah memaki dirinya sendiri selama ini.

Ingin mengutuk.

Baginya, hidupnya bahkan sudah lebih dari terkutuk.

Tangannya menengadah membiarkan satu persatu putihnya salju mendarat pada permukaan telapak tangan hangatnya.

The first snow fall

Malam salju pertama yang menyakitkan untuknya.

Malam salju pertama yang ia temui dalam kesendiriannya.

Malam salju pertama yang membuat air matanya kembali menganak sungai di kedua pipinya.

Tangannya tergenggam kuat, mencoba menyalurkan setiap rasa sakit yang mencekiknya selama ini. Susah payah ia menelan semua air mata serta pahitnya penghianatan sebagai bayaran atas kesetiaan cintanya selama ini.

Berulang kali ia meraup oksigen dengan rakusnya. Namun, seolah menolak rasa sesak itu semakin memenuhinya. Menjeratnya dalam duka.

Puluhan jenis pahitnya pil kematian sudah ia telan, namun Tuhan selalu mengembalikannya pada kehidupan yang bahkan tak lagi ia inginkan.

Seakan belum cukup, takdir turut serta mengajaknya bercengkrama lewat puluhan luka koyak yang tak lagi mampu ia tutupi. Tangisnya pecah, isakan pilu telah lolos dari kendalinya.

Air mata yang susah payah ia tahan telah tumpah tanpa seijinnya meninggalkan jejak di kedua sudut matanya sebagai bukti dalamnya luka yang sudah ia coba sembunyikan dari dunia, dari dunia kecil yang terus mengejek kerapuhannya.

FICTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang