Autumn to Spring

32 3 5
                                    

Ini bukan tentang mereka.

Bukan tentang dia.

Juga bukan tentangmu.

Ini hanya tentang diriku, aku dan semua rasa lelahku.
Takdir mempermainkanku,
Dunia menghinaku.
Mereka semua sama saja.

Benci.

Ya, aku benci diriku. Benci ketika kaki ini tak lagi mampu melangkah, bisa ku lihat wajah mengejek mereka. Mereka membenciku, begitu pula diriku. Aku benci diriku.

Menyedihkan.

Seperti sebuah boneka bernyawa yang berada di tengah keramaian manusia lainnya, tenggelam dalam hiruk pikuk kesibukan jutaan manusia. Disinilah aku.

Menikmati kesendirian dalam baur aroma musim semi, tak ada yang istimewa memang.

Hanya saja,

...mereka indah.

Kembali ku tegaskan, bahwa ini memang bukan tentang dirimu. Sudah berulang kali ku katakan, bahwa aku akan menghapusmu. Membuangmu dari hidupku.

Namun musim semi kembali, menghapus jejak putih dingin yang membekukan. Seolah membenarkan bahwa memang tidak akan pernah ada yang abadi. Begitupun aku, seberapapun aku ingin melupakanmu, aku takkan pernah bisa.

Rindu itu kembali hadir. Saat ini, di musim semi.

Dari bunga yang tertiup angin, Aku merasakan aroma hangatmu.
Mengundang bayang sinar teduh matamu yang selalu mendamaikanku, erat genggam tanganmu, juga hangat peluk tubuhmu. Aku merindukannya.

Semi kali ini, tidakkah itu terlihat indah?

Tapi aku telah membencinya, sangat.

Terlebih saat kau terenggut dari sisiku, melenyapkan senyum manis yang selalu menjadi canduku, memadamkan sinar teduh matamu yang mendamaikan hatiku.

Tidakkah kau lihat air mataku? Ini menyakitiku. Merindukanmu menjadi sembilu penyayat hati.

Pertemuan singkat kita terlintas. Berlalu seperti sebuah film usang yang kembali mengulang, mengingatkanku akan semua yang telah kita lakukan bersama.
Apakah itu menjadi sangat berarti bagiku?

Di bawah langit yang sama, aku masih ingin bersamamu. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku dalam lintas waktu yang sama denganmu.

Aku takut bahwa kita kan terlupakan.

Masih ingatkah kau? Di tempat ini, kau pernah berjanji untuk kembali padaku. Dan aku menunggu.
Hingga musim terus berganti, namun rasa itu masih ada disana. Di hatiku.

Langkahku terhenti pada lahan tandus, tempat kita terakhir bertemu.

Hamparan ilalang yang menari tersapu angin kala itu menjadi satu-satunya hal yang menyejukkan untuk dipandang. Bahkan sebatang pohon yang seolah mati masih terlihat kokoh berdiri di tempatnya.

Dan saat itu, kau berdiri disana. Dengan tatapan sendu khasmu, dan sebuah senyuman manis yang selalu mampu membuatku terlena.

Aku selalu beranggapan bahwa kau adalah musim kelimaku, terlihat seperti musim gugur sekaligus semiku. Begitu damai dan indah.

Terasa manis, namun kenyataan kembali menghempaskanku. Menyadarkanku bahwa kau telah pergi.

Aku benci ketika kita tak lagi mampu untuk bertemu, kau telah layu. Bahkan ketika aku mencoba untuk melihatmu, aku tak lagi bisa.

Seperti semua daun-daun kering yang berguguran, seperti enyahnya hal-hal yang kukira akan abadi. Perasaan kalut terus membayang, serpihan demi serpihan ingatanku tentangmu mulai memudar. Aku takut.

"Aku merindukanmu."

Satu kalimat yang terasa amat menyakitkan bahkan hanya untuk diucapkan.

"Aku mencintaimu Jim, sungguh."

Sebuang pengakuan yang selalu ingin ku katakan, namun pada akhirnya hanya menjadi sebuah kalimat yang menggantung di ujung bibirku.

"Ku mohon, kembalilah."

Satu harapan yang sama sekali takkan pernah terwujud.

Karena kau telah pergi. Musim gugur telah merenggutmu, melenyapkan tatap teduhmu bersama musim dingin, namun aku yakin,

...Kau akan kembali, menjadi musim semi yang akan memberi warna pada dunia. Juga hidupku.

FICTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang