Seorang lelaki berusia 40 tahun bernama Bagas itu berada di tengah pusaran yang telah ia bentuk. Sekitar 9 orang berada di sana mengelilinginya sambil menghangatkan diri. Baru saja seorang lelaki berusia 22 tahun bernama Rayi, membuat api unggun di tengah-tengah mereka. Semakin malam, hutan itu memang semakin dingin dan bernyamuk.
"Sekarang gini. Kita gak punya jalan lain selain bertahan hidup sampe ada yang nemuin kita. Tadi saya dan beberapa orang sudah mengumpulkan Makanan kaleng dan snack dari pesawat yang masih bisa kita makan. Jumlahnya lumayan. Tapi kita gak tau sampe kapan kita ada di sini, jadi kita harus irit-irit bahan makanan." Ujar Bagas menjelaskan. Ia sudah seperti komandan perang yang kini sedang memimpin pasukannya.
"Gak jauh dari sini ada sungai. Kita bisa minum dari sana. Kita juga bisa cari ikan yang mungkin bisa kita makan." Ujar Rayi menambahi. Ia tergabung dengan MAPALA, atau mahasiswa pecinta alam. Jadilah ia tau bagaimana untuk hidup di alam liar.
"Di sini ada yang dokter? Atau kaya Rayi, yang bisa bantuin kita selama di sini?" Lagi-lagi bagas bertanya. Dua orang yang berada di arah belakang Bagas mengacungkan tangannya. Bagas pun menggeser tubuhnya menghadap kebelakang.
"Saya Fida. Suster." Jelas wanita itu. Roka sudah tau itu, karena Fida sempat membantunya memerban kaki Quenzi yang sobek. Lelaki itu sadar sekitar 2 jam yang lalu, tentu saja membuat Roka akhirnya bisa bernapas lega.
"Dan anda?" Mata Bagas terarah pada lelaki yang duduk tak jauh dari tempat Fida duduk. "Putra, saya dokter spesialis organ dalam."
"Bagus." Lelaki itu langsung menepuk tangannya sekali, "Tolong kalian berdua bantu orang-orang yang lain, kalo mereka sakit atau butuh sesuatu. Kita nemuin kotak P3k yang isinya cukup banyak, mungkin bisa membantu." Fida dan Putra pun saling menoleh sebelum akhirnya menganggukan kepalanya.
"Oiya, di sini ada yang punya penyakit khusus?" Mata Bagas beredar memandangi lingkaran orang itu satu persatu.
"Ada." Mata Bagas berhenti pada sosok laki-laki yang bajunya tak kalah kotor dan compang-camping seperti miliknya. Wajah tampannya tertutup tanah dan juga berbagai bercak darah. Itu Roka. Matanya langsung menoleh kearah Quenzi yang sedang menunduk di sampingnya.
"Adik saya. Quenzi. Thalasemia Mayor."
Beberapa orang langsung menutup mulutnya, terlebih Fida yang tadi membantu anak itu menutup lukanya. Selain itu, Seorang gadis yang duduk di sebelah Quenzi langsung menunduk dalam. Menyembunyikan ketakutannya dan air mata yang mulai mengalir.
Pagi tidak pernah tau kalau Quenzi benar-benar sakit.
🦋🦋
"Q."
Quenzi langsung mendongak begitu mendengar panggilan itu. Di lihatnya teman sebangku barunya itu berdiri di sampingnya dengan wajah yang tak lagi tertutup hitam-hitam. Wajahnya sudah bersih dan bajunya sudah berganti, tak lagi compang-camping seperti pengemis.
Sama seperti Quenzi. Lelaki itu juga sudah membasuh diri dan berganti pakaian. Entah baju siapa yang ia pakai. Namun semua orang mengganti pakaian dengan baju-baju yang berada di dalam tas yang masih dalam keadaan bagus.
"Kenapa, Gi?"
Gadis itu berjongkok. Menyodorkan untalan selimut yang di genggamnya, "Nih. Gue nemu ini tadi."
Quenzi tak langsung mengambilnya, ia hanya memandangi selimut berwarna kuning pastel dengan bagian ujung bawah kirinya yang sedikit hangus. Namun sebagian besar masih dapat di gunakan untuk berlindung dari hawa dingin. "Buat lo aja. Lo pasti juga kedinginan kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Quenzino
Short Story"pagi... jangan pergi kutakut malam nanti kumasih sendiri dan pagimu tak lagi indah" •Dialog Dini Hari• #15 in short story [7/6/17]