Lima : Hari yang tak pernah usai

4.2K 388 94
                                    

Di bilang kagak mau nyentuh 150, eh malah di bikin 150vote. *tebalikinmeja*

Pagi langsung melongo di tempatnya. Kedua matanya terbuka lebar memandangi sosok laki-laki yang berdiri di depan pagar rumahnya dengan cengiran lebar di bibir. Kaus hitam, berbalut boomber berwarna hijau dan celana jeans hitam panjang penampilan yang jarang Pagi lihat dari lelaki itu, karena satu-satunya tempat mereka bertemu hanyalah di sekolah. Dan pastinya lelaki itu mengenakan seragam.

"Ngapain lo?" Ujarnya sambil membuka pagar rumahnya. Bertepatan dengan terbukanya pintu berwarna hitam itu, maka tak ada lagi penghalang di antara mereka berdua.

Lelaki itu mengangkat sebuah paperbag di tangannya. Pagi langsung mengambil kesimpulan sendiri kalau itu adalah roknya yang sudah selesai di bersihkan. Dengan cepat gadis itu langsung mengambil paperbag itu dari tangan Quenzi.

"Udah? Cepet banget."

"Siapa bilang udah?" Mendengar pertanyaan Quenzi, Pagi pun langsung mengernyit. Gadis itu membuka paperbag di tangannya dan mengeluarkan rok putih yang masih terdapat noda merah yang menyebar berantakan.

"Terus ngapain lo balikin ke gue?" Gadis itu menyodorkan kembali paperbag itu hingga mengenai dada Quenzi, "Balik lagi kalo udah bersih."

"Gue mau nyucinya di rumah lo."  Pagi mengedipkan mata berkali-kali, berharap kalau sekarang ia sedang bermimpi dan akan segera terbangun. Namun setiap kelopak matanya terbuka. Lelaki itu masih berada di sana, menatapak pada aspal di depan rumah Pagi. Dengan jaket hijaunya yang melapisi kaus berwarna hitam dan celana senada. Lelaki itu nyata. Bukan ilusi yang timbul karena terik matahari.

"Lo udah gila ya?"

Lelaki itu tersenyum simpul, "Gak ada korelasinya antara gue mau nyuci di rumah lo, sama gila."

"Ada!" Jawab gadis itu cepat, "Siapa bilang gak ada?"

Quenzi mengernyitkan dahinya sambil menunggu kelanjutan ucapan Pagi, entah bagaimana ia tau kalau ucapan gadis itu belum terselesaikan. "Cuma orang gila yang dateng ke rumah orang buat nyuci. Kita bahkan gak saling kenal."

"Oh iya bener." Lelaki itu langsung menjulurkan tangan kanannnya sambil berucap, "Gue Quenzi."

Gadis itu langsung menepuk wajahnya sendiri. Tidak habis pikir kalau dirinya akan berurusan dengan mahkluk seperti Quenzi. "Bukan itu maksud gue."

"You just know my name, that's all." Jelas gadis itu lagi.

"Ternyata lo lebih ribet dari Quotes-quotes di timeline Line gue ya."

Tanpa permisi, Quenzi langsung kenarik tangan kanan Pagi dan memaksa gadis itu untuk menjabat tangannya yang sejak tadi terjulur. "Salam kenal."

Dengan kasar, Pagipun menarik kembali tangannya dan mundur perlahan, seolah Quenzi adalah seorang pembunuh berdarah dingin. "Mending lo pulang."

"Kan gue belom nyuci." Lelaki itu mengangkat paperbag di tangannya seolah ingin mengingatkan Pagi tentang niat awalnya datang kesana.

"Nyuci sana di rumah lo!" Gadis itu langsung buru-buru menutup pintu gerbangnya. Bahkan ia mengaitkan gembok rumahnya agar lelaki itu tidak bisa masuk.

"Yaelah Gi. Gue udah jauh-jauh kesini juga."

"Gue gak pernah nyuruh lo kesini. Jadi mending lo pulang."

Bukannya pergi, lelaki itu malah menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan menegapkan tubuhnya seolah ia patung yang sengaja dibuat untuk menempel pada aspal itu dan tak bisa di pindahankan. "Gak mau."

QuenzinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang