Balada Sepatu

1K 48 8
                                    

   Aku seorang sepatu. Yang di beli oleh wanita ketika aku lahir dulu. Setiap sepatu dilahirkan sepasang, kiri dan kanan. Bagai sisi dua mata uang, kami tak dapat dipisahkan. Bila salah satu dari kami rusak, yang lain akan menyusul. Bila yang satu hilang, yang lain mungkin dibuang.

   Ketika sampai di rumah baru, aku punya banyak kawan, Sang Meja Lampu, Pak Rak Buku. Dengan sigap aku berkenalan. "Hei, namaku Sepatu!"

   Yang aku heran, mereka sangat bersahabat. Bercerita tentang kesenangannya menghuni rumah. Apalagi Pak Rak Buku, dia bangga menjadi tempat berteduhnya ilmu. Banyak buku yang tinggal disana, banyak ilmu yang dia tahu. Ada buku metafisika, reaksi kimia, bahkan buku kumpulan cerita rakyat. Dia menceritakannya satu persatu, memperkenalkan buku-buku itu padaku. Aku senang, kini aku punya banyak teman.

   Lain halnya dengan Pak Rak Buku, Sang Meja Lampu berwajah sendu. Ketika kutanyakan mengapa, dia bilang tidak tahu. Lalu Pak Rak Buku menjelaskan padaku, bahwa Sang Meja Lampu sedang rindu.

   Rupanya Sang Meja Lampu jatuh cinta pada Lampu Terawang. Tapi Sang Meja Lampu tak mau mengaku. Mungkin Lampu terawang begitu angkuh. Lehernya tinggi menjulang, tak mungkin menunduk melihat Meja Lampu. Kepalanya yang bercahaya membuat Lampu Terawang terang, bagai bintang, gemilang. Itu sebabnya Sang Meja Lampu tak mau mengaku, tapi Pak Rak Buku tetap tahu, karena dia punya banyak ilmu. Dari ilmu fisika sampai kimia saja bisa, apalagi ilmu tentang jatuh cinta. Aku tersenyum geli mendengarnya, cuma dalam hati saja. Karena kalau aku tertawa, pasti Sang Meja Lampu akan menderita.

   Satu hari berlalu, aku tak merasa jenuh, karena aku punya banyak teman baru. Aku tertawa, aku gembira, aku bahagia. Aku merasa beruntung, tak seperti Sang Meja Lampu. Karena aku selalu berdua, aku tak bisa dipisah. Sini aku beri tahu. Ibaratnya manusia, aku juga punya belahan jiwa. Dia selalu ada, kami selalu berdua. Dialah sepatu kiri, sepatu putih yang menjadi pujaan hati.

   Kata Pak Rak Buku, aku punya majikan, seorang manusia. Anak muda. Yang aku heran, majikanku tak pernah terlihat. Lagipula yang membeliku bukan anak muda, dia wanita tua. Lalu siapa yang akan aku panggil tuan? Si anak muda atau wanita tua itu?

   Saat malam tiba adalah waktu dimana aku melepas lelah. Melepas tawa yang dibuat kawananku tadi. Ya pastinya aku memang bahagia.

   Sesaat aku ingin menutup mata, sepatu kiri sudah tak ada. Aku melongok kebawah, aku pikir sepatu kiri jatuh, tapi tak kudengar sepatu kiri berteriak mengaduh.

   Kutanyakan kepada Pak Rak Buku dan Sang Meja Lampu, mereka bilang tak tahu. Aku gelisah, aku kecewa. Mungkin gara-gara terlalu banyak tertawa hingga aku lupa segalanya. Aku jadi ingat pesan mama. Kata mama jangan terlalu banyak tertawa, nanti bisa hilang arah. Kini aku kehilangan belahan jiwa.

   Esok paginya, kuberanikan diri bertanya pada Lampu Terawang. Meskipun angkuh, aku tahu dia akan iba. Tak kusangka, dia tak menjelaskan apa-apa. Hanya berkata aku akan tahu jika tiba saatnya. Aku merasa tak berguna, hidupku sia-sia. Sudah kubilang, aku bagai dua sisi mata uang. Selalu bersamaan, selalu bersisian. Tak dapat dipisahkan.

   Bila aku sendiri? Ya jelas sudah aku jadi tak berguna. Bagaimana bisa aku mempertanggung jawabkannya pada majikanku? Lebih baik mati saja.

   Aku tak berguna hidup di dunia, sudah kupikirkan aku seharusnya memang tak pernah lahir di muka bumi ini. Aku memang mencoba berbagai cara untuk berguna, tapi semuanya sia-sia. Sejak aku ada, aku sangat berharga, tapi sekarang, malah tak berguna. Sekarang saatnya aku mencoba hal yang kupikirkan detik-detik ini. Ya, lebih baik aku mati.

   Sebelum mati, setidaknya aku mau memperkenalkan diri. Walau hidupku tak berguna lagi, setidaknya aku tak mau mati sia-sia. Aku mau mati yang indah, yang bisa diingat seluruh dunia. Aku punya nama, jadi aku mau yang lain tahu dan mengenalnya.

   Namaku Sepatu Baru.

   Sebenarnya sampai sekarang aku masih baru, karena majikanku belum pernah memakaiku. Aku sepatu mahal, sengaja dibuat oleh tangan-tangan handal. Tangan itu menjahitku perlahan, dengan benang kuat ia mengikat erat supaya jahitanku tak lepas. Tak ada sisa benang kasar yang menempel disisian alasku. Tangan handal yang menjahitku, melabeliku dengan warna abu-abu, warna kesukaanku. Aku tercipta sempurna, seperti sepatu mahal yang ditukar dengan banyak uang. Sesekali pernah aku dipamerkan di televisi, di pajang agar ada orang yang beli. Lalu wanita paruh baya itu membeliku, menukar setumpuk uang lembaran dengan kardus yang berisi diriku. Kemudian ia menenteng kantung plastik berwarna putih biru, berjalan keluar dari area toko itu, melenggangkan pinggulnya yang tak lagi semuda dua puluh tahun lalu. Wanita berambutnkeriting berwarna kelabu itu telah membeliku.

   Kini aku berdiri di lantai tertinggi bangunan ini, mencoba untuk terjun bunuh diri. Tapi aku tak bisa mati, aku malah terpelanting tinggi. Aku baru ingat, aku sepatu mahal, makanya aku dibuat untuk kebal. Walau aku jatuh dari gedung yang tinggi, aku takkan mati.

   Kucoba untuk mati dengan cara yang lain. Aku memutilasi diri, dengan pisau belati. Tapi lagi-lagi, aku tak bisa mati. Aku sepatu mahal, pasti manusia yang membuatku sungguh handal. Entah dari kulit sapi atau getah kayu jati, aku tak bisa memotong diri.

   Kali ini aku mau mati yang indah, meminum racun serangga. Seperti gaya artis ibukota saja. Dua botol sudah ku tenggak, tapi aku tak mati-mati juga. Lalu aku ingat, aku sepatu mahal. Racun serangga hanya membuat noda, tapi tak sampai meracuni hatiku. Sungguh, tak berharganya diriku sampai mati saja tak mampu. Atau mungkin Tuhan yang tak menginginkanku mati.

   Tapi, aku harus mati. Untuk apalagi aku hidup?

   Bukan tak mau menghargai hidup, aku hanya tak bisa. Aku harus berdua. Karena bila sendiri, aku tak sanggup. Kini sepatu kiri menghilang tanpa alasan, tanpa sebuah kata salam.

   Aku putus asa.

   Untuk kesekian kalinya, aku mencari belahan hati, tapi tak kutemukan juga. Lalu pada siang harinya, sang tuan datang, aku tercengang. Bercampur baur rasa hatiku, senang bertemu dengan majikan baru. Tapi aku tercengang bukan karena senang. Yang membuatku terharu, ternyata majikanku cuma berkaki satu. Ia berjalan, dengan tiang bes sebagai penyangga. Tertatih langkahnya menahan tubuhnya. Wajahnya terlihat letih, seolah ia berjalan kaki selama tiga hari. Tapi raut mukanya bahagia tak terkira.

   Sesaat aku termangu, Pak Rak Buku menegurku. Ternyata dia tahu tentang sejarah majikanku. Katanya dulu majikanku pemain bola. Pujaan wanita, andalan negara. Lalu sesuatu terjadi padanya. Ketika ia sedang berlatih, tiba-tiba ia tak sadarkan diri. Tak jelas dan tak tahu pasti, ia pergi dengan mati suri. Ternyata, ia sudah sekian lama menderita. Kakinya sudah tak bisa lagi digerakkan lagi, lebih parahnya harus diamputasi. Padahal sebentar lagi kompetisi. Kata dokter yang memeriksa, ada kanker di tulangnya. Bisa sangat berbahaya bila tak dipenggal kakinya. Sang majikan tahu nyawa taruhannya. Tapi sebagai bintang bola, kaki adalah masa depannya.

   Entah berapa cara yang ia gunakan untuk meneguhkan hati, yang pasti akhirnya kakinya diamputasi. Itulah sedikit sejarah tentang majikanku yang tak pernah kuperdulikan sampai detik ini. Sampai akhirnya aku tahu, Tuhan memang yang Maha Tahu. Tuhan mengirimku untuk membantu kakinya yang cuma satu.

   Kini aku tahu mengapa sepatu kiri pergi. Bukan Tuhan yang benci, tapi justru ia Maha Pengasih. Ia ingin aku menemani sang majikan yang berbesar diri. Walaupun sang tuan pernah hampir mati atau setidaknya pernah ingin mati, ia tetap mempersiapkan diri untuk hidup hari ini, bukan untuk mati.

   Aku sungguh malu, ingin mati hanya karena sendu. Aku kini tahu, selalu ada alasan untuk hidup walau sendiri, tanpa sepatu kiri, tanpa belahan hati. Oh...inikah cinta yang tak harus memiliki?

   Kini aku harus bersenang hati, karena aku bangga jadi alas kaki seorang tuanku yang berkaki satu. Aku tahu, suatu saat akan mati, tapi setidaknya aku mati dengan bangga, mati dengan bahagia. Mati karena berguna.

*********************************
Holaaa, mimin balik lagi ekekekkek. Maaf karena keleletan update oneshoot story ini, maklumlah ya, mimin sibuk *emotnutupmukapakekipas. See you di next story yaaaaaa

Kecup basah dari mimin buat kaliaan😚😚😚😚😚😚😚😚

Salam,

KKKJ❤

Oneshoot Stories SerialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang