Sudah beberapa minggu ini aku selalu mengunjungi cafe. Hanya sekedar minum kopi hitam dan menikmati ketenangan. Oh, dan juga bertemu pria itu.
Sebenarnya pertemuan kami hanya pertemuan biasa. Dia duduk tepat di sampingku saat minum kopi. Melihat wajahnya yang sedikit murung, aku ingin sedikit mengajaknya bicara. Dia pria kantoran, sepertinya.
“Kau sudah disini, rupanya.”
Suara berat itu membuatku menoleh dan mendapati pria itu. Dia tersenyum singkat dan duduk di hadapanku.
“Apa ada masalah lagi dengan pekerjaanmu?” tanyaku sambil menopang dagu menatapnya.
“Tidak. Hanya saja, aku butuh seorang sekretaris. Belakangan ini banyak hal yang menggangguku.” Balasnya.
“Kalau begitu, kenapa tidak mencarinya saja?” timpalku.
“Aku bukanlah tipe pria yang suka membaur diantara orang-orang. Hanya bertemu dengan orang yang bisa diajak mengobrol saja aku rasa sudah cukup.” Jawabnya.
Aku tersenyum tipis mendengarnya.
“Hei, bagaimana kuliahmu?” tanyanya kemudian.
Aku hanya mengendikkan bahu, seakan tidak peduli.
“Bukannya sebentar lagi kau wisuda?”
Aku menghela nafas, dan mengangguk pelan.
“Masalah nilai kuliahku itu tak perlu dipikirkan. Aku dijamin lulus tahun ini. Hanya saja, ada satu hal yang mengganjal pikiranku.” Sahutku.
“Apa?”
Aku menatap mata birunya, “Masalah ekonomi.”
Dia hanya terkekeh mendengar jawaban singkatku.
“Kenapa kau harus gelisah seperti itu? Hanya masalah uang, bukan?”
Aku menggembungkan pipi dan menatapnya kesal.
“Aku ini hanya mengontrak. Tabunganku habis untuk biaya rumahku. Mungkin minggu depan aku tidak bisa tinggal di rumah itu lagi. Ditambah, biaya kuliahku yang menunggak dua bulan. Jika aku belum melunasinya, aku tidak akan bisa lulus tahun ini.” ujarku sambil memainkan sendok kopi di hadapanku.
“Aku butuh pekerjaan.”gumamku.
Tiba-tiba, sebuah tangan kekar itu mengusap kepalaku dengan lembut.
“Aku bisa membantumu.” Ujar pria itu.
Aku terbelalak, kemudian menggeleng cepat.
“Oh, tidak tidak. Ini semua masalahku, dan kau tidak perlu ikut andil.” Sahutku cepat.
“Kau akan lulus tahun ini, dan kau akan bekerja padaku.” Ujarnya.
“Apa? Tidak. Bekerja padamu? Kau mau menjadikanku pembantu?” tanyaku.
“Bukan pembantu, tapi sekretaris pribadi di kantorku.”
Aku hanya terdiam menatapnya. Benarkah?
“Aku akan membayar biaya kuliahmu besok. Biaya itu berasal dari potongan gajimu tahun depan. Jadi, kau hanya perlu bekerja menjadi sekretarisku. Impas, bukan?” Ujarnya.
“Bagaimana dengan tempat tinggalku? Aku akan diusir minggu ini.” tanyaku.
“Tinggal saja di rumahku. Kau tidak keberatan, bukan? Ini kesempatanmu!” ujarnya dengan wajah semangat.
Aku hanya menghela nafas dan mengangguk pelan. “Baiklah, terima kasih, Louis.”
Aku masih belum tahu, kenapa dia bisa sebaik ini padaku.
To Be Continued

KAMU SEDANG MEMBACA
The House
RomanceDitawari untuk tinggal berdua oleh pria yang baru saja kau kenal. Lalu tiba-tiba kau diakui sebagai tunangannya. Bagaimana tindakanmu selanjutnya?