6

35 4 0
                                    

Oh, tidak. Aku membiarkan seekor rubah memasuki kamarku.

Aku sangat menyesal mengapa aku memakai gaun tidurku yang ini, kenapa aku tidak mengambil piyama saja tadi?

Kini dengan bebas, aku terbaring di kasurku sendiri dan pria itu kini menindihku. Ini benar-benar gawat. Aku tidak bisa berkutik sekarang. Tangan kekarnya mencengkeramku dengan erat dan kasar.

Oke, aku merasa ketakutan sekarang. Matanya yang tajam tampak menatapku dengan intens. Menelusuri segalanya dari diriku. Tatapannya itu seperti menelanjangiku.

Dia sedikit mendekatkan wajahnya pada telingaku, dan membisikkan sesuatu dengan pelan, membuat telingaku merasa geli karena hembusan nafasnya. Seringai pun terlukis di wajahnya.

“Ingin mencobanya bersamaku malam ini?”

Aku meneguk ludahku dengan keras. Oke, dia sangat liar malam ini. Apakah tadi dia sempat mabuk? Oh, ayolah. Ini adalah malam keduaku tinggal disini. Apa aku harus kehilangan kesucianku di waktu sesingkat itu? Setidaknya, aku harus bisa melawannya sekarang. Karena dirikulah taruhannya.

Aku merasa bahwa tubuh yang tengah menindihku ini semakin terasa berat saja. Aku mulai merasa aneh.

“Hei, jauhkan tubuhmu dari atas tubuhku.” Gumamku.

Secara perlahan, aku mendengar dengkuran halus keluar dari bibirnya. Oh, sialan. Dia sudah membuatku gemetar begini, sekarang sudah tidur duluan? Di kamarku, pula!

Aku sedikit mendorong tubuh kekar itu kesamping untuk berhenti menindihku. Dia tidak memakai kaus, dia hanya bertelanjang dada dan menggunakan celana selutut dan kini terlelap dengan damai. Tubuhnya memang sudah tidak menindihku, tetapi tangan beratnya masih memeluk erat pinggangku. Kami berbaring dengan berhadapan. Oh astaga, ini terlalu dekat!

Wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Deru nafasnya terdengar jelas, apalagi hembusan nafasnya membelai seluruh wajahku dengan hangat.

Aku mendorong dada kekarnya agar dia bisa sedikit menjauh dariku, namun tetap nihil. Dia kuat sekali. Rangkulannya pada pinggangku tidak kunjung mengendur, malah semakin erat. Seakan-akan aku ini adalah gulingnya.

Sial, kenapa jantungku malah berpacu dengan cepat sekarang? Kenapa aku merasa gugup? Tubuhnya yang masih mendekapku terasa sangat hangat. Mungkin karena suhu tubuh pria lebih tinggi daripada wanita.

Aku menatap wajahnya yang tertidur pulas. Mungkin dia kelelahan, sampai mendengkur seperti itu. Pantas saja, pekerjaan yang dia kerjakan sangatlah banyak sampai dia belum sempat beristirahat tadi. Apalagi, sikap keras kepalanya yang memaksa untuk menungguku sampai pulang kuliah. Tetapi, kenapa rasanya dia tampak keren saat tertidur begini?

Surai pirang miliknya menjuntai bebas di wajahnya, terlihat sangat cocok daripada saat dia menggunakan wax di rambutnya. Perlahan, aku mulai membelai surai lembut itu. Pipiku kembali memerah.

Jadi, ini feromon dari seorang pria, ya? Entah kenapa, aku menyukai aroma mint yang menguar dari tubuhnya. Posisi yang awalnya sangat risih ini, lama-kelamaan terasa nyaman. Tanganku yang awalnya diam saja, kini kuberanikan untuk balas merangkul tubuh besarnya. Entah kenapa rasanya begitu menenangkan saat aku bersama pria ini.

Jika ditilik lebih dalam lagi, wajah yang pria ini miliki jauh dari kata ‘gagal’. Ini adalah wajah sempurna, dia sangat terlihat tampan. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Uh, kenapa pipiku harus memerah lagi? Oke, hentikan pacuan jantungmu ini Rianna!

Tapi, apa maksud dari perlakuannya tadi? Kenapa dia menghimpitku di dinding dan sempat menindihku? Apa ini yang juga dia lakukan pada gadis lain? Selain diriku?

Kutepis pemikiran itu dengan cepat. Louis memanglah seorang workaholic, tetapi meniduri beberapa gadis itu mungkin saja, bukan?

Memikirkannya sendiri membuatku sedikit merasa kesal. Kenapa?

————

Aku sedikit membuka mataku saat sinar matahari merangsek ke dalam kamarku. Tubuhku terasa berat, sekaligus geli.

Aku menoleh ke sampingku, surai pirang itu menyembul ke wajahku. Bagaimana bisa posisi wajah pria itu kini tepat di dadaku?

Tangan kekar itu masih belum berpindah dari pinggangku. Malah, semakin mengerat saja dekapannya. Bukan hanya itu, tangan yang satunya pun menekan kuat kepalaku dengan erat.

    Kugerakkan tubuhku agar bisa terlepas dari pelukannya. Tapi sialnya, dia makin memperdalam wajahnya pada tubuhku. Aku merasa bergidik geli saat bibirnya menyapu leherku dengan perlahan. Oke, pria ini harus dihajar sekarang. Beraninya dia menyentuh diriku.

Kudorong tubuh itu sekuat tenaga. Aku harus bisa menyingkirkannya sekarang dari tempat tidurku. Ayolah, sialan, bangun sekarang!

Aku mendesah puas saat mendengar bunyi debuman keras, pertanda bahwa tubuh Louis terantuk sesuatu.

Dengan cekatan aku menutupi tubuhku dengan kungkungan selimut. Yah, jika dilihat dari kejauhan, aku tampak seperti manusia trenggiling.

“Sakit!” pekik Louis mengusap dahinya yang sedikit memerah. Oh, mungkin tadi terbentur lantai.

“Baiklah, Louis Foster! Sekarang, keluar dari kamarku!” ujarku dengan sarkastik.

“Apa katamu? Ini rumahku!” protesnya.

“Ini memang rumahmu, tapi ini wilayahku!”

Aku meliriknya dengan tajam. Berharap dia menuruti keinginanku untuk pergi dari kamarku.

“Hei, apa yang kau lakukan? Kedinginan?” tanyanya sambil berkacak pinggang.

Aku mengeratkan selimutku agar tidak ada celah yang terbuka.

“Apa masalahmu?”

Dengan senyuman jahilnya, Louis mendekatkan tubuhnya ke arahku. Spontan aku memundurkan tubuhku sedikit.

“Mau kuhangatkan?” tanyanya sedikit menggodaku.

Aku hanya menatap wajahnya datar, “Hn, tidak. Terima kasih. Sekarang keluarlah!”

Louis tertawa keras sambil mengusap-usap kepalaku. “Oke, oke. Aku akan keluar sekarang.”

Sebelum dia keluar dari kamarku, aku sempat berseru kepadanya.

“Hari ini kau tidak perlu memaksaku untuk berangkat bersama!”

Ucapan singkatku itu membuat Louis berbalik menatapku dengan sedikit kesal. Aku meneguk ludahku dengan keras. Oh, tidak. Apa aku salah bicara lagi?

“Kau keras kepala sekali.” Ujarnya datar dan berat, membuatku sedikit merinding.

“Kenapa? Aku memiliki hak.” Sahutku sedikit pelan.

“Jika kau ingin selamat, turuti saja perintahku. Hanya berangkat bersama, apa susahnya?” sungutnya dengan wajah yang sangar.

Aku sedikit bingung dengan sikapnya yang kian lama semakin menyebalkan. Dialah yang membuat pembicaraan sedikit renggang. Aku akan menjadi canggung untuk mengajaknya bicara nanti.

“Baiklah. Perintahmu yang itu aku turuti. Tapi, tolong turuti juga permintaanku. Aku juga masih memiliki hak disini.” Ujarku.

“Apa yang kau inginkan?” tanya Louis.

Aku menggenggam tanganku dengan kuat-kuat. Menghela nafas dengan  sangat keras, dan menatapnya dengan berani.

“Tolong, jadilah waliku saat hari wisudaku nanti.”

Permintaan yang sederhana, namun dapat membuat keterkejutan di wajah sayu milik Louis.

To Be Continued

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang