Prolog

84 8 1
                                    

Aku menemukannya lagi.

Gadis itu, gadis yang berambut hitam pekat. Aku melihatnya lagi.

Sebenarnya hanya gadis biasa. Tetapi, entah mengapa gadis itu bisa membuatku tertarik.

Oh, mungkin satu hal yang menarik darinya. Rambutnya.

Aku suka gadis berambut hitam. Bermata onyx, dan berkulit putih.

Sial, dia berjalan lagi. aku harus mengikutinya. Jangan sampai aku kehilangan jejaknya.

Ah, kini aku bagaikan penguntit yang mesum. Menguntiti seorang gadis kuliahan yang sedang lewat.

Tapi, salahkan padanya sendiri yang membuatku mengikutinya. Gadis itu selalu ada tepat di depan rumahku. Hanya sekedar lewat. Namun, ada sesuatu yang berbeda darinya.

Tiap pagi yang dilakukannya hanyalah menenteng tas kecil sambil berjalan di depan rumahku. Oh, dan jangan lupakan earphone mungil yang terselip di telinganya. Ketukan sepatu kets miliknya seakan menggema di dalam rumahku. Aku seperti terjerat pada gadis itu. Sampai jadwal kuliahnya pun aku menghapalnya.

Aku kembali fokus menatapnya dari kejauhan. Sialan, seharusnya aku memakai baju santaiku saja tadi, daripada memakai seragam kantor yang sedikit susah digerakkan ini.

Ah, gadis itu berhenti. Tepat di depan cafe kecil.

Gadis itu masuk. Haruskah aku ikut masuk juga?

Apakah tampak aneh jika orang kantoran masuk cafe ini? Kupikir tidak. Oh, mungkin lebih baik aku masuk dengan biasa saja.

Gadis itu memesan kopi hitam. Cocok untuk image-nya.

Gadis berambut hitam itu pun melenggang untuk menghampiri kursi single tepat di pojokan.

Oke, kursi di sebelahnya kosong. Aku harus cepat menyerobot kursi itu.

Dengan biasa aku memesan secangkir Espresso dan berjalan menuju kursi kosong itu.

“Boleh aku duduk disini?” tanyaku, sekedar basa-basi.

“Silahkan.” Jawabnya singkat.

Oke, gadis ini tipe yang pendiam. Dia menjawab pertanyaanku hanya dengan satu lirikan mata saja. Seperti tidak berminat untuk mengobrol denganku. Gadis ini hanya diam tanpa ekspresi. Sepertinya ini akan sulit.

Aku menghela nafas. Seharusnya aku tidak memakai jas ini. Ini tampak seperti bapak-bapak bersama gadis muda. Uh, sebenarnya umurku tidak setua itu. Aku ini juga masih muda.

Aku terdiam menatap jendela luar sambil sesekali menyeruput Espresso ku. Hening membuatku sedikit risih.

“Hm, Espresso, ya?” ujarnya tiba-tiba.

Aku menoleh menatap gadis itu. Dia menopang dagu sambil menatapku. Sialan, mata lentiknya menatapku tajam. Sebuah senyuman tersungging di bibir tipisnya.

“Apa?” tanyaku.

“Cocok dengan karaktermu. Berjiwa kepemimpinan, pekerja keras, tetapi pemurung.” Ujarnya singkat.

Aku hanya terdiam menatap matanya yang seolah seperti magnet.

“Hai, namaku Marianna Davis. Kau?”

The HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang