Aku merasa sedikit aneh saat ruanganku menjadi sunyi senyap. Seingatku, Rianna juga berada disini bersamaku.
Kutolehkan kepalaku ke arah sofa di sebelah kananku. Senyuman tipis pun kini terhias di wajahku.
Gadis itu tampak kelelahan. Dengan hitungan detik saja dia sudah tertidur pulas. Wajahnya yang tidur tampak damai dan tenang.
Aku pun menghampiri gadis yang tengah terlelap itu dengan perlahan. Mungkin posisinya sedikit tidak nyaman. Aku pun berniat untuk merubahnya.
Kutempatkan kedua tanganku di lipatan lehernya dan bawah lututnya. Kuposisikan agar dia tidur telentang dengan nyaman di sofa.
Jarak wajahku dengan wajahnya pun semakin dekat. Hanya beberapa inchi saja, sampai deru nafasnya pun bisa kurasakan. Pipiku sedikit memerah saat menatap wajahnya yang tampak cantik itu.
Helaian rambut tebal yang biasanya sedikit menutupi wajah putihnya itu kini tersibak dengan rapi, menunjukkan bagian wajahnya yang bagiku tampak sempurna tanpa cacat sedikitpun.
Mata tajam lentik itu kini tertutup rapat dengan anggun. Hidungnya yang kecil dan mancung tampak nyaman dilihat. Bibirnya yang tipis dan mungil terlihat memerah dengan alami. Kulitnya yang putih lembut tanpa jerawat satupun. Helaian rambutnya yang tercium harum dan lembut saat menyentuh tangan. Gadis ini benar-benar seperti malaikat.
Dibandingkan dengan para pekerja perempuanku yang lainnya, tubuh Rianna tampak tinggi dan langsing. Ukuran lingkar dada, pinggang dan kakinya tampak ideal.
Oh, sialan. Kenapa sekarang aku seperti orang mesum yang menatapi tubuh sekretaris pribadiku sendiri? Ayolah, hentikan pikiran mesum ini!
Kubalikkan tubuhku untuk kembali menekuni pekerjaanku yang masih belum selesai itu. Sepertinya, aku harus membarkan Rianna beristirahat sebentar. Dia tampak sangat kelelahan.
————
Aku meregangkan otot-ototku yang mulai kaku. Akhirnya, pekerjaan ini selesai juga. Aku tersenyum lega.
Kutumpuk dengan rapi berkas-berkas itu, dan meletakkkannya pada rak hitam di sisi kiri ruanganku. Sepertinya, jam menunjukkan pukul tujuh malam.
Brak!
Aku terlonjak mendengar suara debaman keras itu dan menoleh ke arah suara keras itu. Maksudku, ke arah sofa itu.
“Astaga! Pukul berapa sekarang?” pekik Rianna dengan panik.
“Tujuh malam.” Sahutku.
“Uh! Sialan, aku telat kuliah malam!” pekiknya sambil menarik helaian rambutnya sendiri.
“Masih belum telat, kok. Perlu kuantar?” tawarku.
“Apa? Aku tidak ingin merepotkanmu lagi. Lagipula, kau pasti kelelahan. Aku bisa naik taksi.” Tolaknya, membuat perasaanku sedikit tidak nyaman.
“Lihat siapa yang bicara. Yang tampak kelelahan itu kau, bukan aku.” Sanggahku.
Rianna hanya menatapku datar. Aku yakin, dia sedikit sebal padaku.
“Oh, ayolah, Louis. Aku sudah tertidur beberapa jam. Tenagaku sudah pulih. Aku bisa berangkat sendiri.” Ujarnya seraya berdiri di hadapan cermin.
Dirapikannya seragam yang tampak acak-acakan itu. Sedikit disisirnya rambut hitam itu dengan jari-jari lentiknya. Dengan sedikit terburu-buru, dimasukkannya kaki jenjangnya pada sepatu heels berwarna hitam.
“Apakah aku sudah terlihat rapi?” tanyanya padaku.
Aku meletakkan tanganku di dagu dan mengamatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The House
RomanceDitawari untuk tinggal berdua oleh pria yang baru saja kau kenal. Lalu tiba-tiba kau diakui sebagai tunangannya. Bagaimana tindakanmu selanjutnya?