1.1: Kevin

592 64 22
                                    

"...Listen to what you know, instead of what you fear..."
-Richard Bach-

[KEVIN]

Aku-- selalu bertanya-tanya pada semua orang dewasa. Tapi, tidak pernah ada yang bisa menjawabnya. Haruskah aku hidup dalam banyaknya pertanyaan ini? Sering aku mencoba untuk melarikan diri dari penjara hidup ini, hanya untuk bermain petak umpet, tertawa, dan bermain-main dengan berbagai macam-macam permainan lainnya bersama anak-anak yang seumuran denganku. Namun, semuanya percuma tidak ada yang berhasil. Hidupku penuh dengan teka-teki. Aku bisa lakukan apapun hanya dengan menyebutkan saja apa yang kumau, hingga semuanya terkabulkan dengan mudah. Apakah aku ini anak yang tidak normal?

Di usiaku yang sudah menginjak sebelas tahun, duduk di bangku SMP kelas tujuh. Sampai saat ini aku belum berhenti untuk bertanya, pada siapa aku harus bertanya? Orang dewasa? Tidak, mereka tidak akan pernah mempercayaiku. Seorang anak kecil ingusan seperti diriku, bagi mereka aku terlalu banyak berimajinasi. Begitu juga dengan wanita yang aku sayangi selamanya, dia--Bundaku...

Istana bagiku adalah rumahku sendiri. Aku tinggal di rumah yang besar bagaikan istana mewah dan megah. Aku ingin sesuatu, tinggal aku ucapkan saja semuanya akan terwujud. Sebuah desa di negara bagian New York yang termasuk kedalam kabupaten Suffolk, di Amerika Serikat. 102 Ocean Avenue, Amityville. Itulah alamat rumahku.

Meja besar dan panjang dihadapanku saat ini, menampung begitu banyak makanan yang lezat sehingga sangat menggiurkan bagi orang yang melihatnya. Tapi, bagiku semua makanan itu begitu menjijikan di mataku.

Seorang lelaki tua, sekitar berumur enam puluh tahun, berpakaian rapih dengan dasi pita di lehernya menghampiriku sambil membawa amplop berwarna putih yang sama sekali belum di buka olehnya.

"Tuan muda, ada surat untuk anda." Kata lelaki tua itu menyodorkan suratnya di sebelahku. Aku tahu apa isi surat itu, jadi aku hanya diam melanjutkan sarapan pagiku.

Lelaki tua ini memasang muka heran, "Tuan muda ingin aku membacanya?" Dengan bertanya semu padaku.

Suapan terakhir sarapan pagiku selesai dengan mengelap mulutku yang penuh dengan minyak dari sarapan yang menjijikan ini, "Tidak perlu, aku sudah tahu isinya."

"A-apa tuan muda?" Tanya heran lelaki tua ini.

Aku membukakan mulutku dan mulai membaca isi surat itu tanpa harus aku melihatnya, "Dear my sweety, hari ini bunda akan pulang telat..." Tatapanku tetap fokus kedepan, "... tidak perlu mengkhawatirkan Bunda, bunda sudah bilang kepada Mr. Micky untuk menjadi asisten pribadimu. Kau harus selalu lapor pada Mr. Micky jika ingin pergi ke luar rumah," Aku mengambil napas untuk selanjutnya kembali membacakan suratnya lagi. Lelaki tua yang bernama Micky mulutnya menganga terkejut. "... kau harus makan tepat waktu, rajin mengerjakan PR, sekolah dengan semangat, dan selalu sayang pada Bunda. Jangan mengecewakan Bunda ya sweety. Love you." Aku bangun dari kursi makanku lalu pergi berjalan ke luar sambil mengatakan, "C'mon Micky, aku tidak mau telat ke sekolah."
"Ba-baik, Tuan muda!" Micky sangat terkejut melihat apa yang telah aku katakan tadi, dia berlari-lari keluar menghampiriku.

Mungkin sepuluh dari ratusan anak memiliki kendaraan sendiri untuk pergi ke sekolah, termasuk aku. Akulah kesepuluh dari ratusan anak yang bersekolah di Amityville Memorial High School, 250 Merrick Road. Sebenarnya sekolahan ini memiliki School Bus, tapi aku tidak mau berangkat kesekolah menaiki School Bus. Entah kenapa bagiku itu sangat kekanak-kanakkan. Setiap aku pergi kesekolah aku menaiki kendaraan sendiri dan pulang juga aku dijemput oleh Micky. Ya aku tahu mobil itu bukan hasil dari banting tulangku sendiri, semua barang mewah di rumahku adalah milik ibuku. Tentunya, siapa lagi? Aku adalah korban dari keluarga yang Broken home, sejak lahir di bumi ini aku tidak pernah tahu paras wajah Ayahku. Jika aku bertanya keberadaan Ayah pada Bunda, pasti Bunda akan mengalihkan pembicaraannya ke yang lain. Aku sudah tahu kenapa Bunda bisa bercerai di saat aku terlahir, aku tahu bagaimana keadaan Ayah, aku tahu masa lalu Bunda dimana saat itu mereka bersama. Dan hal inilah yang membuat Bunda sangat khawatir dengan diriku, dari umur lima tahun aku selalu dibawanya ke tempat yang sungguh asing bagiku. Psychologist--psikolog, bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental, itulah pengertiannya. Aku tidak merasa aku nakal ataupun memiliki gangguan dalam mentalku, aku anak cerdas di sekolah dan selalu menjadi anak yang memiliki segudang prestasi. Tapi, di sisi lain, aku anak yang kurang bergaul, tidak memiliki teman, selalu menyendiri dan sendiri. Bagiku buku adalah teman, buku memiliki segala informasi dan pengetahuan luas di dalamnya. Tapi, apakah itu yang membuat Bunda membawa diriku ke Dokter tua aneh yang menyeramkan? Atau... karena aku memiliki indera keenam yang dikenal bernama Indigo Children. Bisa melihat masa depan, masa lalu, menebak isi pikiran orang lain dengan jitu, juga bisa melihat sesuatu yang banyak orang tidak bisa melihatnya secara kasat mata. Banyak sekali kemampuan dari anak Indigo yang tidak mungkin aku jabarkan dengan panjang lebar itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Aku termasuk anak Indigo, yang bisa melihat masa depan, masa lalu dan mengetahui isi pikiran orang. Sejak umurku tujuh tahun aku mulai menyadarinya, aku sangat prustasi dan terbebani dengan hal ini. Semua aku alami sendiri, Bunda tidak mempercayaiku. Maka wajar sekali jika ia membawaku ke Dokter tua itu --Mr. Arnold. Dan sekarang aku sudah mulai terbiasa, aku bisa mengendalikan diriku sendiri, aku sudah tidak membocorkan sesuatu yang kulihat kepada orang banyak. Walaupun kepada Bundaku sendiri, karena aku tahu dia tidak ingin mendengarnya.

***

Bagi Mrs. Mayer, aku adalah anak biasa yang sama seperti anak-anak lain di sekolah. Selalu memperhatikan seorang guru yang memberikan pembelajaran, juga aku termasuk anak yang banyak bertanya di kelas. Seperti hari ini, anak yang lain menulis catatan atau informasi penting di buku, sedangkan aku menulis semuanya di Apple-- nama notebookku. Mrs. Mayer yang sedang menulis di papan tulis, mencatat hal-hal ilmu yang penting untuk dibagikan pada murid dikelas. Mereka tentunya menulis di buku mereka masing-masing. Tapi, mereka sebaliknya melihatku yang sedang lancar mengetik catatan di notebookku. Dan hal inilah yang membuat risih Mrs. Mayer, sehingga Mrs. Mayer membawaku ke kantor Mr. Potter, wali kelasku.

Aku dan Mrs. Mayer masuk kedalam kantor Mr. Potter. Dia begitu tenangnya menulis daftar absen tiap kelas. Berambut cokelat sedikit panjang tidak sampai ke bahu, dan dia memiliki bulu-bulu halus dibawah hidung dan dagunya. Mr. Potter berhenti menulis ketika aku dan Mrs. Mayer tiba di kantornya, "Oh, silakan duduk Mrs. Mayer," sambut Mr. Potter, "Kau juga Kevin, silakan duduk." Sambutan yang begitu hangat darinya. Aku dan Mrs. Mayer-pun duduk, Mrs. Mayer langsung memulai percakapannya.

"Mr. Potter, anda tahu kenapa aku kemari?" Dengan suara seraknya yang menggetarkan dan berat, mungkin karena Mrs. Mayer sudah tua berumur enam puluh lima tahun yang sudah memiliki dua cucu. Ya dia tampak tua bagiku.

Dengan melirik kearahku Mr. Potter menjawab, "Tentu saja aku tidak tau, Mrs. Mayer. Justru seharusnya aku yang bertanya pada anda." Kembali menatap mata Mrs. Mayer dengan senyuman termanis yang dia miliki.

"Baiklah, anak muda di sebelahku ini, membawa notebook. Bukankah itu tidak baik? Ini bisa membuat kecemburuan sosial pada anak-anak lainnya." Perkataan terakhir pada Mrs. Mayer lebih di tekankan.

"Ya memang itu sangat tidak baik, aku akan membicarakan hal ini kepada Kevin." Balas Mr. Potter dengan tenangnya

"Ya, itu memang harus. Baiklah aku masih ada jam kelas aku akan memberikan pembelajaranku di kelas lainnya. Permisi Mr. Potter." Mrs. Mayer berlalu pergi menghilang tanpa jejak. Kini, tinggal aku dan Mr. Potter di ruangan kantornya.

Dengan menarik napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkan dengan perlahan Mr. Potter membuka percakapannya, "Kevin, aku sudah memperingatkanmu berkali-kali. Cobalah untuk memahami situasi keadaan sekolah ini, tidak semua anak-anak memiliki apa yang kamu punya jadi..."

"Itu tidak ada dalam peraturan, Mr. Potter." Aku dengan cepat memotong ucapan Mr. Potter.

Ia kaget menatapku lebih dalam, "Ya, memang tidak ada. Tapi, bisakah kamu untuk mengerti?" Dengan tenang Mr. Potter bertanya kepadaku.

"Aku mengerti, aku sangat mengerti," Kataku menatap Mr. Potter lebih tajam, "tapi aku tidak bisa. Zaman sudah berubah Mr. Potter. Cobalah untuk berkembang, sedikit." Kataku memberi tekanan pada kata terakhir sama seperi yang dilakukan Mrs. Mayer.

Mr. Potter tidak bisa berkata apa-apa, dia seperti kutu yang sudah aku matikan, dengan cara lain agar dia mati terhormat yaitu dengan sebuah perantara penyelamatan.

"Berikan surat ini kepada ibumu." Katanya dengan keringat dingin agar terlihat lebih santai dia menggenggam penanya dengan kuat. Aku mengambilnya lalu berdiri mengucapkan selamat tinggal, "Permisi, Mr. Potter. Aku ijin kembali ke kelasku." Detik-detik saat pintu tertutup kutu itu bersyukur dia tidak masuk kedalam maut yang mematikannya di tempat.

***

¤ CONTINUE TO NEXT PART, DONT FORGET FOR VOMMENT GUYS :) ¤

PRODIGY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang