1.2 : Susan

373 44 2
                                    

[SUSAN]
1999

Tanda plus di alat tes kehamilan membuat kepalaku ingin meledak. Seharusnya aku bahagia dengan hal ini, tapi entah mengapa ada rasa gelisah dalam diriku.

Di pagi hari yang cerah, Kota Jakarta tidak pernah berubah. Selalu ramai dengan orang-orang yang terburu-buru ingin mendapatkan predikat karyawan terbaik. Namun tidak bagiku, aku seharusnya membelokkan mobilku ke kanan, menuju tempat dimana aku bekerja. Tapi aku membelokkan mobilku kearah kiri, karena aku ingin mengabarkan berita bahagia kepada orang yang aku cintai.

Mobilku berhenti di depan sebuah kafe terkenal di Jakarta, Hardrock Cafe-- itulah nama kafe tempat orang yang kucintai bekerja. Mataku melirik-lirik ke arah kanan dan kiri mencarinya, tidak ada satupun ciri-ciri dia. Berambut gondrong diikat, memiliki banyak tindik dimana-mana, seperti di kuping juga di lidahnya. Itu sangat keren bagiku.

"SUSAN!" Suara lembayu sejuk, sangat aku kenali memanggilku. Aku menoleh kearah suara tersebut, dia orang yang aku cintai tiba di mataku, dengan senangnya aku memeluknya. Seperti seorang Ibu yang telah lama tidak berjumpa dengan anaknya.

"Susan, jangan seperti ini, nanti dilihat oleh bosku!" Bentak pelan dengan membisikkan ke telingaku, lelaki gondrong ini melepaskan pelukanku.

"Maaf, aku begitu... begitu sangat senang." Walaupun di hatiku begitu sakit mengatakannya.

"Ada apa? Kau tidak bekerja?"
"Jack," itulah namanya, "aku tidak bekerja karena aku ingin memberitahumu sebuah kabar berita bahagia!" Seruku senang.

"Ok, berita apa?" Jack semakin penasaran.

Dengan sangat berhati-hati dan perlahan aku mengucapkannya, "Aku hamil"

"Apa?!" Jack tampaknya tidak begitu terlihat senang dengan kabarku ini.

"AKU HAMIL!" Aku berteriak senang dan memeluknya lagi, hingga seluruh karyawan di kafr menatap kami heran.
"Bagaimana kau senang?" Tanyaku saat melepaskan pelukanku darinya.

"Kembalilah bekerja, saat jam makan siang kita bertemu lagi di Taman Menteng." Dengan tegas dia berkata seperti itu lalu mendaratkan kecupannya di keningku dan berjalan pergi melanjutkan kerjanya.

Aku melamun dan begitu rapuh juga takut apa yang akan dia katakan nanti.

Di meja kerjaku, aku hanya terdiam membisu. Sesekali melirik ke jam tanganku juga melirik pada jam dinding.

"Susan, Susan!" Seorang lelaki tua tidak berambut alias botak memanggilku, sehingga aku tersentak tersadar dari lamunanku.

"Ya Pak! Ada apa?" Kataku berdiri.

"Hari ini ada meeting tidak?" Tanya lelaki tua berkepala silau berbentuk seperti permen lolipop ini.

"Eh, maaf Pak sepertinya tidak ada." Kataku yang sudah mengecek-ngecek semua jadwal di catatan kecilku.

"Ok, apa kau ada masalah?" Tanyanya.

"Hah! Tidak Pak. Aku baik-baik saja." Kejujuran palsu yang aku lontarkan

"Ok, kalau ada yang menghubungiku langsung saja beritahu aku."

"Baik, Pak!"

Dia bosku si kepala botak yang bengis, aku bekerja kepadanya sebagai sekretaris di perusahaannya yang cukup terkenal di Jakarta. Dan Jack, dia kekasihku. Lelaki yang sangat aku cintai. Sayangnya, cinta kami terlarang. Ibuku tidak menyetujui aku menikah dengan Jack, karena tingkatan level kami berdua berbeda.

Aku anak dari seorang Ibu menteri yang memiliki peranan penting di Indonesia. Ayahku sudah lama pergi meninggalkan Ibu, mereka bercerai karena Ayah tidak memiliki penghasilan. Perusahaan Ayah bangkrut, Ayah banyak memiliki hutang. Ibu sudah tidak sanggup lagi menangani hutang-hutang Ayah, dan lalu akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai, disaat umurku dua belas tahun. Aku sering mengunjungi rumah Ayah yang mungil minimalis, kini Ayah telah berkeluarga memiliki dua anak yang imut-imut. Istrinya sangat baik padaku dia sudah menganggap aku sebagai anaknya. Maka dari itu, aku sering sekali curhat kepada istri baru Ayah, yang juga aku panggil Mamah.

Aku senang tinggal di rumah Ayah, walaupun sempit. Tapi bagiku tempat ini nyaman dan sangat kompak melihat mereka begitu harmonisnya, sepertinya Ayah senang dengan keluarga barunya.

Tidak seperti di rumahku tinggal bersama dengan Ibu, tempat itu seperti neraka. Walaupun luas, aku merasa seperti tinggal sendiri. Ya, memang banyak pelayan, namun itu semua sangat tidak membantu.

Aku duduk penuh rasa risau dan cemas, sesekali berdiri, bulak-balik kekiri-kekanan, memikirkan apa yang akan dikatakan Jack nanti.

"Maaf, aku telat." Jack tiba dan kami duduk bersebelahan.

"Ada apa Jack? Kau tidak menyukai kabar bagus ini?" Bibirku gemetaran ketikaku mengucapkannya Jack menundukkan kepalanya, beberapa menit aku menunggu dia kembali menatapku lebih dalam.

"Susan, haruskah aku tidak menyukai kabar bagus darimu? Aku begitu senang mendengarnya. Sehingga aku tidak tahu harus bicara apa mengekspresikan kesenanganku ini." Katanya dengan mengungkapkan perasaannya padaku begitu tulus.

Aku langsung memeluk Jack dengan penuh sayang dan cinta, "Tapi... " Jack berkata sehingga aku melepaskan pelukanku dengan perlahan.

"Kenapa?" Tanyaku gugup.

"Bagaimana dengan Ibumu? Dia pasti tidak menyukai berita ini. Aku takut..." Jack terhenti matanya berkaca-kaca, "... kita akan berpisah." Kata inilah yang akan selalu teringat di otakku, pasti Ibuku tidak menyukai berita ini. Jika dia tahu, bukan hanya aku dan Jack yang dipisahkan. Melainkan aku akan langsung di jodohkan oleh seseorang pilihan Ibu. Karena tidak ingin aib ini tersebar dimana-mana, namanya akan tercoreng dan langsung di pecat dari pekerjaannya sebagai menteri.

"Jack, kita tidak akan terpisahkan karena kita memiliki cinta sejati, cinta yang murni yang dapat mengalahkan semua rintangan yang ada di depan kita bila kita bersama-sama menghadapinya." Kataku dengan penuh keyakinan.

***

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kehamilanku sudah menginjak satu bulan dimana saat itu aku dan Jack merayakan pesta pernikahan kita tanpa sepengetahuan Ibuku. Pesta yang meriah tapi tidak terlalu megah, seperti yang aku impikan sejak kecil. Walaupun secara sederhana, tapi aku sangat bahagia. Akhirnya aku menikah dengan Jack, lelaki yang kucintai. Bukankah yang aku lakukan ini benar? Daripada aku menikah dengan orang kaya yang tidak aku cintai, sedangkan mereka hanya ingin mendapatkan kekayaan yang lebih untuk meningkatkan perusahaan mereka. Maka, aku senang menikah dengan lelaki sederhana yang mencintaiku bukan karena materi yang aku miliki. Tapi karena cinta yang tulus menerima segala kekurangannya.

***

VOMENT YA GUYS ^^

PRODIGY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang