4.3 : Susan

193 26 2
                                    

SUSAN
[2009]

Aku menerima semua apa yang telah terjadi padaku. Hanya satu hal yang tak dapat bisa kuterima. Seorang malaikat kecil dalam rahimku, aku tahu ini bukan karena suatu kecelakaan dalam sebuah hubungan. Tapi, bisakah dia menerimaku sebagai seorang Ibunya? Itulah pertanyaan yang membuatku tak sanggup mencari jawabannya. Mungkin, aku yang tak menerima anugerah-Mu. Tapi, akan aku usahakan untuk menjaga dan kurawat dia semampuku.

Bagaimana jika anak ini menanyakan ayahnya? Haruskah aku jawab dengan sejujurnya, bahwa perceraian ini dikarenakan Ibuku yaitu neneknya. Atau mungkin dia akan tahu sendiri. Baru saja Ibuku tinggal bersamaku di New york. Dia sudah terserang penyakit yang selama ini menggerogoti dirinya. leukimia, itulah nama penyakit yang di derita Ibuku. Rasa amarah dan benci yang dulu hinggap dalam diriku kini telah sirna saat kulihat Ibuku yang berjuang melawan penyakitnya, terbujur kaku di atas ranjangnya yang empuk. Aku bertanya pada diriku sendiri, mungkinkah ini terakhir kalinya kulihat dia?...

Desember 24, musim salju telah tiba. Musim dimana semua orang berpakaian tebal dan sibuk mempersiapkan hari besar bagi umat kristiani yaitu Natal. Bagi mereka bulan ini penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan. Namun tidak untukku. Hari ini adalah hari yang tak akan aku lupakan, hari yang telah mengubah hidupku selama ini.

PRANK!

Suara pecahan gelas jatuh yang berasal dari lantai atas kamar Ibuku terdengar hingga  ke ruang tamu ketika aku sedang melambaikan salam perpisahan pada tamuku.

Aku bergegas berlari menaiki tangga menuju lantai dua kar Ibuku. Kubuka pintu kamar Ibuku, di sana aku melihat dia Ibuku sudah tidak sadarkan diri, dia tertidur untuk selamanya.

"IBU!" teriakku berlari menghampiri Ibuku. Aku berusaha membangunkannya dengan terus mengguncang-guncangkan tubuhnya, tapi itu semua percuma. Aku melirik pada seorang anak kecil yang memegangi obat ibuku.

"Katakan padaku! Ada apa?" Kupegang kedua tangan anak kecil ini di depanku sampai obat yang dipegangnya terjatuh. "Kenapa kau diam?" bentakku padanya.

"Malaikat datang menjemputnya," katanya pelan hampir seperti membisikkan sesuatu.

Malaikat datang? Apa maksudnya?

Anak kecil yang polos dihadapanku ini berkata seperti itu? Apa dia terlalu banyak menonton TV atau membaca komik?

Aku melepaskan genggaman tanganku di kedua tangannya. Tanganku gemetar, badanku merinding ketika anak kecil ini berbicara yang tidak masuk akal. Aku ambil ponsel dalam sakuku dan kutekan nomor rumah sakit yang terdekat.

Tak lama lima belas menit kemudian, mobil ambulan datang membawa Ibuku menuju rumah sakit. Aku pun ikut menemani ibuku. Aku titipkan anak polos itu pada asisten pribadiku Micky untuk menjaganya selama kupergi. Sampai sekarang Micky telah menjadi asisten pribadi Kevin.

Desember 25, turun salju merupakan keajaiban luar biasa di Negara ini yang 99% menganut agama kristen. Hari Natal telah tiba, dimana hari itu adalah hari pemakaman ibuku. Aku merasa langit telah menangis, tangisan yang dingin seperti dinginnya hati ibuku. Aku telah memaafkannya dan mengikhlaskannya atas semua kesalahan dan perbuatan ibuku yang pernah menyakiti hatiku. Dia tetaplah ibuku, seseorang yang melahirkanku dan merawatku hingga sekarang. Aku bersyukur telah dilahirkan darinya. Dia memberikan segala apa pun yang aku inginkan. Walaupun satu hal yang dia tak bisa berikan padaku, Jack Forbes. Dialah Cinta sejatiku.

Dari sinilah aku tahu, aku memiliki anak yang luar biasa, dia berbeda dari anak seumurannya. Anakku tidak gila atau pun memiliki kelainan fisik dan jiwanya, dia anak yang pintar dan sopan. Walaupun terkadang sok tahu dan bersikap seperti orang dewasa. Aku tidak akan memanjakan dia begitu juga mengistimewakannya. Dimataku dia hanyalah bocah polos tak tahu apa-apa dengan dunia milenium ini.

***

Sarapan pagi telah dihidangkan di depanku di atas meja putih semua makanan sudah terkumpul banyak. Seorang anak laki-laki yang masih terlihat imutnya dia bersiap-siap untuk menyantapnya.

"Kita berdoa dulu ya, berdoa dimulai." Aku menundukkan kepalaku begitu juga anak itu yang menuruti perkataanku. "Selesai, ayo kita makan!"

Sarapan pagi kami adalah dengan roti panggang berisi telur, tomat, keju mozzarella dengan sedikit potongan tipis daging sapi yang di lumuri mentega yang nikmat tak lupa di temani minuman susu putih dan jus jeruk kental.

"Besok aku ulang tahun," kata anak itu yang masih menyantap sarapannya dan Mickey berdiri di belakangnya.

"Ingin adakan pesta?"

"Tidak."

"Ketaman bermain? Kita berdua saja," tawarku.

Anak itu menyelesaikan sarapannya menatapku,"bagaimana kalau ke tempat lain?"

"Ok, terserah kau. Atur saja ya."

Kring!

Suara ponselku berdering, ada telepon datang. Aku mengangkatnya ternyata dari klienku, "Ok, baiklah. Aku segera kesana."

Tanpa basa-basi aku langsung melangkahkan kakiku keluar rumah dengan mengendarai mobil hitam yang baru saja di cuci. Aku memang selalu seperti itu, karena aku tidak ingin anakku satu-satunya menjadi manja.

***

Hari ini adalah hari spesial bagi anakku. Kevin membawaku ke suatu tempat yang aku tidak ketahui sama sekali. Tak lama hanya butuh waktu 30 menit saja kami sudah sampai di tempat yang di tuju oleh Kevin. Kevin keluar lebih dulu dari mobil, Mickey membukakan pintunya untukku.

Aku sangat terkejut Kevin membawaku ke tempat ini, banyaknya patung-patung yang membuatku merinding, suasananya sangat angker dan sepi. Ini adalah tempat pemakaman yang berbeda di tempat aku memakamkan ibuku.

"Kevin! Kevin!!" Aku memanggilnga berkali-kali namanya, tapi dia tak menengok sekali pun. Aku ikuti dia dari belakang, dia mengarahkanku di jalanan yang berbelok-belok lalu akhirnya lurus. Kevin berdiri tegak menatap sebuah Batu nisan yang terukir sebuah nama:

LOUIS CHARLES KARPINSKI
5 Agust 1877 - 25 Jan 1956

"Umurnya sekarang 132 tahun, dia seorang matematikawan yang tinggal di New york," ucapnya yang kemudian menatapku dengan tatapan serius.

"Ayo kita pulang!" kutarik tangan Kevin, tapi dia menepis peganganku.

"Aku harus berdoa untuknya."

"Apa kau sering kesini?" kembali aku pegang kedua tangannya dengan menatapnya dalam kutunggu jawabannya. Kevin tetap diam menatapku, "JAWAB!" Hingga aku tidak tahan lagi berteriak di depannya.

"Bunda, kuburan nenek tidak jauh dari sini. Dia membutuhkan doa-doa dari kita."

Perlahan aku lepaskan cengkramanku di kedua tangan Kevin. Rasanya jantungku mau copot, air mataku terjatuh di pipiku. Bocah polos ini, aku pikir setelah kepergian Ibu aku bisa lebih tenang, dia malahan semakin membuatku takut. Sepulang dari pemakaman, aku akan membawanya ke seorang psikiater terhebat di New york

***

Hehe... Wah ada 900+ kata lebih maaf ya kalo kebanyakan dan maaf juga telat update seharusnya hari jumat eh malah hari sabtu. ^^

Keep voment makasih :)

PRODIGY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang