"Aisss. Ngapain pakek hujan segala, sih?"
Jihan belum berhenti merutuki cuaca pagi hari yang mendadak hujan. Padahal, saat dia berangkat tadi, langit cerah-cerah saja, karena itu Jihan mengurungkan niatnya untuk membawa payung. Dan lihatlah sekarang. Dia terjebak di halte bis dan hujan deras membuatnya tertahan karena jarak dari halte bis menuju sekolahnya cukup membuatnya basah jika dia nekad menerobos hujan.
Kesialan kedua, Jihan sudah terlambat. Kesialan ketiga, dia ada ulangan matematika di jam pelajaran pertama. Kesialan keempat, tidak ada orang lain di halte tersebut, meyakinkan Jihan bahwa dia mengalami semua runtutan kesialan itu sendirian.
Dari arah berlawanan, seorang siswa berlari menuju halte dengan menggunakan tasnya untuk melindungi kepalanya dari hujan. Cukup bodoh, pikir Jihan. Dia melindungi kepala dan tubuhnya dari hujan. Emangnya dia nggak takut isi tasnya basah semua?
Ketika siswa itu sudah berada di halte yang berukuran kecil sehingga jarak mereka hanya sekitar tiga langkah, Jihan mengenali siapa siswa itu. Fabian Pramana Putra. Siswa tahun kedua seperti Jihan, hanya mereka berbeda kelas. Fabian berada di kelas XI-IPA-1 sedangkan Jihan berada di XI-IPA-4.
Tambahan infromasi, Fabian termasuk dalam siswa populer. Tidak hanya tampan dan pintar, Fabian juga jago olahraga. Dan yang membuat dia memiliki banyak penggemar adalah aura misterius yang ditunjukkannya. Jarang sekali dia tersenyum atau menyapa orang. Dia juga hanya mau bergaul dengan teman sekelasnya.
Tapi, meskipun Fabian adalah siswa populer, Jihan bukan termasuk salah satu penggemarnya. Jihan bahkan tidak pernah suka dengan laki-laki yang terlalu tampan dan terlalu putih. Lihat saja kulit Fabian, jauh lebih putih dan bersih dari Jihan yang seorang perempuan.
Jihan melihat kembali jam tangannya untuk yang ke sekian kali. Menghentakkan kakinya di lantai halte, lalu mengacak rambutnya yang tadi pagi sudah diikatnya rapi di belakang. Kelas pasti sudah dimulai dan wajah menyeramkan Pak Anton menambah dinginnya pagi ini dengan soal ulangan yang tiba-tiba membuat Jihan bergidik. Pak Anton tidak menolerir keterlambatan, apapun alasannya. Jika melewatkan ujian pagi ini, dapat dipastikan Jihan akan mengikuti ujian terpisah, di ruang guru, dengan Pak Anton yang duduk di depannya mengawasi.
Jihan ingin menangis. Dia mempertanyakan kenapa hidupnya selalu menderita. Kesialan seakan cinta mati padanya sampai-sampai keberuntungan enggan bertamu. Dan hujan pagi ini menambah alasan bagi Jihan kenapa dia tidak menyukai hujan.
Kenapa gue nggak coba aja terobos ini hujan?
Jihan memantapkan niatnya. Dia memindahkan tas ranselnya dari punggung menjadi di depan. Berbeda dengan Fabian yang rela tasnya kebasahan, Jihan terlalu mencintai tas dan isinya. Dia lebih memilih tubuhnya yang basah.
"Jangan bilang lo bakal nerobos hujan ini?"
Belum ada selangkah yang diambil Jihan dan niatnya langsung terhenti dengan Fabian yang tiba-tiba mengajaknya bicara. Jihan ragu jika Fabian mengajaknya bicara. Dia melihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apakah ada orang lain selain mereka berdua.
"Gue ngomong sama lo." Kali ini Jihan yakin jika Fabian memang berbicara padanya.
"Nggak ada yang tahu hujannya kapan berhenti. Daripada nunggu disini, mending gue terobos aja. Gue juga punya cadangan baju olahraga di tas. Jadi, gue bisa ganti baju kalo seragam ini basah." Too much information, Jihan. Jihan mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terlalu banyak bicara.
"Kalo gitu gue ikut."
Apa yang baru didengarnya terdengar tidak masuk akal. Bukannya segera menerobos hujan, Jihan justru mengamati Fabian yang melakukan hal yang sama dengan tasnya. Fabian menoleh pada Jihan dan merasa aneh dengan tatapan Jihan.
"Kenapa ngeliatin gue begitu?"
"Lo mau bareng gue larinya? Nggak salah? Nggak takut dilihatin penggemar lo?"
"Lo kenal gue?"
Rasanya, Jihan ingin sekali menampar pipi mulus itu supaya lebih berwarna. Sepertinya ide menarik. Jihan paling tidak suka dengan tipikal laki-laki yang jelas-jelas memiliki banyak penggemar namun berpura-pura seakan dirinya tidak dikenal.
"Nggak ada satu orangpun di sekolah kita, dari kelas X sampai kelas XII yang nggak kenal sama lo, Fabian Pramana Putra. Bahkan tikus got di selokan belakang gudang sekolah juga tahu siapa lo."
Fabian terlihat tidak terganggu dengan jawaban Jihan yang sebenarnya cukup sinis. Dia hanya memasang ekspresi datar.
"Gue nggak kenal lo."
Tidak mau menambah kesialan, Jihan berlari lebih dulu meninggalkan Fabian dengan pertanyaan bodohnya. Memangnya siapa yang akan menjawab pertanyaan menyepelakan seperti itu? Jihan tahu dirinya bukan siswi populer seperti Fabian. Jihan tidak cantik, tidak pintar, dan payah sekali dalam olahraga. Sungguh keajaiban jika ada yang menyukainya. Karena itulah hingga kini dia tetap saja jomblo, sementara teman-temannya sudah memiliki kekasih.
Dengan kecepatan lari yang diusahakannya semaksimal mungkin, Jihan berhasil sampai di gedung sekolah dengan kondisi tubuh yang tidak terlalu basah. Namun, dia tetap harus berganti pakaian. Di belakangnya, Fabian menyusul. Mereka berdua berdiri bersisihan dengan nafas tersengal-sengal.
"Kok lo ninggalin gue?"
"Memangnya gue janji buat lari bareng lo? Nggak, kan?"
Belum sempat Fabian membalas ucapan Jihan, Pak Seno, si guru BK yang ke-killer-annya mengalahkan Hitler, menyambut kedatangan keduanya.
"Jihanna Larasati. Kamu terlambat lagi?"
Refleks, Jihan meringis, memamerkan barisan giginya yang putih. Membuat Fabian menoleh ke arah gadis itu sambil tertegun.
"Meskipun ini pertama kalinya kamu terlambat, kamu tetap harus dihukum Fabian."
"Pak, saya ada ulangan Matematika dengan Pak Anton. Kali ini ijinin saya masuk ke kelas dulu baru dihukumnya nanti saja bisa, Pak?" Jihan mencoba menawar.
Pak Seno menggelengkan kepala. "Nggak usah banyak alasan. Hari ini Pak Anton nggak masuk karena harus mengantar anaknya ke acara sekolahnya. Kamu tetap dihukum."
Dari semua kesialan yang dialaminya pagi ini, Jihan merasakan angin segar untuk pertama kalinya. Berita tidak masuknya Pak Anton yang berarti ditundanya ulangan terdengar membahagiakan. Jihan bahkan tidak peduli jika dia harus dihukum oleh Pak Seno. Tanpa sadar, Jihan meloncat dan mengepalkan tangan ke udara, membuat tanda kemenangan.
"Kamu ngapain, sih? Ayo, saya hukum."
Pak Seno menggiring Jihan dan Fabian ke ruang BK untuk menerima hukuman. Pagi itu, hujan di pagi itu, menjadi saksi bahwa untuk pertama kalinya, Fabian tersenyum karena seorang perempuan yang bukan ibunya.
Namanya Jihanna Larasati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Hujan
Short StoryKetika hujan, Fabian dan Jihan yang tidak saling mengenal terhubung satu sama lain Ketika hujan, Fabian mengenal bahwa gadis mungil yang suka tertawa dan tidak terpengaruh olehnya itu bernama Jihan. Ketika hujan, Fabian dan Jihan saling jatuh cinta ...