Jihan merapatkan jaket yang dipakainya untuk mengurangi rasa dingin yang benar-benar menusuk hingga ke tulangnya malam ini. Karena derasnya suara hujan, Jihan tidak bisa mendengar suara lain, termasuk obrolan penuh tawa di dalam lobi kantor yang dapat dilihatnya dari teras lobi tempat Jihan berdiri menunggu taksi yang dipesankan satpam yang berjaga di pos dekat gerbang depan.
Saat ini sudah jam sembilan malam dan Jihan baru menyelesaikan pekerjaannya. Sepanjang siang ini, Jihan juga mengirimkan pesan pada Sarah, terus menerus meminta maaf karena Jihan lebih memilih datang dan bertemu dengan teman-teman SMA-nya. Karena sudah lama Jihan menghilang, Jihan merasa canggung jika harus bertemu mereka.
Sebuah mobil terlihat memasuki pelataran teras. Jihan tidak mempedulikannya dan memilih menyibukkan diri dengan ponsel pintarnya. Anehnya, mobil tersebut berhenti tepat di hadapan Jihan, membuat Jihan mau tidak mau menjadi memusatkan perhatiannya pada mobil tersebut. Pintu pengemudi terbuka dan keluarlah seorang laki-laki yang tujuh tahun tidak pernah ditemuinya secara langsung dan tiga tahun kehilangan komunikasi dengannya.
Fabian tidak bisa lagi menahan rasa rindunya, ketika melihat gadis yang hingga kini masih dicintainya, berdiri menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ya Tuhan, lihatlah gadis ini. Dia bahkan masih terlihat begitu mempesona meski kelelahan jelas tercetak di wajahnya. Dia bahkan terlihat lebih manis dengan rambut pendek sebahunya.
Tubuh Jihan menegang. Entah dorongan dari mana, Jihan sedikit memundurkan tubuhnya. Ketika menyadari bahwa Fabian mendekat ke tempatnya berdiri, Jihan mulai memaksa otaknya berpikir bagaimana cara menghindari Fabian. Tidak pernah sekalipun terbayangkan dalam kepala mungilnya akan terjadi hal seperti ini. Bertemu kembali dengan Fabian tidak pernah ada dalam agenda hidupnya.
Sebuah ide gila muncul dari kepala Jihan. Sebelum Fabian semakin dekat, Jihan berlari ke arah berlawanan dari datangnya Fabian, memilih menerobos hujan dan berlari sekuat tenaga yang dia bisa, meski kepayahan karena hujan dan heels tujuh sentinya.
Usaha Jihan gagal. Gerbang utama kantornya masih jauh, tapi, Fabian sudah berhasil meraih lengannya dan langkahnya jelas terhenti. Tanpa aba-aba, Fabian bahkan langsung membawa Jihan ke dalam pelukannya. Fabian membiarkan saja Jihan berusaha menarik tubuhnya atau memukulinya dengan bar-bar. Karena sekuat apapun Jihan berusaha melarikan diri, Fabian akan memasang tenaga lebih kuat untuk mempertahankan Jihan dalam pelukannya.
"Kamu nggak suka basah, kenapa masih nekad nerobos hujan dan basah-basahan? Kalo kamu demam gimana?" Fabian yang pertama membuka suara ketika Jihan akhirnya menyerah dan memilih diam mematung dalam pelukan Fabian.
"Aku nggak mau kamu sakit. Nggak lagi, Ji."
"Sudah cukup aku membuatmu terluka tujuh tahun ini. Sudah cukup aku membiarkanmu sendirian tujuh tahun ini. Mulai sekarang, aku akan selalu ada di sisi kamu. Nggak akan aku biarkan genggaman tanganmu lepas dari tanganku. Nggak pernah aku biarkan setetes air mata mengalir dari mata kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Hujan
Short StoryKetika hujan, Fabian dan Jihan yang tidak saling mengenal terhubung satu sama lain Ketika hujan, Fabian mengenal bahwa gadis mungil yang suka tertawa dan tidak terpengaruh olehnya itu bernama Jihan. Ketika hujan, Fabian dan Jihan saling jatuh cinta ...