Episode 3

140 13 0
                                    

Seminggu setelah insiden Fabian meminjamkan jaket miliknya pada Jihan, Jihan akhirnya punya kesempatan untuk mengembalikan jaket tersebut. Sebenarnya, Jihan sudah membawa jaket tersebut di dalam tasnya selama seminggu belakangan. Jihan hanya tidak punya kesempatan karena Fabian selalu terlihat dikelilingi para penggemarnya.

Setelah semua kesempatan yang terlewat, disinilah Jihan. Berdiri mematung di depan kelasnya, yang pasti akan dilewati oleh Fabian ketika laki-laki itu pulang. Dari informasi yang Jihan dapat dari Sarah, kelas Fabian juga mengadakan kelas tambahan sore ini. Jihan sengaja pulang lebih lama untuk melihat apakah Fabian sudah keluar atau belum. Jihan merasa sedikit lega karena sudah banyak teman sekelas Fabian yang keluar dari kelas mereka dan Fabian belum juga terlihat.

Bagaimana kalau dia udah pulang duluan dan gue nggak lihat? Atau, dia nggak masuk sekolah hari ini, mungkin? Astaga!!! Gue lupa kalo stok sial gue masih banyak.

Ketika Jihan masih sibuk menyalahkan dirinya sendiri sambil menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, Jihan tidak menyadari bahwa Fabian baru saja keluar dari kelasnya sendiri dan tersenyum geli melihat pemandangan yang ada di depannya. Tidak pernah sekalipun Fabian melihat Jihan dalam keadaan tidak lucu. Dia sendiri heran kenapa dirinya selalu tersenyum setiap melihat tingkah Jihan.

Tanpa sepengetahuan Jihan, Fabian sebenarnya tahu bahwa selama seminggu ini, gadis itu selalu berusaha untuk mendekatinya. Fabian tahu alasannya, karena Jihan selalu menenteng tas kertas yang pastinya berisi jaketnya. Hanya saja, selama seminggu ini Fabian juga merasa rishi karena banyak orang yang tidak membiarkannya sendiri.

"Kamu ngapain? Mau rubuhin lantai?"

Jihan refleks menoleh dan tidak bisa menahan senyum lebarnya ketika mendapati Fabian berdiri sendirian. Diberi senyuman selebar dan semanis itu, entah kenapa Fabian merasa kikuk. Dia menggaruk lehernya yang tidak gatal untuk menutupi kegugupannya.

"Gue kira lo udah pulang atau malah nggak masuk." Jihan mengulurkan kantung kertas tersebut pada Fabian. "Makasih buat jaketnya. Gara-gara lo, gue nggak kena hujan dan nggak jadi flu."

Fabian lagi-lagi dibuat tertegun dengan cara Jihan berbicara. Gadis itu seperti tidak punya masalah dan selalu tersenyum. Membuat Fabian ingin sekali mengacak rambutnya yang sore ini dibiarkan tergerai atau mencubit pipi gembulnya.

"Dan sebagai ucapan terima kasih, gue masukin lilin aromaterapi buatan gue. Siapa tahu bisa nenangin lo saat belajar."

Karena tidak tahu lagi apa yang ingin dibicarakannya, Jihan mengangkat tangan, melambaikannya, lalu berbalik untuk pergi lebih dulu. Fabian yang masih belum sadar kepergian Jihan, mengambil jaket dari tasnya dan bisa menghirup aroma vanilla dari jaket tersebut. Sama halnya dengan lilin yang diberikan Jihan. Dalam sekejap, Fabian bisa menyimpulkan bahwa Jihan menyukai aroma vanilla.

Ketika Fabian selesai mengagumi, Fabian baru sadar bahwa Jihan sudah tidak ada di hadapannya. Laki-laki itu berlari dengan kecepatan penuh dan mendapati Jihan masih berada di lapangan menuju gerbang sekolah. Dengan cekatan, Fabian meraih lengan Jihan dan membuat gadis itu berbalik yang diikuti dengan pekikan terkejut dari bibir Jihan.

Hampir lima menit mereka saling memandang dengan tatapan yang berisi hal yang berbeda. Tangan Fabian juga masih setia melingkar di lengan Jihan, yang hingga kini masih juga belum sadar. Fabian adalah yang pertama kali memecah keheningan tersebut.

"Kamu mau jadi pacar aku?"

Langit sedang cerah. Sore ini nggak hujan. Kenapa tiba-tiba gue denger suara petir? Gue lagi ngigau pasti.

"Jihan?"

"Lo lagi sakit? Atau tadi kesambet setan apaan gitu?" Jihan masih belum bisa menerima pernyataan cinta Fabian yang tiba-tiba.

"Kamu harus mau jadi pacar aku. Aku memang bukan laki-laki romantis. Tapi, aku setia. Dan aku bisa janjiin kalo kamu akan bahagia jadi pacarnya aku."

Sekujur tubuh Jihan merinding. Situasi saat ini bahkan lebih menyeramkan dibanding saat dia menonton film horror milik Suzanna. Dan entah perintah dari mana, Jihan menganggukkan kepala. Membuktikan bahwa alam sadar Jihan bahkan diam-diam mengagumi laki-laki itu.

Kala HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang