Jihan melemparkan bantal yang merupakan barang terakhir yang paling dekat dengannya dengan nafas terengah-engah. Berjarak tiga meter darinya, Fabian berdiri memandangnya dengan tatapan penuh penyesalan. Karena sudah tidak punya apa-apa untuk dilemparkan, Jihan memilih duduk di pinggir tempat tidurnya, lalu menangkupkan kedua tangannya ke wajah dan mulai menangis. Air mata yang sejak tadi ditahannya, akhirnya tidak bisa lagi dibendung.
Fabian memberanikan diri mendekat. Setelah berada tepat di hadapan Jihan, Fabian berlutut, menyamakan tinggi mereka lalu menarik tubuh Jihan ke dalam pelukannya. jihan tidak bergeming. Dalam pelukan Fabian, tubuh Jihan bergetar akibat tangisnya. Dia kehilangan banyak tenaga sehingga untuk menarik tubuhnya dari pelukan Fabian saja Jihan tidak mampu.
"Maafin aku, Ji. Sungguh, aku nggak punya pilihan untuk nolak permintaan Papa."
Suara Fabian membuat Jihan memiliki tenaga tambahan. Dengan kasar, Jihan mendorong tubuh Fabian. Jarak mereka masih sangat dekat. Bedanya, Jihan menatap Fabian dengan kemarahan yang bahkan tidak berusaha dia sembunyikan.
"Harusnya, kamu beri tahu aku sejak awal. Jadi, kamu nggak perlu kasih aku harapan palsu."
Fabian menggelengkan kepalanya, mencoba meraih tangan Jihan. Yang tentu saja tidak semudah itu karena Jihan memilih melipat tangannya di dada.
"Aku nggak bohong waktu kita sama-sama rencanain untuk kuliah di Bandung. Kamu tahu sendiri nama aku ada di daftar peserta yang lulus. Alasan satu-satunya kenapa aku harus kuliah di Jerman, karena Papa yang maksa, Ji. Dan kalo udah Papa yang minta, aku nggak bisa untuk menolak."
Jihan sudah mendengarnya. Satu jam yang lalu, saat tiba-tiba Fabian datang ke rumahnya, Jihan sudah merasakan firasat buruk. Ketika Fabian bercerita bahwa dua minggu lagi dia akan berangkat ke Jerman karena papanya ternyata sudah mendaftarkan namanya ke salah satu universitas yang ada disana, dunia Jihan terasa akan runtuh. Rasa sakit tiba-tiba menyerang dada dan kepalanya.
"Kalo memang gitu, lebih baik kita putus." Ucapan tiba-tiba dari Jihan terasa seperti sengatan petir di siang hari bagi Fabian. Mengejutkan dan menyakitkan di saat bersamaan.
"Ke-kenapa harus putus? Kita masih bisa coba, Ji."
Jihan menggelengkan kepala. "Aku nggak yakin, Bi. Kamu sendiri tahu aku seperti apa. Aku nggak mungkin tahan."
Fabian sekali lagi mencoba menggenggam tangan Jihan. Kali ini, Jihan membiarkannya.
"Kamu nggak mau mencobanya denganku, Ji?"
Air mata masih mengalir di pipi Jihan, membuat Fabian semakin merasa sakit. Melihat gadis yang dicintainya menangis karena dia membuat rasa sakit itu terasa berjuta kali lebih parah dibanding dirinya sendiri yang tersakiti.
"Plis. Aku mohon. Kita coba. Aku yakin kita bisa, Ji. Cuma empat tahun aku disana. Aku janji akan lebih cepat dari target itu dan kita bisa sama-sama lagi."
Kepanikan dan kemarahan sudah mulai berkurang dari tatapan Jihan. Air mata Jihan juga tidak menetes lagi. Dengan gerakan perlahan, Fabian mengangkat kedua tangannya, menangkupkan telapaknya di pipi Jihan dan menghapus air matanya dengan kedua ibu jarinya. Fabian sudah tahu bahwa Jihan akhirnya menerima tawaran yang Fabian berikan. Karena itu, Fabian memberanikan diri menundukkan sedikit kepala Jihan untuk mengecup kening gadis itu cukup lama.
"Kamu janji nggak akan khianati aku? Kamu janji akan setia terus sama aku?" Jihan masih terlihat sedikit ragu.
Fabian mengangguk. "Aku janji. Rasa sayang aku ke kamu nggak akan berkurang meski jarak memisahkan kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Hujan
Short StoryKetika hujan, Fabian dan Jihan yang tidak saling mengenal terhubung satu sama lain Ketika hujan, Fabian mengenal bahwa gadis mungil yang suka tertawa dan tidak terpengaruh olehnya itu bernama Jihan. Ketika hujan, Fabian dan Jihan saling jatuh cinta ...