Episode 2

154 14 0
                                    

Untuk yang kesekian kali, Jihan kembali bersin. Sepanjang sore ini, sudah tidak terhitung berapa kali Jihan bersin-bersin dikarenakan sudah cuaca sudah memasuki musim dingin. Belum lagi sore ini hujan kembali turun deras, membuat Jihan kembali terjebak di kelas, meski jam pulang sudah lima belas menit yang lalu.

Suasana di kelasnya tidak sepenuhnya sepi. Ada beberapa temannya yang bernasib sama dengannya, memilih menunggu hujan berhenti karena tidak membawa payung atau jaket untuk melindungi diri – seperti dirinya. Mengingat hal itu membuat Jihan menjitak kepalanya sendiri. Dia sudah tahu bahwa musim hujan sudah datang, dan masih bisa-bisanya dia lupa membawa payung.

Tampaknya, teman sekelas Jihan yang tersisa tidak seteguh Jihan dalam menunggu hujan. Mereka memilih menerobos hujan daripada menunggunya kapan berhenti, karena memang tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Alhasil, Jihan bertahan sendirian di kelas yang karena hari sudah sore ditambah mendungnya langit membuat ruang kelas menjadi semakin gelap.

Jihan mulai ketakutan. Dia paling tidak suka gelap. Apalagi cerita-cerita horror. Menyadari kesendiriannya membuat Jihan mengingat cerita-cerita menyeramkan yang sering menjadi bahan obrolan teman-temannya saat jam kosong. Jihan tidak pernah mau ikut nimbrung. Hanya saja, dia selalu tidak sengaja mendengarnya. Dan sekarang cerita itu membuat Jihan bergidik antara takut dan kedinginan.

Lebih baik gue keluar dan nunggu di lorong aja.

Jihan keluar dari ruang kelasnya dan menyusuri lorong yang juga sama sepinya. Karena ruang kelasnya berada di lantai dua, Jihan memilih untuk turun dan menunggu di lorong lantai satu. Dia berharap masih menemukan orang disana.

Lagi-lagi, kekecewaan harus ditelan Jihan. Kondisi di lantai satu tidak berbeda dengan di lantai 2. Tidak ada siapapun. Bahkan satpam sekolah atau OB juga tidak kelihatan. Dengan sisa keberanian yang dia punya, Jihan mencoba masuk ke kelas yang ada, mencari tahu mungkin saja masih ada orang. Ketika tidak menemukan siapapun, Jihan bersiap untuk menangis. Dia bahkan berjongkok dan menangkupkan kepalanya di lutut.

"Lo ngapain disitu?"

Sebuah suara asing membuat Jihan refleks mendongakkan kepalanya. Berjarak satu meter dari tempat Jihan berjongkok, Jihan mendapati Fabian dengan dua temannya yang tidak dikenal Jihan. Untuk pertama kalinya, Jihan bersyukur atas kehadiran Fabian. Kelegaan terpancar nyata di wajahnya, membuat Fabian tertegun melihatnya.

Setelah kejadian mereka terjebak hujan di halte sebulan yang lalu, Jihan memang merasakan ada yang berbeda pada Fabian. Saat mereka tidak sengaja berpapasan jalan, Fabian selalu tersenyum, meski hanya singkat dan malah kadang tidak tertangkap mata. Membuat Jihan sendiri bingung dan menganggapnya angin lalu. Keramahan idola. Begitulah Jihan menyebut sikap Fabian.

"Gue pikir udah nggak ada orang lagi di sekolah. Kok kalian belum pulang?"

Kedua teman Fabian terlihat sedikit tak acuh dengan kehadiran Jihan. Mereka memilih berjalan menuju ujung lorong, menunggu Fabian disana daripada harus melihat interaksi Fabian dan Jihan. Jihan dapat memaklumi. Siapalah dia sampai harus dikenal oleh orang-orang sehebat anak IPA-1. Dan Jihan juga tidak tertarik dengan perhatian mereka. Karena mendapati Fabian sedikit peduli padanya saja sudah membuat Jihan lega.

"Kita baru kelar latihan band. Lo sendiri?" Fabian meneliti wajah Jihan dan sedikit mengernyit ketika menyadari betapa pucatnya wajah gadis itu, terlihat kontras dengan hidungnya yang memerah seperti tomat.

"Tadi gue ada kelas tambahan. Pas mau pulang, hujannya deras banget. Gue niatnya mau nungguin hujan reda. Taunya malah lama banget. Sampai gue sadar bahwa udah nggak ada orang lagi di lantai dua."

"Kenapa nggak diterobos aja hujannya? Terakhir kali kita kejebak hujan, lo memilih untuk nerobos, dibanding harus nunggu hujan bareng gue."

Jihan tanpa sengaja memanyunkan bibirnya, cemberut. Jihan saja tidak ingat dengan kejadian tempo hari, dan Fabian mengingatnya dengan jelas.

"Gue nggak suka basah. Waktu itu, gue bawa seragam cadangan, makanya gue pede buat nerobos hujan. But today, it's not today to become wet."

"Sebegitu bencinya kamu saja hujan?"

Ada sesuatu yang menggelitik pendengaran Jihan. Barusan tadi dia bilang kamu? Bukan lo? Gue salah dengar, kan?

"Emang ada yang salah?"

"Hujan itu anugrah. Kenapa harus dibenci?"

"Masalahnya sama lo kalo gue benci hujan?" Jihan akhirnya berdiri dan berhadapan langsung dengan Fabian. Dari jarak sedekat ini, Jihan baru sadar bahwa dia terlihat begitu mungil. Tinggi badannya hanya sebahu Fabian. Membuatnya harus mendongak untuk menatap wajah Fabian. "Gue benci basah. Bukan hujan." Jihan melanjutkan, tidak ingin Fabian memiliki persepsi buruk tentangnya.

Tiba-tiba, Fabian menarik tas ransel di belakang punggungnya ke depan untuk membukanya. Fabian mengambil sesuatu yang ternyata adalah jaket berwarna hitam. Tanpa sepatah kata, Fabian mengulurkan jaket itu pada Jihan.

"Pakek ini, Miss Takut Basah."

Jihan memperhatikan jaket yang terulur padanya itu dengan berbagai jenis pikiran yang melintas. Tidak ada satupun kemungkinan yang membuat Fabian berela hati menyerahkan jaket miliknya untuk Jihan. Siapalah Jihan sampai harus mendapat perhatian sebanyak itu dari Fabian.

Karena Jihan tidak juga menerima jaket itu, Fabian yang merasa gemas, menarik satu tangan Jihan dan menyerahkan jaket itu ke tangan Jihan. Jihan kembali mengangkat kepalanya, menatap Fabian dengan bingung.

"Aku duluan."

Fabian lalu pergi, meninggalkan Jihan yang masih terdiam dengan wajah bingung. Cukup lama Jihan menatap jaket milik Fabian, sampai dia kembali bersin dan buyarlah lamunannya. Jihan menggelengkan kepalanya beberapa kali, menolak untuk memikirkan sikap Fabian padanya. Tanpa aba-aba, Jihan memakai jaket milik Fabian. Ketika jaket itu sampai di kepalanya, Jihan bisa menghirup aroma tubuh Fabian disana, membuat Jihan malu dan entah kenapa timbullah rona merah di pipinya.


Kala HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang