Ditulis saat merindu sambil membaca asal kata Dieng
Pernah kau berdiam diantara dialog waktu saat tirai dibuka. Lupa. Sandiwara antara dua atau tiga lakon yang harus kau mainkan, ternyata lenyap karena angin melewati hatimu. Tatapan sebagai pen-drama melihat penonton bercumbu mesra. Apa jadinya? Haruskah aku melebur dalam imbuhan walaupun aku berawal dari huruf 'D'? Memaksa. Karena malam ini,hujan tak akan bisa menembus kekokokohan gedung dimana kau berdiam. Sebaiknya kau lenyap ditelan kandil-kandil kecil. Perih. Diterpa dirunding digubris rindu melekat pekat. Kuliti aku biar saja,biar. Bayan,apakah itu seruan cintamu?
Saat tirai terpaksa ditutup, bolehkah aku melihatmu lagi bayan? Melihatmu yang terdiam. Menceritakan tentang rindumu kepada seorang perempuan yang kau tak ketahui dimana sekarang ia berada. Perempuan itu hanya menyebutkan dua kata "Di" dan "Hyang". Berlarut kau berusaha temukan arti dari makna itu bayan. Tak sadar.
Akhirnya aku hanya bisa menerkamu dibalik tirai yang tertutup itu. Mungkin kau sedang mengeluh atas nama rindu atau kau sedang bercengkrama dengan pelakon lain membela diri. Biar ku tiup kandil keperihanmu,biar ku basuh luka perih yang berbekas di sekujur hatimu.
Aku disini bayan. Akulah perempuan yang pergi agar kau merindu. Disini bayan Di Hyang aku menunggumu, tempat para dewa. Semoga dewa cinta pun hadir disini menyaksikan betapa rindu melekat terikat pada leherku menunggumu bayan. Aku disini bayan, semua orang menyebutnya Dieng.
Padalarang, 10 Januari 2016.

YOU ARE READING
Angkuli
PoezieSebuah angkuli akan mengalahkan warna lainnya. Kumpulan puisi dan prosa.