Tak Terduga

14 0 0
                                    

Asa telah bersiap di depan cermin ovalnya yang sudah retak namun tetap saja tidak berniat untuk menggantinya. Masih banyak hal yang jauh lebih penting yang harus dibeli, katanya. Ia memulai memoles wajahnya dengan pelembab, lalu ke foundation, kemudian ditumpuk menggunakan bedak, tidak lupa Ia mengoleskan liptint di bibirnya agar terlihat lebih fresh. Ya, hanya sesimpel itu, tidak menor seperti penyanyi panggung yang biasa dilihat di acara televisi atau festival-festival di daerah-daerah. Prinsip hidupnya dalam berpenampilan adalah yang penting rapih dan tidak pucat. Sudah itu saja.
Pagi ini Asa diundang menjadi narasumber di acara seminar yang diadakan oleh salah satu universitas di Jakarta. Asa dikenal oleh banyak orang bukan karena hidup mewahnya, bukan karena wajah menawannya, atau bahkan bukan karena tubuhnya yang aduhai. Karena itu semua berbanding terbalik dengan kenyataan. Ia dikenal banyak orang karena kecerdasannya, kebijakannya, dan low profile-nya.

Asa telah sampai di gedung seminar dengan tatanannya yang begitu formal. Kali ini, Ia mendapatkan kesempatan untuk menjadi narasumber mengenai 'pencipta mandiri'.

"Sebenarnya, secara alami kita dilahirkan sebagai pencipta. Kita dapat menciptakan apapun yang kita impikan. Awalnya berbekal dari keyakinan, tekad, dan aksi nyata dalam mewujudkan. Jangan pernah takut bermimpi. Ingat, karena kita adalah seorang pencipta. Yakinlah bahwa kita mampu menciptakan kesuksesan", kurang lebih seperti itu bahasan yang Asa utarakan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Sudah waktunya untuk menyudahi acara ini. Karena waktunya untuk beristirahat, makan siang, atau hanya sekadar menikmati minuman yang menyegarkan tenggorokan.
Asa berjalan menuju back stage untuk mengambil jatah makan siangnya. Asa mengambil posisi duduk di samping rekan narasumbernya yang berasal dari luar daerah. Dilahapnya makanan tersebut dengan berulang kali mengucapkan syukur karena hari ini Ia masih bisa makan; Ia masih diberikan rezeki oleh Tuhan.

"Assalamua'laikum", terdengar suara dari samping kanan Asa. Ia masih ingat dengan suara itu. Suara yang terakhir didengarnya beberapa tahun silam. Tetapi, tetap saja melekat di hati dan fikirannya.

Bibir Asa bergetar hebat. Asa tidak mampu menjawab ucapan salamnya. Ia diam seribu bahasa. Lidahnya begitu kelu walau hanya mengucap satu atau dua kata saja. Mendengar namanya saja Ia tak kuasa. Dan sekarang Ia harus berhadapan dengannya. Memang, hal yang paling mengejutkan adalah kenyataan; seolah menyeretnya kembali ke hadapan orang yang sama namun dalam situasi yang berbeda.
Asa mencoba berkilah dan menjauh dari tempatnya. Namun lelaki itu terus-menerus memanggil namanya.
Ia mengejar Asa yang sudah 10 langkah di depannya. Ia mencoba menyegatnya dengan menggenggam tangan Asa, "Asa, aku hanya ingin menjelaskan semuanya".

" Lepasin, Bakh!", ucap Asa dengan sedikit memaksa.

"Iya, aku tahu, kamu pasti membenciku. Tapi aku mohon dengarkan aku dahulu. Setelah itu aku tidak akan mengusik kebahagiaanmu dengan laki-laki itu. Karena aku bahagia kalau kamu bahagia, lebih tepatnya aku mencoba untuk bahagia", Bakhtiar mencoba untuk meminta kesediaan Asa mendengarkan penjelasannya.

"Nggak ada yang perlu untuk di jelasin, Bakh. Udah lampau juga, kan?  Ya udah, sih, lupain aja. Tenang aja aku nggak benci kamu, sama sekali enggak. Anggap aja kejadian itu nggak pernah terjadi. Sorry, ya, aku sibuk", Asa mencoba untuk menutupi segala perasaannya. Sekuat tenaga Ia bertahan atas segala kenyataan.

" Tapi, Sa, aku benar-benar butuh waktumu untuk menjelaskan semuanya"

"Bakh, kamu tuli? Aku sibuk, aku nggak mau waktuku terbuang percuma"

"Aku tahu, ini nggak penting bagi kamu. Tapi kamu harus tahu, ini penting  bagi aku, Sa. Aku ikhlas kalau bahagiamu bukanlah denganku saat ini. Yang aku minta saat ini hanyalah waktumu. Hanya sebentar, Sa, setengah jam saja. Aku mohon,"

Asa menarik lengan bajunya dan memperhatikan arloji di tangannya yang sudah menunjukan pukul 12.38 WIB. "Ok, waktumu setengah jam dari sekarang", ucap Asa sembari menarik kursi yang ada di belakangnya.

Bakhtiar tersenyum kearahnya, "Memang sudah lama ibuku mengenalkan aku dengan Akshita. Wanita yang menurutnya pantas menjadi teman hidupku selamanya. Tapi, berulang kali aku berusaha untuk menentang, berulang kali aku mengatakan bahwa aku sudah memiliki pilihan hatiku sendiri, ibuku tidak mengubah pendiriannya. Ia tetap kokoh akan pilihannya. Menurutnya Akshita pantas untukku, namun bagiku hanyalah kamu yang pantas bersamaku, Sa, aku berkata yang sebenarnya. Selama 2 tahun aku diperingatkan oleh ibuku kalau aku sudah memiliki calon, aku semakin tidak bisa melepaskanmu. Aku benar-benar diguncang kegalauan yang begitu hebat. Aku sebagai laki-laki harus bisa memutuskan. Aku tidak bisa menciptakan suasana yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Jika aku memilih ibuku, maka aku akan menyakitimu pun-juga akan menyakitiku secara tidak langsung. Jika aku memilihmu, maka aku akan mengecewakan ibuku, seseorang yang telah merawatku dari kecil. Kamu bisa membayangkan betapa beratnya pilihan itu. Kalian berdua benar-benar berarti bagiku, seriously".

"Anyway, waktumu tersisa 15 menit", Asa mencoba memeringati Bakhtiar. Sebenarnya Ia lakukan ini karena Ia merasa tak mampu jika berlama-lama berada di sampingnya. Ia takut rasa itu akan hadir kembali.

Bakhtiar tersenyum simpul mendengar notice dari wanita yang sangat dicintainya. Ia melanjutkan penjelasannya, "Dan ketika aku mengajakmu untuk menemui ibuku, aku berharap hati ibuku bisa terbuka jika Ia bertemu denganmu. Dan bisa menyetujui kita. Tapi, aku salah mengira. Semuanya berbeda 180 derajat dari apa yang aku kira. Ibuku malah mengajak Akhsita bertemu denganmu. Aku benar-benar tidak mengetahui akan hal itu, Sa. Jujur ketika aku melihat kamu menangis, kamu hancur, dan kamu terpuruk; apa yang aku rasakan juga sama dengan apa yang kamu rasakan. Aku benar-benar terpojokkan. Dan akhirnya dengan berat hati aku mengambil keputusan yang membuat hatimu terluka. Sungguh, selepas hari itu aku jadi sulit untuk tidur, tidak nafsu makan, dan sering melamun. Aku tidak begitu saja melupakanmu. Bagaimana bisa, kalau di otakku masih memikirkan kamu dan di hatiku masih terpahat namamu. Kemudian, dua minggu setelah kejadian itu, aku jatuh sakit. Aku segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang intensif".

Asa kembali menengok arlojinya, " Waktumu tersisa 3 menit".

"Setiap hari yang menjagaku di rumah sakit selama sakit adalah Akshita. Dia sampai tidak masuk kuliah hanya demi menjagaku. Aku merasa berhutang budi padanya. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, aku mencoba menjalin hubungan dengannya. Namun setelah acara pernikahan kami sudah semakin dekat, aku memergoki dia selingkuh sama laki-laki lain. Sebenarnya, bukan rasa sakit yang aku terima, karena sama sekali aku tidak menyemburuinya. Hanya saja aku merasa dibodohi olehnya. Bisa-bisa aku dan ibuku dikelabuhi olehnya. Dan saat ini, ketika aku mencarimu, dan tiba-tiba mendengar kabar bahwa kamu sudah memiliki penggantiku, aku sudah nggak punya harapan lagi. Dan aku sadar diri sepenuhnya. Ini adalah sebuah balasan dari kesakitan yang telah aku ciptakan. Aku benar-benar meminta maaf, Sa. Kalau kamu membutuhkanku, aku siap 24 jam membantumu", Bakhtiar menutup penjelasannya dengan senyum yang tampak lebih lega.

" Ok Bakh, waktumu habis. Kukira penting, ternyata tidak sama sekali"

"Ini penting bagiku, Sa. Supaya jelas semuanya"

"Aku bahkan lupa apa yang pernah terjadi diantara kita. Tenang aja, Bakh, aku nggak peduli lagi, dan bahkan nggak ada yang perlu aku pedulikan. Kalau nggak ada yang penting untuk dibicarakan, aku pergi dulu ya, sibuk", Asa segera beranjak dari kursinya dan menuju mobilnya untuk segera pulang.

30 menit yang benar-benar menguras tenaga. Asa mulai bernafas lega ketika Ia sudah berada jauh dari Bakhtiar. Ia bertanya-tanya apa maksud Tuhan mempertemukannya dengan Bakhtiar untuk kedua kali dengan berbeda situasi? Asa merasa bahwa ini bukanlah sebuah kebetulan; melainkan rencana Tuhan yang masih dirahasiakan.

Asa menginjak gas mobil dan langsung meninggalkan gedung seminar itu. Asa meyakinkan diri bahwa Ia harus melupakan kejadian yang baru saja dialaminya. Lagi-lagi alasannya adalah Ia tak ingin melukai hati Rega.

***

Hakikatnya adalah sederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang