Bakhtiar berdiri di balik jendela sebuah gedung perusahaan lantai 8 yang dipimpinnya saat ini. Tak tanggung-tanggung kedudukannya sebagai pemimpin perusahaan membuatnya digilai oleh banyak wanita. Namun, Bahktiar selalu segan menanggapinya.
Ia memandang ke luar; gedung-gedung pencakar langit, padatnya jalanan ibu kota dengan dihiasi polusi udara yang tak akan ada habisnya, serta tak ketinggalan pula bunyi bising knalpot yang memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya. Namun, apa boleh buat. Disini tempatnya mengais rezeki."Bakhtiar, lebih baik kamu segera melanjutkan S3 mu di Jepang,"
Bakhtiar memutar tubuhnya dengan tangan yang masih Ia letakkan di dalam kedua saku celananya.
Ia berjalan mendekati Ibunya yang masih dalam posisi duduknya.
"Bu, tunggulah dulu sampai aku mendapat jawaban", Bakhtiar berusaha meyakinkan Ibunya.
" Jawaban apa lagi, nak? Pertemuanmu kemarin dengan Asa adalah jawaban final. Nggak ada lagi yang perlu diharapkan,"
"Tapi Bakhtiar yakin, bu, itu belum ketuk palu", Bakhtiar berbicara dengan perubahan suaranya yang terdengar begitu jelas, menjadi sedikit parau.
" Lepaskan, nak. Yang namanya cinta, bukan hanya satu pihak saja yang menginginkan dan berjuang. Belajarlah menerima kenyataan, bahwa Asa hanyalah sebagian cerita dari masa lalumu. Selanjutnya, Tuhan sudah menyiapkannya untukmu"
Bakhtiar merasa Ia belum menyerah. Maka itu tandanya, Ia belum kalah.
Ia memandangi wajah ibunya. Menelusup lebih jauh ke dalam mata almondnya. Ia melihat bahwa ada pengharapan besar dari dalam diri ibunya; beliau ingin Bakhtiar cepat melepaskan jangkar yang telah ditancapkan di hati Asa, lalu kapalnya akan berlayar ke pelabuhan selanjutnya. Begitu kira-kira.Lagi-lagi, Ia harus menerima kenyataan bahwa tidak ada kesempatan kedua baginya.
Dan kali ini, meninggalkan masa lalunya, bukanlah suatu hal yang mudah seakan membalikkan telapak tangan. Ini perihal perasaan, lebih tepatnya perasaan yang tertinggal di raga seseorang namun begitu sulit untuk dikembalikan ke tangan; karena telah mengakar.Bakhtiar memejamkan matanya seraya masih menggenggam tangan ibunya, "Baik, bu, Bakhtiar akan melanjutkan S3 si Jepang. Semoga keputusan ini membawa kebahagiaan bagi ibu dan Bakhtiar, amin. Doakan Bakhtiar, bu!"
Ibunya mengangguk, Ia lega mendengar keputusan anaknya. Ia paham betul, bahwa anaknya tidak akan tega membantahnya kemudian mengecewakannya.
"Ibu mana yang nggak mendoakan kebahagiaan anaknya?"
"Ibu tirinya bawang putih bu, he he he", Bakhtiar mencoba menyairkan suasana.
" Kamu ini, loh, mbok yo jadi bos itu yang punya wibawa,"
"Bu, bu, ibu iki piye to? Kalau jadi bos bawaannya seriuuuuuus terus, yang ada karyawanku sepaneng, bu"
Ibunya hanya bisa menggeleng-gelenglan kepalanya.
***
Dengan setumpuk buku filsafah yang berada di tangannya, Asa berjalan tergopoh dari parkiran menuju pintu masuk kafe Lembo yang berada tak jauh dari rumahnya.
Sebelum Ia mendatangi kafe yang telah dijanjikannya bersama Rega, Asa singgah dahulu di sebuah perpustakaan yang paling lengkap di daerahnya. Ia memang berniat mencari buku-buku filsafah, karena Ia mulai menyukai dan ingin mempelajarinya. Sebenarnya, sih, ini berkat Rega yang mengenalkannya pada ilmu filsafah.Asa telah berada di meja yang telah dipesan sebelumnya. Meja nomor 01, sesuai dengan tanggal jadi mereka, sekaligus angka kesukaan mereka. Entah bagaimana ceritanya, mereka memiliki banyak kemiripan akan hal yang disukai. Baik nomor, warna, atau bahkan makanan.
Sekarang Ia berada berhadap-hadapan dengan Rega.
Asa meletakkan buku-bukunya di atas meja."Eits, sejak kapan, nih, suka filsafah?", Rega langsung mencecar Asa dengan pertanyaan yang sudah diduga sebelumnya.
" Sejak nyonya menir berdiri tahun 1920, ya kurang lebih segitu, lah, hahaha"
"Korban iklan!"
"Biarin kali, yeee. Daripada kamu korban selingkuhan!"
"OH JADI UDAH MULAI BAHAS MANTAN, NIH, ASAGHAF MUNAAFSY?!"
"MUNGKIN KAMU YANG TERLALU PERASA, REGATAMA SUHERMAN! HAHAHA"
"ASAAAAAAAAAAAAAAA"
"REGAAAAAAAAAAAAAA"
Pengunjung yang berada di dalam kafe, seketika beralih pandang menuju Asa dan Rega.
Mereka memang begitu. Kalau sudah bertemu, gempa sudah bumi dan seisinya. Berisik.Rega kembali mengaduk-aduk minuman yang telah dipesannya. Keadaan sempat hening setelah beberapa saat ramai. Ya, ramai sendiri maksudnya.
"Ada yang mau aku omongin," Dengan tanpa mendahului, mereka berbicata bersamaan.
"Kamu duluan,"
"Kamu aja yang duluan,"
"Kamu,"
"Kamu aja,"
"Sampai lebaran monyet juga nggak ngomong-ngomong kalau acaranya begini melulu, nggak ada yang mau mulai duluan, Ga! Udah, kamu duluan aja," Asa meminta Rega untuk mendahulukan pembicaraannya. Sekaligus Ia menyiapkan mental untuk mengatakan ini kepada Rega.
Rega memperbaiki posisi duduknya.
"Apa yang aku katakan saat ini ke kamu tentang ibu dan ayahku itu 180 derajat berbeda dari kenyataan, Sa", Rega memulai penjelasannya.
Asa terbengong tak paham mendengar penjelasan Rega yang baru pembukaan.
" Apa maksudmu?"
Rega menghela nafas panjang, "Ibu dan ayahku tidak dalam keadaan baik-baik aja".
" Maksudmu mereka sakit?"
Rega menggelengkan kepala, tanda bahwa tersirat Ia sudah menjawab pertanyaan Asa, "Bukan, bukan itu maksudku. Jadi, ibuku sudah meninggal saat aku SMP. Dan ayahku entah pergi kemana. Mungkin saat ini, ayahku udah menikah lagi. Itu alasan kenapa aku takut ditinggal kamu, Sa. Aku nggak punya siapa-siapa lagi".
Deg . Jantung Asa berdetak lebih cepat, denyutnya tidak normal. Tangannya gemetaran. Ia kaget bukan main.
Asa tidak mempermasalahkan kebohongan Rega kepadanya. Karena, Ia memaklumi, pasti ada alasan mengapa Rega tidak mengatakannya dari awal. Tetapi, yang membuat Asa lemas adalah disaat Rega membutuhkannya, Ia malah akan pergi meninggalkan Rega.Perasaannya semakin tidak karuan. Asa merasa tidak tega untuk mengatakan ini semua.
Apa yang harus kulakukan?
Asa menelan ludah.
" Sa, maaf, kebohonganku mungkin merobohkan dinding kepercayaanmu. Tapi aku mohon, maafkan aku", Rega terlihat begitu memohon.
"Apa yang kamu lakukan kemarin-kemarin bukanlah suatu kesalahan, Ga. Aku memaklumi, dan aku masih mempercayainu seutuhnya".
Rega tersenyum lega ketika Ia mendengarkan jawaban bijak dari mulut mungil Asa.
"Oh, iya, kamu mau bilang apa tadi?"
Dan pertanyaan itu pun muncul. Pertanyaan yang (sebenarnya) tidak pernah diinginkannya.
"Ga, maafkan aku,"
"Maaf untuk apa? Kayak lebaran aja maaf-maafan,"
"Ga, lebaran masih lama. Aku serius, Ga"
"Okay, aku serius. Sok, lanjut neng geulis", ucap Rega seraya mengedipkan sebelah matanya.
" Ga, aku mohon, apapun yang aku katakan, mohon jangan marah ya"
"Kalau kamu nggak ngomong- ngomong, aku marah nih"
"Maaf, Ga...Aku benar-benar nggak pernah menginginkan ini", Asa menundukkan kepalanya.
" Kenapa, Asa? Ada apa?"
"Aku akan berada di Jepang selama 5 tahun. Bapakku mendapat kontrak kerja disana,"
Rega bungkam. Asa bungkam. Hening. Senyap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hakikatnya adalah sederhana
Teen Fiction"Hai Bakhtiar, apakah wanita itu mampu menenggelamkan namaku di dalam hati dan fikiranmu?"-Asa, wanita berusia 23 tahun yang tak pernah putus asa seperti namanya.