Purnama membundar di langit Jakarta. Jajaran pohon bergerak ke kanan dan ke kiri dipermainkan oleh desisan angin. Lampu-lampu jalan seakan tak ingin kalah untuk menunjukan keberadaannya.
Di depan tempat Asa berdiri, gedung-gedung pencakar langit seakan menjadi petinggi yang dikagumi tiap-tiap insan yang berurbanisasi. Malam ini seperti memiliki gaya yang membuat Asa tertarik untuk mengais-ngais kembali masa lalu.
Asa masih mengingatnya dengan baik. Masa dimana ia kehilangan tonggak dan dipaksa tertatih-tatih, sendirian. Letupan semangatnya padam. Tiada yang tersisa baginya selain kepedihan.
***
Kala itu, 20 November 2012 adalah awal dari segala kemungkinan. Asa telah menjatuhkan pilihannya kepada pemuda teknik mesin universitas Indonesia, Bakhtiar. Sebuah keyakinan yang luar biasa baginya untuk membuka kembali sebuah pintu yang telah lama tertutup rapat dan berkarat. Sebuah penghargaan besar bagi Bakhtiar yang mampu menerobos kokohnya benteng pertahanan seorang gadis ilmu fisika universitas Indonesia, Asa. Dan Bakhtiar adalah keyakinan untuk masa depannya.
Seperti biasa, hari Minggu akan selalu menjadi favorit bagi Asa dan Bakhtiar untuk mengusir rasa penat setelah 6 hari beraktifitas di bangku kuliah. Mereka bertekad untuk menghabiskan waktu libur yang tak lama dengan selalu bersama. Bagi mereka kebersamaan akan membuat hubungan menjadi lebih terasa indahnya; seperti halnya pelangi yang muncul setelah hujan dan rembulan yang hadir setelah matahari terbenam. Begitu juga dengan mereka, akan timbul kebahagiaan ketika mereka melebur menjadi satu, bukan lagi menjadi individu. Aduhai, mereka berhasil membuat banyak pemuda UI iri.
“Sa, Minggu ini ibuku ingin bertemu denganmu, jangan lupa senyum yang manis, ya!” Suara Bakhtiar lewat pesan suara membuyarkan fikiran Asa yang sedari tadi dipenuhi oleh tugas akhir semester genapnya. Asa tercengang pun-juga senang. “Seriously?” Asa tidak tahu lagi bagaimana Ia dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Rasanya satu langkah lagi Ia akan mendapatkan kata 'yes' dari ibunda Bakhtiar. “Ya, bersiaplah, sebentar lagi pangeran akan menjemput putri raja, he he he” Bakhtiar memang pandai membuat pujaan hatinya merasa diistimewakan.
Asa memandangi tiruan dirinya di sebuah cermin berbentuk oval. “badanku terlihat begitu besar, seperti badak jawa saja” gumam Asa. Namun tak lama Ia mempermasalahkan bentuk badannya, akhirnya tersadar bahwa wanita yang ideal bukanlah perkara berat badan; melainkan kualitaslah yang membuat wanita menjadi lebih berkharisma.
Dikenakannya jilbab yang sesuai dengan syariat islam: menutupi dada dan tidak terlihat sehelaipun rambutnya. Asa tidak ambil pusing akan mereka yang membicarakan fashion hijabnya yang tidak kekinian.
Pukul 16.00 WIB, sebuah motor vespa sudah terparkir di depan gerbang kos Putri Cendana, tempat tinggal Asa selama Ia berada di Depok. Memang bukan kendaraan mewah yang tersedia. Namun jika sudah berbicara cinta, apapun akan terasa istimewa. Seperti halnya vespa, rasanya seperti menunggang lamborghini saja. Ya, hakikat cinta adalah ‘sederhana’.
Tak butuh waktu lama, Asa telah siap dan mendatangi Bakhtiar yang sedang menunggu sembari memainkan handphone-nya. Asa sudah tidak sabar lagi.
30 menit perjalanan dari kawasan UI menuju kediaman Bakhtiar. Kondisi jalanan yang macet membuat perjalanan lebih lama dari biasanya. Ibunda Bakhtiar sudah menunggu di ruang makan bersama Adenia (adik Bakhtiar) dan satu wanita yang belum diketahui apa perannya di keluarga Bakhtiar. Asa sendiri tidak mengenalnya.
“Assalamua’laikum” sapa Asa dan Bakhtiar kepada seisi rumah. Mereka berdua langsung menuju ruang makan untuk segera melakukan salam pertemuan. Terlihat jelas bahwa ibunda Bakhtiar begitu disegani.
“Bakhtiar sudah menceritakan semuanya tentang kamu, Asa. Sudah 2 tahun kalian menjalin sebuah hubungan, dan 2 tahun pula tante tidak menceritakan ini kepada kalian” Ibunda Bakhtiar membuka pembicaraan setelah 1 menit keadaan sebelumnya hening. Asa terhenti dari aktifitas makannya, dan beralih pandang menuju ibunda Bakhtiar. Asa tertegun beberapa detik sembari bertanya-tanya apa arti dari perkataan tadi. Asa menimpali, “Kalau boleh Asa tahu, apa yang tante tidak utarakan kepada kami selama 2 tahun? Maaf jika pertanyaan ini dinilai lancang, tante”.
Ibunda Bakhtiar menghembuskan nafas panjang. Pandangannya berganti menuju Bakhtiar yang kelihatannya sama sama sedang bertanya-tanya; apa yang sebenarnya dirahasiakan selama 2 tahun itu. Rasanya Bakhtiar mengetahui semua tentang ibunya. Namun keyakinannya akan itu telah terpatahkan, karena ternyata ada sesuatu yang Bakhtiar tidak ketahui. “Sebelumnya tante sangat berterimakasih kepada Asa yang telah setia mendampingi Bakhtiar selama ini” Ibunda Bakhtiar melanjutkan pembicaraannya. Asa semakin tidak bisa menebak apa yang akan beliau utarakan. “Sama-sama, tante. Dan jika tante mengizinkan, Asa akan senantiasa berada di samping Bakhtiar, kapanpun dan bagaimanapun keadaannya" Asa berusaha meyakinkan bahwa dirinya akan bertahan tanpa adanya keraguan.
“Asa, tante begitu minta maaf. Tante harus tega untuk mematahkan harapanmu untuk terus berada di samping Bakhtiar. Tante sudah mendapatkan wanita terbaik untuk berada di samping Bakhtiar di pelaminan nanti. Kamu lihat wanita yang duduk di samping tante? Dia adalah Akshita, calon istri Bakhtiar. Akshita adalah mahasiswi di universitas ternama di dunia. Akshita juga anak dari rekan tante yang berada di Jerman. Tante yakin Bakhtiar adalah sosok anak yang patuh dengan ibunya. Dan tante harap kamu bisa memahami apa yang tante bicarakan” Ucap ibunda Bakhtiar dengan tatapan yang mampu menelusup masuk ke dalam dan menikam hati Asa dengan tega.
Asa sungguh tidak mempercayai bahwa dirinya bukan sedang bermimpi. Denyut nadinya seakan berhenti. Bumi seakan tak lagi berotasi. Giginya menggigit bibir bagian dalam agar terlihat tetap tegar. Otaknya berusaha mempengaruhi agar mata yang kini sayu tidak mudah menumpahkan air mata yang sesungguhnya sudah tidak ada lagi tempat yang dapat menampungnya. Yang ada di hadapannya kini hanyalah dunia yang hanya mampu menawarkan kekecewaan. Asa tidak sanggup lagi berada di tengah-tengah mereka yang telah merenggut harapannya. Ia berlari meninggalkan ruang makan dengan keadaannya yang berurai air mata. Sekuat apapun Ia menyembunyikan kesedihan, nyatanya tak ada yang dapat mencegah tangisnya, pertanda hatinya telah tergoreskan luka.
“Sa,tunggu. Sungguh aku tidak pernah menduga ini akan terjadi pada kita. Tentang perjodohan itu, aku tidak tahu menahu sebelumnya. Karena selama ini ibuku tidak pernah memberitahu dan aku hanya menganggap Akshita sebagai seorang anak dari kerabat ibuku saja, tidak lebih dari itu. Tolong dengarkan aku dahulu” Bakhtiar mencoba untuk mengejar Asa yang berusaha untuk meninggalkan rumahnya. Asa menengok sesaat ke arah Bakhtiar. Dan Ia bertekad bahwa ini adalah terakhir kalinya Ia melihat Bakhtiar walau dari kejauhan. “Sudah sepantasnya kamu mendapatkan wanita yang lebih baik dari seorang Asa. Berbahagialah, maka aku akan ikut merasa bahagia. Sederhana, bukan?”. Dibukakannya pintu taxi dan kemudian Ia masuk, lalu pergi.
Saat Bakhtiar hendak untuk mengejar taxi yang Asa naiki, ibunda Bakhtiar mencegah putra semata wayangnya. “Bakhtiar, ibumu tidak memintamu untuk dibelikan baju ataupun perhiasan berjuta-juta. Ibu hanya meminta kamu untuk mematuhi keinginan ibu, maka ibu akan begitu bahagia. Ibu tahu, Bakhtiar adalah anak ibu yang tahu akan syurga. Dan ibu begitu memahami, bahwa kamu pun mengerti dimanakah kamu dapat menemukan syurga”.
Bakhtiar menyenderkan tubuhnya di saka rumahnya. Kini hatinya sedang berperang. Ia harus memilih diantara 2 wanita yang selama ini berada di dalam hidupnya. Dua-duanya begitu berharga, bahkan lebih dari intan permata. Di satu sisi Ia tidak ingin mengecewakan sang ibunda, di sisi lain Ia tidak mampu untuk meninggalkan pujaan hatinya dan menimbulkan luka. Namun, Ia adalah laki-laki, Ia harus sigap dalam mengambil keputusan. Bakhtiar memilih untuk mematuhi sang ibunda. Bukan karena Bakhtiar tidak benar-benar memperjuangkan Asa. Tapi apapun alasannya, bagi Bakhtiar ibunya bagaikan akar pada tumbuhan; jika tanpanya tidak akan ada batang yang menjulang.
Bakhtiar segera meraih ponselnya dan mengirimkan pesan untuk Asa:
Assalamua’laikum wanita yang selalu mebuatku merasa istimewa. Hari ini aku telah menciptakan luka yang tidak disengaja.Tidak ada satupun niat dalam hati untuk melihatmu terluka. Bahkan aku mengira bahwa kamulah yang akan berada disampingku saat pelaminan tiba. Tapi ternyata malaikatku tidak merestui tentang apa yang kita rasa. Sungguh, ini bukanlah hal yang mudah bagiku dan mungkin juga bagimu. Kamulah keyakinan terbesarku dari 2 tahun silam. Tapi aku sungguh minta maaf padamu, rasa patuhku kepada ibu telah meruntuhkan harapanmu. Sekali lagi, aku memilih mematuhi ibu bukan karena aku tidak mencintaimu. Namun, aku berusaha untuk menjadi Bakhtiar yang selalu membahagiakan ibu. Mungkin dengan ini aku bisa sedikit membalas kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Asa, kini aku bukanlah milikmu. Begitu juga kamu, bukan lagi milikku. Jika hakikat cinta adalah sederhana, maka berbahagialah kamu walau tanpa aku. Dan aku mohon, jangan kamu tunjukkan rasa kecewamu jika suatu saat kita bertemu dan yang ada disisiku bukanlah kamu. Karena jika itu kamu lakukan, maka sama saja hatiku ikut terluka. Tersenyumlah walau tanpa aku, dan terimakasih atas kepercayaan tanpa adanya keraguan darimu padaku. Wassalamua’laikum wanita yang tak pernah putus asa, seperti namamu.
Asa membaca pesan singkat yang dikirimkan Bakhtiar untuknya. Ia masih terpukul atas kejadian yang menikam hatinya dengan tega. Ia seakan menemukan sosok lain dalam dirinya. “Ini bukan Asa yang aku kenal. Asa adalah wanita yang tegar, tidak mudah jatuh hanya karena soal cinta. Ini hanya sebagian kecil dari permasalahan yang ada di dunia. Bakhtiar benar, bahwa hakikat cinta adalah sederhana; berbahagialah kamu, maka aku akan ikut bahagia. Mungkin saat ini aku merasa kehilangan, namun aku telah menemukan caranya yaitu mengikhlaskan. Sejauh ini aku terlalu egois, hanya memikirkan rasaku saja tanpa mengingat bahwa ada Allah yang mengatur segala skenario dalam kehidupan. Aku tidak perlu untuk menyalahkan siapapun, karena semua yang terjadi pasti memiliki alasannya sendiri. Begitupun dengan aku dan Bakhtiar, kami telah memilih jalan masing-masing. Ya, aku akan bahagia walau tanpa Bakhtiar. Selanjutnya aku akan terus memperbaiki diri, bukan hanya diam dan menyesali. Terimakasih Bakhtiar, cintamu sungguh sederhana.....” Gumam Asa lirih.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hakikatnya adalah sederhana
Novela Juvenil"Hai Bakhtiar, apakah wanita itu mampu menenggelamkan namaku di dalam hati dan fikiranmu?"-Asa, wanita berusia 23 tahun yang tak pernah putus asa seperti namanya.