II

1.6K 247 2
                                    

.

.

.

.

"Kau..."

Lelaki muda bernama Asa itu tampak menahan nafas ketika sore ini dia membuka pintu belakang untuk membuang kantung sampah-dan dia bertemu lagi denganku.

"Tolong beri aku makan," ucapku dengan tatapan memelas dan vokal suara yang dibuat semanis mungkin.

Dia mendecak lalu menghela nafas. "Aku tidak punya apapun untuk kau makan hari ini." Dia berjongkok di depanku lalu menepuk-nepuk kepalaku dengan halus. "Jangan tatap aku dengan mata besarmu itu. Kau tidak boleh bergantung terus padaku. Aku tidak bisa merawatmu."

Aku tetap berusaha memelas.

Tapi tampaknya dia tak berhasil kupengaruhi dengan tatapanku. Asa berdiri lalu berjalan menuju tempat sampah dan membuang kantung itu. Ia kemudian berbalik, menatapku sebentar, lalu berjalan lurus dan membuka pintu-memasuki bangunan itu.

Pintu belakang itu berdebam tertutup di depan wajahku.

.

.

.

Dan semenit kemudian pintu itu terbuka lagi. Sedikit.

Tangan seseorang terjulur keluar. Telapaknya menggenggam sebuah benda lonjong dan meletakkannya di atas teras sempit belakang.

Meletakkannya di hadapanku yang masih setia duduk menunggu di situ.

Aku tahu persis apa benda itu. Daging aneh seperti kemarin. Dan sudah dikuliti sehingga siap lahap olehku.

Aku juga tahu persis siapa pemilik tangan itu.

"Terima kasih," senyumku tipis.

.

.

.

.

.

.

"Bisakah kau berhenti meminta makanan padaku? Kau tahu, aku juga orang susah."

Asa tampak menghela nafas kesal ketika melihatku, di hari berikutnya, pada waktu malam, berdiri di pintu depan bangunan-dengan niat untuk mengikutinya sepulang kerja. Pemuda itu menyipit padaku seraya menyampirkan tas punggungnya ke sebelah bahunya. "Pergi sana," usirnya padaku. Mengibas-kibaskan tangannya.

"Tidak mau." Aku tetap berdiri di situ. Teguh.

Lalu pintu depan berderak dan keluarlah sosok gempal yang kukutuk dengan senang hati sepanjang masa. Pria jelek itu tampak mengunci pintu sebelum kemudian berbalik menatapku dan Asa.

"Kau-" Mulutnya tampak ingin menyemburkan lahar. "-kau pasti memberinya makan 'kan, Asa!"

Asa diam saja menatapku.

Pria itu mendengus. "Aku tidak mau tahu, Sa. Pokoknya kau harus jauhkan dia dari restoranku. Dia ini kejam. Kurang ajar. Aku pernah dengar ceritanya dari orang-orang di sekitar sini. Aku tidak mau melihatnya ada di sini lagi besok. Paham?"

Asa mendesah pelan. "Ya, Bos."

Pria gemuk itu kemudian pergi. Meninggalkan teras depan serta aku dan Asa begitu saja. Aku menatap punggungnya melewati meja dan kursi-kursi yang berjejer sebelum kemudian menghilang di ujung jalan.

"Nah, sekarang bagaimana aku harus menyingkirkanmu?"

Aku langsung berbalik menatap Asa ketika mendengar suaranya. Pemuda itu sudah berjongkok di hadapanku. Ranselnya sudah menggantung sempurna di punggung.

"Aku sudah disembur Seno gara-gara kau, kau tahu."

Mendengar itu aku ingin sekali memutar bola mata. "Ayolah, kawan. Zaman semakin sulit-terutama bagiku. Tidak bisakah kau memberikanku bantuan kecil?"

"Hmph." Asa tampak tak mengacuhkanku. Ia mengambil sebatang rokok dan pemantik dari kantung celananya. Sedikit menelengkan kepala lalu menyulut rokok yang sudah dicepit bibirnya.

Aku mundur sedikit. Asapnya membuatku teriritasi.

Asa mencepit rokok dengan jarinya lalu menjauhkannya dari bibirnya. "Kurasa aku tidak perlu tahu apa jawabanmu." Dia mengendikkan bahu. "Yang penting mulai besok kau cari tempat persinggahan lain. Jangan pernah datang kemari lagi."

"Baiklah, kali ini aku tidak akan minta banyak-banyak," ucapku mengalah. "Aku tidak jadi mengikutimu ke rumahmu, oke? Aku juga tidak akan muncul lagi di hadapan bosmu. Aku hanya akan mengendap-endap dan minta daging lonjong aneh itu setiap sore saja. Boleh 'kan? Makanan semakin sulit dicari, asal kau tahu."

"Aku merasa konyol, ya Tuhan..."

Bukannya menyahutku, Asa malah menepuk keningnya lalu mengusap rambutnya. Dia kemudian kembali menghisap rokoknya dan tiba-tiba menggendongku lalu berdiri.

"Hei, apa yang kau lakukan, bajingan! Turunkan aku! Hei!"

"Berhenti menggeram, dasar berisik!" hardiknya. Ia kemudian berjalan ke arah bak sampah raksasa dan menghempaskanku ke dalam dengan kasar.

Aku jelas tak terima dan langsung berusaha keluar dari tempat bau ini, tapi dinding logam terlalu terjal untuk didaki. Aku mencakar-cakarnya dengan kesal. Belum lagi tutup tempat sampah di atas yang tampak tertutup dengan kokohnya. Ini rintangan yang sulit.

"Sebaiknya itu kau jadikan pelajaran untuk tidak datang lagi ke restoran ini." Aku bisa mendengar suara Asa dari luar. Pemuda itu terdengar berucap dengan santainya. Aku membayangkan dia berjalan pergi sambil melambaikan tangannya tanpa berbalik.

Keterlaluan.

Lihat saja, besok aku akan kembali ke restoran itu dan mengacaukan pekerjaannya.

Pasti.

.

.

.

SausagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang