XV

492 103 0
                                    

.

.

.

.

Dari kejauhan aku melihat Asa menyandang ranselnya sambil berbincang ringan dengan seorang laki-laki lain—yang tampaknya usianya sepantaran dengannya.

Samar-samar aku mendengar Asa memanggilnya dengan nama 'Rai'.

"...haha...tapi tidak apa-apa kalau pun dia ingin memecatku. Aku hanya bekerja sambilan seperti ini untuk menambah uang jajan—bukan untuk hal-hal urgen."

Asa menaikkan bahu menanggapinya—aku bisa melihatnya dari balik pot sebuah tanaman palem. "Seno memang temperamen," ungkapnya datar.

Pemuda bernama Rai itu membenarkan pernyataan Asa dengan anggukan kesal. "Dan kau juga pernah hampir dipecat hanya karena memberi makan seekor kucing 'kan?"

Asa meringis. "Sebenarnya aku terus memberi makan kucing itu sampai dia manja dan berulang kali datang ke sini untuk meminta makan." Asa kemudian menambahkan sambil terkekeh, "Dan dia mengacak-acak tempat sampah. Wajar Seno mengamuk."

Aku otomatis mendengus mendengarnya.

"Heh." Rai tertawa meledek. "Kurasa kau sudah terlalu lama menjomblo sampai-sampai melampiaskan rasa perhatian pada kucing."

"Enak saja. Aku punya pacar."

"Haaah, yang benar?"

"Terserah jika kau tidak percaya. Dan ngomong-ngomong, dia cantik." Asa tersenyum iseng. "Tapi kurasa aku akan meminta putus dengannya dalam waktu dekat."

"Hah? Kenapa?"

Asa tampak enggan menjawab. "Kami kaku."

"Maksudmu, kau yang kaku?"

Asa tersenyum setengah hati. "Yaah..."

"Sudah kuduga." Rai mendecak dramatis. "Kurasa kau harus siap-siap untuk sebuah tamparan." Pemuda itu berjalan ke area parkir dan Asa mengikutinya dari belakang.

Rai naik ke atas sebuah sepeda motor. Dan diam-diam aku berjalan ke arah mereka.

"Kurasa aku punya satu fotonya di galeri ponselku. Mau kutunjukkan?"

"Tidak perlu," tolak Rai. "Palingan kau akan menunjukkan bintang wanita porno padaku."

Asa memutar bola mata. "Itu sih kerjaanmu." Lalu ia tertawa mendengus. "Jadi kau belum percaya kalau aku punya pacar, huh?"

Rai hanya mengendikkan bahu tidak jelas. Pemuda itu memasang helm di kepalanya. "Mau nebeng?" tawarnya.

"Tidak." Asa menolak. "Ada yang sedang menungguku."
"Oh." Rai mengangguk mengerti. "Memang sudah banyak orang yang bilang kalau tempat ini banyak penunggunya."

"Persetan," dengus Asa.

Rai nyengir. Lalu tancap gas dan sepeda motornya melesat meninggalkan area rumah makan. Asa menatap kepergian itu sejenak. Kemudian pemuda itu membalikkan badannya.

Dan menatapku dengan senyum kecil.

"Hai," sapanya ringan. Kaki-kaki panjangnya berjalan mendekat ke arahku. Kemudian dia berjongkok di hadapanku. "Ada apa kau mengunjungiku? Hasil buruan nihil?"

"Tidak juga," ucapku jengkel. Perkataan Asa yang meremehkan itu membuatku ingin mencungkil matanya.

Asa merogoh saku celananya. "Aku punya sosis," katanya. "Aku bahkan selalu bawa sosis. Selalu menyimpan stok sosis di lemari es. Sejak kau terus-menerus datang minta makan padaku."

"Jangan mengucapkannya seolah aku pengemis, sialan."

Asa tidak memedulikan ucapanku. Dia merobek bungkus sosis itu lalu membelahnya menjadi dua. Dia menyodorkan salah satu belahannya padaku. "Ini."

Dan tentu saja aku tidak akan menolak rezeki. Aku segera menggigit potongan daging yang dipegangkan oleh Asa. Mengunyahnya sambil juga mengamati Asa yang memakan belahan sosis yang satunya.

Dia tampak kalem sekali.

Dan dia bahkan mulai mengelus-elus kepala dan punggungku. Menyebalkan.

"Andai saja kau mau mandi," gumamnya lalu tiba-tiba memegang kedua kaki depanku dan mengangkatku.

Oke, ini sudah mulai tidak bisa ditoleransi. Si bangsat itu bahkan menatap perutku! Dia menatap perutku dengan seksama!

"Perutmu juga kotor. Hmm..."

Untung saja dia sudah menurunkanku sebelum aku melancarkan cakar kebanggaanku.

Tapi ternyata manusia satu itu benar-benar berminat mencari masalah.

Dengan biadabnya, dia kemudian memegang ekorku.

Baiklah akan kuulangi dengan senang hati; EKORKU!

GRRRRRRRRRRRRAAAAAAAAAAUUUUUUKKKKKKKKKKKK.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Asa meringis pilu.

Memar garis-garis terukir keren di pergelangan tangan kirinya.

Hah, aku sudah berbaik hati untuk memilih mencakar tangan kirinya.

"Ah, sial. Sungguh, kita nyaris selalu bertengkar setiap kali bertemu," gumamnya jengkel. Ia mendesah frustasi menatap luka segar di tangannya itu. "Dan setelah semua yang pernah kulakukan, kau masih membalasku begini? Dasar kucing tidak tahu diri."

"Apa?! Kau yang tidak tahu diri, tolol! Bagaimana jika aku memegang ekormu?! Apa kau akan diam dan terima?! Memangnya kau tidak tahu kalau ekor termasuk bagian sensitif bagi kami?! Seharusnya guru Budi Pekerti mengajarimu hal itu!"

Asa benar-benar tidak mengacuhkanku. Ia malah sibuk meniup-niup lukanya. "Oke, sekarang aku mengurungkan niatku untuk memeliharamu. Kau memang tidak ada manis-manisnya," ucapnya kesal.

"Tentu saja. Aku jantan," dengusku sedikit angkuh. Kemudian melangkah pergi dengan dongkol.

.

.

.

.

.

SausagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang