XVI

578 108 1
                                    

.

.

.

.

.

Asa menyeringai jengkel ketika esok harinya ia melihatku duduk di depan pagar rumahnya—ketika dia baru saja sampai ke rumah sehabis shift-nya di rumah makan Seno.

Jangan salahkan aku—aku sendiri bahkan tidak tahu kenapa aku selalu merasa bersalah setiap kali habis menganiaya Asa.

"Wah, apa kabar?" ucapnya dengan nada sarkastik. "Baik, ya? Haha, tentu saja aku juga baik. Huh? Oh, luka ini? Bukan apa-apa. Ada insiden kecil kemarin sore. Sudah mendingan, kok. Tidak perlu khawatir," gumamnya bermonolog sendiri sambil menunjukkan gurat luka semalam yang sepertinya sudah dilaburi cairan antiseptik.

Mendengar itu membuatku meletakkan benda yang kubawa-bawa sejak tadi di mulutku ke atas tanah. "Apa kau sudah sinting." Aku menatapnya penuh cela. "Kau sebaiknya bersyukur karena tidak ada orang yang sedang lewat di depan rumahmu."

Asa tidak menjawab. Ia hanya berjongkok, membuatku bisa mencium bau keringatnya. Hueh, ini agak menggiurkan. Aromanya sebelas berbanding dua belas dengan aroma lezat ikan asin.

Melihat dia tidak mengatakan apapun setelah berjongkok di hadapanku, aku pun kembali menggigit benda yang tadi kuletakkan—sebuah tali hitam—yang sepertinya merupakan bekas sebuah gelang. Aku lalu menyodorkannya pada Asa dengan mulutku.

Sebelah alis Asa terangkat menatapku. Ia ragu-ragu menarik pelan tali hitam itu dari mulutku. "Apa ini," gumamnya heran sambil memutar-mutar gelang itu di depan matanya, dan mengamatinya. "Buat apa kau memberiku tali hitam berpasir."

"Hei, setidaknya hargai pemberianku!" geramku. Kesal dan marah.

Asa menatapku dengan kilat mata heran. "Hmm?" Ia menatap lagi tali di tangannya sekilas. Tampak menerka-nerka. "Apakah ini...," Asa mencoba melingkarkan tali itu di pergelangan tangannya dan mengikat simpul ujungnya, "...gelang?"

"Iya," jawabku ketus.

Untung saja otaknya bekerja dengan becus sehingga bisa mengenali benda apa itu.

"Wah..." Asa terkekeh. "...sepertinya benar." Ia mengelus-elus kepalaku dengan tangan kananya yang masih dilingkari gelang hitam itu. "Terima kasih, kalau begitu. Nanti aku akan mencucinya." Ia kemudian mengangkatku ke dalam dekapannya. "Ngomong-ngomong, Ita belum pulang. Kau bisa masuk, kok."

"Aku tidak bilang aku ingin masuk."

"Tidak perlu malu-malu."

Aku sedikit terkejut mendengar respon Asa. Apa mungkin?—ah, kurasa tidak. Mungkin hanya kebetulan saja. "Terserah," gumamku.

Asa membuka pintu depan rumahnya lalu menurunkanku. Ia melepas sepatunya lalu meletakkannya ke rak usang. Di dekat jendela. Kemudian ia berjalan menuju lemari es dan membukanya. "Apa kau mau makan? Aku masih punya sosis."

"Hm," gumamku malas sambil meloncat ke atas sofa yang nyaman dan mengambil posisi tidur. Rasanya aneh jika mendadak merasa damai dengan Asa.

Tidak lama kemudian, pemuda itu sudah duduk di sofa tempatku tidur. Dia duduk di sampingku lalu dengan lancangnya membangunkanku. Dan menyodorkan sebatang sosis yang sudah dikuliti.

"Kalau bukan karena makanan, sudah kugigit kau dari tadi karena berani mengganggu tidurku."

Aku kemudian menggigit sosis itu. Mengunyah. Menelan. Asa memegangi ujungnya sambil mengelus-elus buluku seperti biasa.

"Aku jadi ingin memeliharamu lagi, kalau seperti ini."

"Jangan!"

Asa berkedip beberapa kali. Kemudian tertawa kecil. "Kau menggeram. Apa itu sebuah penolakan?"

"Iya, bodoh!"

"Kukira begitu," gumamnya. "Yah, terserah saja," ucapnya kemudian dengan ekspresi tidak peduli.

"Tapi," dia kemudian menambahkan. "Jika kau butuh sosis, kau boleh kapan saja datang menemuiku. Kapan saja." Tangannya naik ke kepalaku. Tetap mengelus.

Aku mendengus jengkel sejenak. "Kau menganggapku seperti peminta-minta. Tapi—argh—terserahlah. Aku hanya melakukan ini karena aku banyak berhutang budi padamu."

Dan aku kemudian balas mengelus-eluskan kepalaku ke pergelangan tangan dan lengan Asa.

.

.

.

.

.

SausagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang