IV

1.2K 196 30
                                    

.

.

.

Aku sudah berkelana ke rumah-rumah orang. Dan selalu diusir di mana-mana. Sekarang aku bingung menentukan titik destinasi. Aku duduk di pinggir trotoar dan di emperan-emperan toko. Menatap berpasang-pasang kaki yang lalu lalang tidak mengacuhkanku. Berusaha menekan keinginan untuk tidak datang kembali ke restoran itu. Restoran dengan logo ayam mengancungkan jempol menggunakan sayapnya.

Restoran tempat Asa bekerja.

Aku tahu tempat itu adalah tempat paling mudah untuk mendapat makanan di sekitar sini. Biasanya akan ada sisa-sisa makanan pada piring di atas meja makan yang ditinggalkan anak-anak. Ataupun ampas-ampas daging ayam yang ada di tempat sampah halaman belakang.

Sayangnya aku melarang diri sendiri untuk datang ke sana. Jika mengira bahwa aku takut akan Asa—aku akan menyangkalnya habis-habisan. Aku punya paham berani mati. Tidak takut apapun, sekalipun itu bangsa alpha. Mati tercabik-cabik ataupun dengan tengkorak retak, itu mati terhormat.

Tapi entahlah, aku hanya merasa enggan kembali. Enggan mendengar suara jelek si pria gemuk. Enggan melihat ekspresi Asa yang tampak terganggu.

Aku takut Asa? Tidak.

Kurasa.

Tidak.

.

.

.

.

.

.

.

Jalan raya kota mulai sepi. Aku sedikit mendongak ke atas. Memastikan bahwa langit sudah gelap. Lalu aku setengah berlari.

Berlari melewati lampu-lampu jalan yang berjejer.

Berlari kembali menuju halaman belakang restoran itu.

Kali ini aku masuk melalui teras depan—karena itu jalur yang terdekat dari posisiku.

Dan aku mendadak berhenti ketika melihat Asa. Dan seorang pemuda berkulit cokelat waktu itu.

Asa menghisap rokok dan tampak mengobrol dengannya. Aku mengamati mereka dari sini. Obrolan itu tampak tidak serius dan terpatah-patah. Asa tampak lebih banyak diam mendengar. Hanya mengeluarkan rokok dari mulutnya untuk menyahut sesekali.

Lalu pria berkulit cokelat itu melambaikan tangan dan berlalu dari hadapan Asa. Melewatiku tanpa bahkan menyadari keberadaanku. Asa hanya balas melambaikan tangan pendek. Ikut beranjak sambil menyandang ransel di sebelah punggung. Juga melewatiku tanpa menyadari keberadaan—

"Kau."

—ralat.

Dia sadar.

Asa mendecak. Menjatuhkan batang rokok sembarangan ke tanah lalu menginjaknya. Kemudian pemuda itu berjongkok di hadapanku. Mengamatiku dengan seksama. "Kau benar-benar...," Asa mendesah sambil mengusap rambut. Tampak frustasi, "... yang waktu itu."

"Lalu kenapa?" cibirku. Dunia juga tempatku tinggal, dasar orang menyebalkan.

Aku berniat pergi tak mengacuhkannya dan mencari makanan di halaman belakang, tapi tiba-tiba saja dia menangkapku.

Telapak tangannya menyentuh perutku.

Perutku.

P.E.R.U.T.K.U.!

"ARGH...!"

Asa melompat kebelakang sambil mengerang. Aku menggeram padanya.

"Aw... sial." Asa mengayun-ayunkan telapak tangannya yang kucakar. "Dasar kucing sialan. Seno benar tentangmu. Kau makhluk kejam."

SausagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang