VI

769 147 9
                                    

.

.

.

Aku terbangun ketika mendengar denting-denting berisik perkakas logam.

Aku mengerjapkan mata, berusaha terjaga meski sebenarnya enggan. Setelah menyesuaikan penglihatan dengan pencahayaan yang ada, aku merentangkan dua kaki depanku. Berdiri di tempat sambil memperhatikan apa yang sedang terjadi.

Aku melihat punggung Asa. Laki-laki itu sedang berdiri menghadap konter memanjang di dapur.

Ah, sebenarnya dapur, ruang duduk, dan ruang makan berada dalam satu ruangan yang sama tanpa pembatas. Tempat tinggal Asa agak terlalu sempit untuk disebut rumah. Dan terlalu berantakan.

Aku melompat turun dari sofa dan mendekati kaki Asa.

"Sarapanku mana?"

Asa sedikit tersengat merasakan keberadaanku, lalu menoleh ke bawah. Luka cakarku semalam yang dibalut plester di wajahnya terlihat jelas. Baguslah. Dia pantas mendapatkannya. Wajahnya terlalu mulus untuk seorang jantan.

"Apa?" tanyanya.

"Sarapan, tuli."

Sebelah alis Asa naik. Dia kemudian memutuskan untuk mengabaikanku. Kembali berkutat dengan piring kotor di bak cuci.

Jelas saja aku tidak terima.

"Sarapanku, OI!

Asa dengan terpaksa kembali menunduk. Wajahnya kesal. "Apa sih maumu?" Asa berjongkok. Di hadapanku. "Jika kau ingin buang air, sana keluar."

"BUKAN!"

Asa menghindar ayunan cakarku dengan sigap. "Ah, kau tak bisa lagi melukaiku dengan cara itu, kau tahu." Dia tertawa mengejek. "Kau lapar? Kalau soal itu, maaf saja. Kakakku belum bangun. Tunggu saja sebentar lagi. Dia bakal memasakkan sarapan," jawabnya kemudian mengelus-elusku. Dan ekspresi rileks yang begitu kentara muncul lagi di hadapannya.

Begitu dia kembali ke pekerjaannya, aku berjalan kembali ke sofa. Kembali mencoba tidur. Aku sebenarnya penasaran waktu sekarang. Apakah sekarang pagi, siang, atau pagi buta. Tapi aku tidak bisa melihat keluar jendela karena ditutupi oleh tirai.

.

.

.

.

.

Aku terbangun karena denting perkakas sesi kedua.

"...darimana kau...memungut...memangnya kau bisa...!"

Dan juga karena mendengar suara yang melengking. Mungkin satu oktaf lebih tinggi dari suara Asa yang biasanya kudengar.

"Semalam hujan. Kasihan saja."

"Kau ini cowok tapi hatimu lembek sekali!"

"Nanti juga kulepaskan ke luar, kok."

Aku melihat Asa dengan seorang manusia perempuan sedang duduk di meja makan.

Sarapan!

"Asa, kau tidak lupa porsi sarapanku 'kan?" tanyaku sedikit keras.

Asa dan perempuan itu menoleh dengan gerakan tiba-tiba ke arah sofa tempatku berdiri. Bisa kulihat perempaun itu berjengit dan kemudian menepuk dahinya. "Dan dari semua kucing liar di sekitar ini, kau memilih yang seperti itu untuk ditolong? Dia tidak ada manis-manisnya."

Konyol. Tentu saja. Aku ini pejantan gagah.

"Ya, ya." Asa asal setuju saja dengan pendapat perempuan itu. Tampaknya dia malas berdebat. Laki-laki itu kemudian beranjak dari kursinya membawa sebuah piring yang berisi—telur?

Mana ikan favoritku?

"Pastikan kau menggunakan piring yang sudah jelek, Sa."

"Iya, tenang saja. Cerewet."

Piring berisi telur goreng disodorkan ke hadapanku. Aku mengendus aromanya. Aku hanya pernah mendengar rasanya dari teman-teman seperjuanganku, belum pernah mencicip secara langsung. Tapi tak ada salahnya mencoba.

Aku mencecap sedikit.

Hm, tidak terlalu buruk. Meski ikan laut segar tetap jadi yang terbaik.

"Kau harus dengarkan omonganku, dasar adik durhaka. Dan semalam kenapa rumah masih berantakan saat aku pulang kerja? Aku sudah bilang berkali-kali kalau rumah harus sudah rapi saat aku pulang."

Asa mengangkat bahu. "Kukira kau tidak akan pulang semalam."

"Kurang ajar."

Asa mendengus, mencuci piring bekas pakainya sendiri. "Yang kerja bukan hanya kau saja. Aku juga punya shift sampai jam sembilan. Kau kira aku tidak capek?"

"Aku pergi pagi pulang pagi. Kau kira aku juga tidak capek?" Perempuan itu memutar bola mata. "Dan kau juga malah membawa kucing ke rumah."

Aku menyaksikan perdebatan kedua orang itu sambil sesekali mengunyah telur gorengku. Lumayanlah.

"Tapi aku sudah membereskan semuanya pagi ini. Tidak ada yang perlu kau omeli." Asa meraih kain untuk mengusap tangannya. "Dan soal kucing, kan sudah kubilang aku akan melepaskannya ke luar. Pagi ini juga. Sekalian aku berangkat ke sekolah. Puas?"

"Pastikan kau melakukannya," desis perempuan itu.

Asa berjalan ke arahku dan mengambil piring yang sudah kosong lalu meletakkannya begitu saja ke bak cuci. Dia kemudian mengangkatku dan berjalan keluar. Diikuti perempuan itu di belakangnya.

Ketika tiba di luar, aku diturunkan olehnya. Kulihat perempuan itu menutup pintu dan ingin menguncinya.

"Ah, tunggu sebentar! Raketku ketinggalan di kamar," sela Asa sebelum pintu dikunci.

Perempuan itu mendesis sebal sekilas sebelum kemudian kembali membukakan pintu. Asa berlari ke dalam.

Sementara itu aku memutuskan berjalan ke dekat pagar. Membuang hasrat biologis dengan penuh perencanaan.

.

.

"ASAAA KUCINGMUU MENGENCINGI PAGARKUUU....!!!"

.

.

Aku sudah kabur duluan sebelum Asa muncul di depan pintu rumahnya.

.

.

.

SausagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang