V

864 162 11
                                    

.

.

.

.

.

.

Kukonfirmasi : Asa adalah pangeran neraka berkedok kepala bala tentara malaikat.

Aku serius.

Apa dia tidak mengerti kalau aku mengikutinya agar aku terhindar dari hujan dan kelaparan?

Kuulang; agar aku terhindar dari hujan dan kelaparan.

"Kucing bangsat! Bangke!" Asa menyumpah-nyumpah sambil keluar dari ruangan terkutuk itu. Sementara aku berusaha mencari celah untuk bersembunyi di rumahnya yang keadaannya seperti kapal karam di Atlantik.

"Keluar kau, sialan."

Pintu lemari gantung dan laci-laci berderit. Asa menggeledah rumahnya sendiri. Aku bersyukur pada Pencipta kalau dia tidak memiliki penciuman yang akurat seperti milik bangsaku. Dia hanya punya tonjolan di tengah wajah yang belubang dua dan dipenuhi bulu. Betapa memalukan.

Tapi satu hal yang kusesalkan.

Dan harus kuakui dengan berat hati.

Otak Asa bekerja dengan baik. Jauh lebih baik daripada para tikus dan ayam yang suka menyebrang bertepatan dengan kendaraan lewat.

Dia tahu saja cara mengakaliku.

Sebuah piring diletakkan di atas meja kecil. Di atas piring itu—sialan kupenggal kau nanti Asa—ada seekor ikan. Baunya memang tidak selezat ikan yang langsung ditangkap dari laut—yang dulu sering kutemui di pelabuhan. Tapi tetap saja menggoda jika perutmu keroncongan.

Aku tahu aku sedang ditipu, tapi sial—terkutuklah Asa. Semoga dia dimakan beruang dan bangkainya digerogoti belatung di tengah hutan sampai jadi pupuk kompos.

Aku terpaksa keluar dari balik kaleng roti bekas yang terletak di sudut atap lemari gantung. Melompat turun dan menghampiri nona ikan yang sedang menunggu.

Lagi-lagi, Asa menyeringai menang dan menatapku seperti itu. Seolah dia adalah makhluk paling hebat se-galaksi! Bedebah, dia sedang mengolok-olokku.

Laki-laki itu mengusap-usap handuk ke kepalanya yang basah. Aku menatapnya benci sambil perlahan-lahan mendekati ikan.

Selangkah.

Dua langkah.

Sampai akhirnya aku tiba di depan ikan dan melahapnya, Asa hanya terus menontonku.

Lalu beberapa detik kemudian dia membuka mulutnya, "Kau lihat ini. Lukaku yang satu belum sembuh dan kau sudah menambah yang lain."

Ia secara bergantian memperlihatkan tangan kanannya yang ditempeli pembalut luka dan tangan kirinya yang di mana terdapat luka cakar yang masih segar.

"Untung aku beli plesternya dua tadi."

Aku tak mengacuhkan perkataannya. Fokus penuh makan hidangan. Asa sesekali menggumam sendiri. Sebelum akhirnya kembali mengangkatku ketika ikan di piring sudah habis.

Uh-oh. Aku mulai kembali merinding ketika tahu aku akan dibawa ke mana.

Dan itu diperjelas sendiri oleh ucapannya.

"Ayo mandi. Kucing bau tidak diterima di tempatku."

Asa benar-benar tidak belajar dari pengalaman.

"AKU BENCI AIR, OTAK KERANG!!!"

Dan dia harus berpayung ke warung sebelah hanya untuk beli plester lagi.

.

.

.

.

.

.

"Siapa yang bilang kau boleh tidur di kamarku?"

Aku menghentikan langkahku ketika Asa yang melangkah di depanku mendadak berhenti. Nyaris saja kepalaku terantuk dengan pergelangan kakinya.

"Apalagi setelah semua yang sudah kau lakukan." Asa menendang-nendang udara dengan kakinya. Mengisyaratkanku untuk pergi.

Mengusirku, lebih tepatnya.

Dasar makhluk rendahan. Seenaknya saja.

Aku berusaha masuk, tapi Asa terus menendang-nendang ke arahku sampai ia masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Meninggalkanku meraung-raung kesal di depan pintu.

"Biarkan aku masuuuukkk..." ucapku dengan nada tinggi.

Tidak ada balasan dari dalam.

Aku melengos menyerah. Dengan jengkel berpaling dari pintu kamar dan mencari sudut yang nyaman untuk berbaring. Dan sofa kecil di ujung sisi ruangan tampaknya cocok.

Aku melompat naik dan mengambil posisi terbaik.

Siap mendengkur.

.

.

.

SausagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang