2. Hampir usai

28 11 2
                                    

Pagi hari adalah musuh utama yang mesti dijaga, meskipun musuh tapi inilah yang membuat Zilka tetap hidup.
Bangun dari tidurnya adalah kebencian sekaligus kebersyukuran dalam hidup.

Belum lagi sempat Zilka menghirup udara bersih di pagi hari, ia sudah berhadapan dengan piring kotor, bahan masakan dan semua pekerjaan yang sering dilihat orang dalam adegan pembantu di sebuah film.
Namun hal ini tidak berlaku di hari Sabtu-Minggu karena penyelamat hidupnya yang benar-benar tulus berada dirumah.

"Tinggal di rumah 'orang' memang mesti begini, bangun yang paling awal, tidur yang paling malam. Anggaplah ini ucapan terimakasih."
Begitulah pikirnya.

Sempat beradu otak Zilka memikirkan orang seperti apakah yang sekarang bersama-sama di satu atap ini. Mereka orang baik? Bisa juga, mereka orang jahat? Tidak juga. Apakah mereka orang yang terkadang baik dan jahat? Entahlah.

"Hey! Cepat aku lapar! Kenapa belakangan ini kamu sangat lamban? Sakit? Tidak perlu! Mati saja langsung, atau pergi dan hapus jejakmu sendiri!"

"Iya Bi, bersabarlah sedikit lagi."

klonteng

"Apa kamu bilang? Sabar? Hahaha apa kamu tidak melihat aku sedang bersabar menunggu tukang sampah datang untuk mengangkut mu dari rumah ini! Apa kamu bisa prediksi kapan kamu pergi hah?" Ucapnya Bibinya yang begitu menggelegar di rumah besar lalu sedikit berbisik di akhir kalimatnya.

"Kenapa pagi-pagi kalian sudah berisik hah?! Aku masih mengantuk! Tolong bicara di air sana. Dasar kau sampah selalu berisik!"
Sahut kesal Ega sepupu Zilka dari dalam kamar.

Entah menjadi kesalahan atau tidak masakannya nanti, air mata yang meluncur tanpa bendungan terus menetes ke arah kuali itu.
Walau sudah 10 tahun ia terbiasa dengan keadaan seperti ini, tetapi tidak jarang hatinya terluka. Badannya yang terkadang membiru bukan lagi sakit, tapi sudah seperti ciri khas kulit baginya yang jarang dimiliki banyak orang. Berusaha tetap bahagia saja seperti mencambuk dirinya sendiri.

Hari ini adalah hari terakhir Zilka ujian akhir nasional. Benih-benih penderitaannya hampir selesai ditanam.
"Yap! Ketika sesuatu yang hampir selesai di tanam. Tidak merusak takdir, itu memang akan tumbuh lagi, namun ketika aku menganggap yang ku tanam itu benih maka aku akan berharap yang ku panen nanti bunga atau buah."
Begitulah kalimat yang tiba-tiba muncul di kepalanya saat keluar rumah menuju sekolah.

Kali ini yang dipikirkannya bukanlah biaya kuliah, tetapi tempat untuk pergi dari neraka dunia itulah.
Zilka selama 10 tahun ini selalu menabung uang yang ia miliki. Tidak jarang juga ia menampani uang pemberian Pamannya tanpa sepengetahuan Bibi dan anaknya. Beruntung Zilka sadar akan hidupnya.

**

"Zilkaaaaa.. bagaimana hari ini? Apa nenek sihir itu sudah sembuh dari sakit jiwanya?" Tanya seseorang berteriak sambil berlari menuju Zilka

"Hahaha, bicara apa kamu Adel. Bahkan dia pagi ini membanting panci untuk latihan konsernya, hahaha. Awal yang buruk."

"Hahaha, dia cukup bodoh untuk menjadi bibi bidadari yang cantik di sampingku ini, dia tidak memanfaatkan mu cukup baik. Untuk apa setiap saat dia menyiksa mu? Lebih baik dia menjadikanmu model atau bintang film dan mengambil bayaranmu setiap hari, itu lebih baik."

"Dasar kurang ajar kamu Adel. Kemari kamu jangan lari."

"Kejar aku Zilka yang malang, aku buru-buru belum menyalin jawaban ujian. Aku belum pede sepertimu Zilka." Jawab Adel sambil berlari menjauhi Zilka.

"Baiklaaah, cepat salin di paha mu itu Adel."
Katanya sambil menyatukan dua ibu jari dibawah dagu dan jari lain ikut melingkari mulutnya.

Maaf yaa kalau banyak kurangnya, tapi keep reading aja. Karena cerita itu asik bukan awal, tengah atau akhirnya tapi tergantung kamu gimana nya, cerita ini keren juga karena kamu kok. Jadi berikan kesan awal yang baik dari kamu untuk cerita ini. Oke? Hehe^^
Don't forget to vote, vote, vote and vote to good to say negative

Shooting StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang