3. Gelap yang Terang

21 8 2
                                    

Sekarang hari hampir gelap, anak pada umumnya di khawatirkan ketika ia pulang telat, hukum seperti ini tidak berlaku untuk Zilka. Tidak pulang merupakan kabar baik yang ingin didengar oleh telinga Bibi dan Ega di rumah.

Berjalan di temani oleh bintang-bintang di langit malam adalah takdir yang sudah ia nikmati selama 10 tahun ini.
"Hei bintang! Kamu bisa mendengar ku kan? Sepertinya lebih baik menjadi sepertimu daripada manusia. Walaupun hanya berdiam setidaknya kalian bersama-sama, hahaha betapa hinanya sampah sepertiku ini."
Tidak sadar air mata nya tumpah

**

Kaki Zilka yang selalu gemetar ketika sampai di depan rumah itu seolah memberitahunya untuk lebih baik pergi.

"Bibi 'tok tok tok' Ega.. tolong buka pintunya, 'tok tok tok' bibi!"

'ceklek'

"Hah? Masih berani pulang kau pencuri? Kesini kau! Jelaskan semua nya!" Tarik Ega yang kelihatannya marah.

"Aduuh, ada apa Bi? Kenapa uangku di keluarkan dari lemari?"

"Uang mu ?! 'brak geduk'. Apa ini balasan mu setelah apa yang kami lakukan? Apa masih kurang sehingga emas pun kau tukar dengan uang-uang ini HAH! KELUAR KAU SEKARANG JUGA!"
Balas Bibi sambil mendorongnya ke sudut ruangan.

"Bukan Bi. ini uang ku, ampun Bi, aku menabung nya. Tolong jangan usir aku sekarang, Ega tolong beritahu ibumu ak.."

Kata Zilka terputus karena layangan tangan Ega yang tepat tertuju di pipi Zilka.

'prak'

"Ibuku benar, keluar kau sekarang juga! Aku muak dengan perhatian ayahku sendiri yang berlebih untuk mu, cari ayah mu sendiri sana. Berhenti mengemis kasih sayang ayahku. Dia bukan ayah mu! SADARLAH SAMPAH! Bawa uang curian mu itu dan pergilah sejauh mungkin!"
Bentak Ega sedikit tersedu.

**

Seolah bumi ikut bersedih akan dirinya.
Zilka yang saat ini tergambar seolah menguras habis cairan tubuhnya melalui kelopak mata yang indah itu malam hari sendiri di halte bus.
Gelandangan? Begitulah status nya baru-baru ini. Zilka yang sedang menangis sambil memukuli dirinya sendiri melihat ke arah langit gelap tempat hujan itu, ia sedikit terheran dengan satu bintang di tengah langit yang sedang hujan.


"Apa kamu berusaha menghina ku juga? HAH? Tertawalah sepuasmu. Apa kamu tahu sehancur apa aku saat ini. Atau kamu sama seperti ku? Dimana orang tuamu? Apa mereka juga menghilang. AYAH! Apa ayah ku masih hidup? Tolong kembalikan orang tuaku. Aku sedang meminta kepada siapa sekarang? TUHAN!? Apakah ada Tuhan di dunia ini? Siapapun yang mendengar ku tolong temani aku! Ayaaah, ibuu, ayaah."

Zilka terus menangis, kini bedanya ia tak lagi berbicara kepada bintang yang tidak bersalah. Ia terus menundukkan kepalanya.

Tangis Zilka tiba-tiba berhenti karena melihat sepasang kaki dengan sepatu mengkilap berada di samping kedua kakinya. Zilka meneliti jam tangannya yang menunjukkan pukul 03.15 dan tidak berpikir orang kantoran baru pulang di waktu seperti ini sedang menunggu bus.

"Kamu terlalu cepat memarahiku, seandainya lebih lama sedikit. Kamu akan melihat ku datang." Begitulah kata si pemilik sepatu mengkilap kepada Zilka

"Ah! K..kk..kamu siapa? Maaf aku terlalu berisik, jangan hiraukan aku, aku juga akan pergi, maaf."

Zilka langsung berdiri dan berniat pergi dari halte bus itu, namun tangannya tertahan oleh genggaman pria berpenampilan rapi tadi.

"Tunggu, aku bukan orang jahat. Biarkan aku memperkenalkan diriku, aku unit no. 507 dari DSS ( Departement shooting star )

"Lepaskan, dasar pemabuk."

"Heyyy!"

Zilka tidak perduli jika yang barusan itu seorang malaikat atau Tuhan sekalipun, ia lebih memilih pergi meninggalkannya.

Shooting StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang