SATU

164 19 11
                                    

Sinar yang hangat, rumput yang hijau, bau bunga yang sangat tajam menusuk hidungku, dan badanku terasa ringan sekali. Tempat ini bagaikan surga bagiku. Surga kan tempat orang yang sudah meninggal ya kan? Apakah aku sudah mati? Masag sih aku sudah mati? Aku kan masih muda dan belum menikah. Masag iya aku mati muda, Tuhan?

"Arteri....." Tunggu, tunggu, kok ada yang tau nama aku? Dan kenapa suaranya berat gitu? Seksi banget ahh..

"Arteri...." Tuh kan, aku dipanggil lagi nih. Apa ini memang sudah waktuku?

Kenapa tubuhku dingin sekali? Ada apa ini? Kemana sinar hangat tadi?

"Ateri bangun !!!!!!!!!!" Byurrrr.....

"Arghhhh!!! Siapa sih yang menyiram air ini!!!"

Tanganku sudah terkepal untuk memukul orang yang telah menyiramku tadi. Samar-samar kulihat wajah itu seperti ibuku sendiri.

Dan makin lama kok makin jelas wajah ibuku ya?

"Hei!! Bangun!! Mau sampai kapan kamu tidur seperti kebo?" Ibu memegang gayung sambil menoyor kepalaku.

"Hehehe, emang sudah jam berapa sih bu" Ibu kembali memukul pundakku, hal yang selalu dilakukan ibu ketika kesal denganku.

"Jam 9 loh dek"

"Ohhh.. masih jam 9.. " Kenapa ibu mesti membangunkan jika masih jam sembi... "Hagh... jam SEMBILAN bu?!!! Kenapa ibu tak membangunkanku daritadi?" Aku langsung lari kekamar mandi tanpa mendengar celotehan ibu yang akan terdengar seperti lagu horor seperti lagu lingsir wengi atau apalah itu.

Hanya 5 menit saja kuselesaikan mandiku dan langsung memakai baju kemeja kotak-kotak dan celan jeans bututku. Aku lari kedapur dan melihat kakak ku Vena sedang memakan nasi goreng buatan ibuku. Langsung kusambar sendok dan piring kak Vena.

"Hei! Selalu saja begitu kamu dek" Kak vena langsung mengambil piring yang baru untuk makanannya.

"Hehehehe.." aku hanya membalas dengan cengiran khas ku..

"Dek, makan itu sambil duduk dong. Pelan-pelan aja makannya, nggak ada yang mau rebut makanan kamu kok dek" kata kak Vena menasehati. Vena dan Arteri bagaikan dua sisi logam yang berbeda. Vena yang berpenampilan selalu rapi dan bersikap sangat lembut sangat berbeda dengan adeknya Arteri yang berpenampilan lebih seperti cowok dan lebih suka ngomong sesukanya.

"Iya kak, ini mau cepat loh, nanti aku telat" Aku langsung menyambar tas ransel ku. "Kak, bu, aku pergi yah. Ntar aku pulangnya agak malam ya bu, soalnya ada kerja kelompok bu dirumah Citra" Sambil menyalam tangan ibu dan kakak ku.

"Iya, hati-hati pulangnya ya dek" jawab ibu Arteri.

Aku berlari kencang sambil melihat jam tanganku. "Aduh , bentar lagi lewat busway nya. Kalau terlewat bisa nunggu sejam lagi nih" Busway itu sudah mau lewat, aku mempercepat lariku.

"Hei!! Tunggu jangan ditutup dulu" Kulangkahkan kaki ku lebar-lebar dan akhirnya sampai juga didepan pintu busway.

Ini masih mimpi atau gimana sih? Kok aku bisa liat malaikat seindah ini. Astaga, mata birunya......

"Cepat masuk, malah diam lagi!"

Malaikat ini kok galak banget. Sepertinya aku bukan berada dalam mimpi, karena seorang malaikat nggak akan pernah marah-marah seperti ini.

"Sabar dong bang, kalau aku jatuh gimana?" Kupasang muka lebih sangar darinya dan mataku bertatapan dengan mata birunya. Arghh.. matanya indah.

"Sudah selesai memandangku adek manis?" Aku tersedak ludahku sendiri karena ketahuan memandang dia. Kukibaskan rambut panjangku kemukanya.

"Adek manis, jangan kibas rambut dong, nanti kutunya terbang-terbang loh." Dan dia mengusap mukanya serasa memang ada kutu yang nyangkut dimukanya itu.

"Hei, sampai kapan kalian mau berantem didepan pintu itu?" Baru saja mau membalas perkataan kasarnya, semua mata penumpang memandang tajam kepada kami berdua. Aku menundukkan kepala malu karena perkelahian kami yang sesaat itu. Aku langsung mengambil tempat duduk dibelakang.

Kenapa sih cowok itu malah jalan kearahku? Apa dia mau minta maaf? Atau mau ngajak kenalan? Atau dia terpesona dengan kecantikanku seperti Putri dicerita dongeng-dongeng? Tuh kan dia mulai mengulurkan tanganya, terima nggak ya??

"Hei, ongkosnya adek manis??" Wajahku memerah karena malu.

"Nih..." sambil menyodorkan uang ribuan kepadanya. Setelah mengambil uangku, dia langsung berjalan menjauh dan duduk disamping pak kusir yang sedang bekerja, lho kok jadi nyanyi? maksudnya duduk disamping supir.

***

Heii... ini cerita perdanaku. Masih perlu saran dan kritik untuk cerita ini. Jangan lupa vote dan komennya ya. Tambahkan cerita ini dilibrary kamu. 

Happy reading geng!!!


Bukan CINDERELLA (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang