Setelah melewati perjalanan kota metropolitan ini. Akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan. Ku berjalan memasuki coffeshop dengan gagah dan angkuh. Dan seperti biasa semua pandangan tertuju padaku.
Dari kejauhan sudah terlihat batang hidung lelaki satu itu. Dia adalah Aldy. Salah satu sahabatku yang selalu mengerti keadaanku.
Semakin dekat jarak ku dengan tempat duduk dia. Ku tarik kursi di hadapannya dan duduk.
"Kenapa lagi lo?" tanya dia.
"Gue abis ketemu cewek gila" jawabku.
"Siapa?" tanyanya.
"Ga tau. Yang pasti gue yakin. Dia bukan dari kalangan atas" kataku.
"Emang dia udah buat apa?" aldy bertanya kembali.
"Nabrak belakang mobil gue terus berani ngelawan gue dan pergi gitu aja" jelasku.
"Serius? Bener-bener gila tuh cewek. Berani banget ngelawan seorang zidane geovan" komentarnya.
Drtt..drtt..drrtt..
Suara getar handphone ku menghentikan sejenak pembicaraanku dengan aldy.
"Kenapa?" tanyaku pada penelpon.
"Kamu dimana?" tanya orang itu.
"Bukan urusan anda" jawabku cetus.
"Pulang sekarang!" perintahnya.
"Anda ga berhak ngatur-ngatur saya lagi" kataku. Lalu mematikan panggilan secara sepihak.
Aku tak suka di atur-atur. Ini hidupku. Biarkan aku yang menjalaninya sesuai keinginanku.
"Papah lo?" tanya aldy.
Aku hanya membalas pertanyaannya dengan sedikit mengangguk.
"Mending lo pulang, mungkin dia lagi butuh lo" saran aldy.
"Kapan lelaki itu butuhin gue?"
Aldy menghela napasnya, itu berarti dia menyerah untuk melanjutkan pembicaraan ini.
22.00 WIB
Mobil mewahku memasuki parkiran rumah ini. Rumah indah tapi sayang hanya terlihat dari luarnya saja. Ku langkahkan kaki masuk tempat ini.
"Berani sekali kamu matiin telepon dari papah" kata lelaki itu.
Aku tetap melangkahkan kaki ini tanpa memperdulikan kata-kata lelaki itu.
"Zidane kamu benar-benar sudah tidak punya sopan santun!" bentak lelaki itu.
Ku tengokan kepalaku kepadanya. Menatap sinis wajahnya yang terlihat sudah penuh emosi. Tapi aku tetap tidak tergoda untuk beradu mulut dengannya. Dan kembali melanjutkan langkahku menuju kamar.
"ZIDANE!" bentaknya sekali lagi.
"Apa?" jawabku tenang.
"Kamu tuh udah ga nganggap saya papah kamu lagi hah?" tanyanya.
"Papah?" tanyaku pada diri sendiri sambil menaikan salah satu alisku.
"Orang seperti anda masih pantas saya panggil papah hah? Saya rasa anda sekarang sudah pantas saya panggil monster" jelasku lalu pergi keluar kembali meninggalkan tempat itu.