Tak Terlihat.

16 2 0
                                    

Hari ini jadwal pertama yaitu Sejarah yang diajarkan oleh Pak Pongki, beliau memberi waktu hanya 15 menit untuk belajar dan kemudian ulangan.
Hoaah sejarah teori teori hafalan malas banget deh rasanya.
.
.
"Tumben udah dateng?" Tanyaku kepada laki laki menyebalkan yang duduk tepat dibangku belakangku.

"Bawel." Sahutnya.

"Rez, tumben amat lu biasa nya telat." Ujar salah satu teman sekelasku, Daffa.

"Bawel 2." Sahutnya lagi.

Reza, bener bener deh kenapa dia kalau ngomong kayaknya irit banget. Itu mulut ada apaannya sih.-.

"Pagiiii Rezaaa.." Sapa seorang perempuan cantik yang selama ini diketahui sangat dekat dengan Reza.

"Pagi juga, Lisa." Balas Reza mendadak hangat.

Lisa, dia adalah kakak kelas kami. Kabarnya memang dia mempunyai hubungan spesial dengan Reza.

Lisa memandangku. Aku pun memasang senyum sebisaku walau jadinya malah awkward.

"Reza, ke kantin yuk aku belum sarapan." Ajak Lisa.

"Yaudah, ayok."

Aku mendengus kesal. Dia berubah 180 derajat dari sifat aslinya. Menjadi lembut sekali didepan kak Lisa.

Tapi entah kenapa aku selalu merasa sesak melihat Reza dekat dengan perempuan lain. Terkadang aku tidak bisa mengontrol emosiku sendiri.

"Woy, bengong aja loo.." Teriak temanku, Sanny.

"Ah, elo San bikin kaget aja." Ujarku.

"Tadi gue liat Reza lagi sama si Lisong mau ke kantin." Cerita Sanny.

"Udah tau gue."

"Emang deh tuh cewek niat banget sampe nyamperin kekelas." Gerutu Sanny.

"Sssutt..."

"Ohh, iyaaap.." Sanny memperagakan tangannya yang sedang mengunci mulut rapat rapat dan membuang kunci tersebut. Dasar pantomim gagal.

20 menit kemudian bel masuk pun berbunyi. Dan sialnya aku kehilangan kontrol tubuhku. Keringat dingin mengalir diseluruh tubuhku. Rasanya sakit. Namun tetap ku tahan dan bersikap biasa saja. Aku tidak ingin orang lain tahu selain Sanny.

"Af, sakit lagi?" Tanya Sanny dengan berbisik.

Aku mengangguk sambil menghembuskan napas berat. Aku bisa menahannya. Aku bisa. Aku ahlinya berpura pura.

Sebuah jari menyentuh punggung ku memintaku untuk menoleh. Namun aku tidak meresponnya aku takut dia bisa membaca wajah menderitaku ini.

"Woy!" Panggilnya mulai kesal.

"Apaan sih lo!" Bentakku. Sumpah aku tidak bisa mengendalikan diriku.

Dia tersentak kaget mendengar jawabanku. Pastilah, padahal dia belum bilang apa apa tapi aku sudah memakinya terlebih dahulu.

"Maaf." Ucapku dalam hati.

"Lo butuh apa emang?" Tanya Sanny mewakilkanku.

"Pulpen."

Sanny mendengus dingin. Dan memberikan salah satu pulpen yang aku punya.

"Thank you, San. Bilangin temen lu jangan baperan." Ucap Reza menyindir.

"Itu pulpen Afra bukan pulpen gue." Balas Sanny dengan tatapan sinis.

Reza tidak bersuara lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hi, Gamer.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang