00. Prolog

270 28 3
                                    


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Matanya terbuka perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamar yang putih. Bau antiseptik terasa menyengat. Seketika dia tersadar bahwa dirinya berada di rumah sakit.

Ruang rawatnya tampak sepi. Tentu saja, memangnya siapa yang mau repot-repot menemaninya di sini? Gadis itu berusaha untuk bangkit dari ranjang. Ketika mendapati tangannya terhubung dengan selang infus, dia segera mencabutnya dengan kasar, menyebabkan dirinya meringis beberapa saat.

Kepalanya terasa pening. Namun dia memaksakan diri untuk berjalan meskipun dia merasa tubuhnya sedikit lemah.

Setelah berhasil keluar dari ruangan, gadis itu tertegun ketika matanya menangkap seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi tunggu rumah sakit. Jaraknya terlampau jauh dengan wanita itu. Namun bahkan jika dia melihat wanita itu dari jarak yang dua kali lipat jauhnya dengan sekarang, dia akan tetap bisa mengenali wanita itu sebagai Mamanya.

Setahunya, Mama adalah orang yang kaku, penuh kendali dan berwibawa. Namun kali ini, dia melihat Mama menangis. Mama terlihat rapuh.

Gadis itu mengerti mengapa Mama memilih duduk di kursi tunggu rumah sakit yang letaknya jauh dari ruang rawatnya. Mama pasti tidak ingin tertangkap basah dalam keadaan menangis.

Tanpa sadar kedua tangannya mengepal kuat. Dia berjalan cepat-cepat, khawatir Mama akan menyadari kehadirannya. Dia menaiki tangga hingga sampai ke atap rumah sakit. Angin malam menerbangkan rambutnya dengan bebas. Pakaian rumah sakit yang tipis tidak bisa menghalau hawa dingin yang menusuk tulang. Namun dia tidak mengacuhkannya.

Untuk segala hal yang telah berubah, sungguh, dia ingin menyangkalnya. Namun ketika dia membuka mata dan mendapati dirinya berbaring di ranjang rumah sakit, mau tak mau dia harus menelan kenyataan pahit bahwa ini nyata. Ini bukan dongeng Cinderella yang ketika jam berdenting dua belas kali, semua akan kembali normal.

Gadis itu memejamkan mata. Dan layaknya adegan dalam sebuah film dokumenter, cerita dalam hidupnya terekam jelas dalam bayangan, diputar ulang secara berurutan. Papa selingkuh. Kedua orangtuanya bercerai. Dia dan Mama pindah ke Jakarta. Dia kecelakaan dan masuk rumah sakit. Terakhir, untuk kali pertama dalam hidupnya, dia menyaksikan Mama menangis.

Hidupnya sudah hancur. Cerita tentang keluarga bahagia hanya ada di hari kemarin. Tidak ada lagi yang tersisa. Semua sudah berakhir. Jadi kenapa tidak sekalian dia akhiri juga hidupnya?

Satu tetes air mata meluruh disusul tetesan berikutnya. Kedua matanya terbuka perlahan. Dia menatap ke bawah, gedung berlantai lima ini pasti mampu membuatnya mati dalam sekali terjun. Dia menelan ludah. Jantungnya berdegup keras seiring langkahnya yang semakin dekat dengan ujung atap gedung. Tangannya terasa kebas.

"Lo mau bunuh diri?"

Gadis itu berhenti melangkah. Dia menoleh, mencari-cari sumber suara. Dan terkejut ketika mendapati seorang laki-laki asing tengah berdiri dengan santai di sudut atap gedung.

Tangan laki-laki itu tersembunyi di balik saku jeansnya. Kepalanya tertutup tudung jaket. Gadis itu tidak tahu bahwa dia telah lama berdiri di sana dan sedari tadi memperhatikannya.

Laki-laki itu berjalan mendekat. "Gue tanya, lo mau bunuh diri?"

Gadis itu menatap si laki-laki dengan kesal. "Bukan urusan lo!" desisnya. Suaranya lebih parau dari yang diduga. Dia menghapus kasar air mata dengan punggung tangannya.

Mendengus, laki-laki itu berhenti beberapa meter dari si gadis. Lalu melipat kedu tangannya di depan dada. "Silakan loncat," ucapnya ringan.

Gadis itu memelotot. "Apa?"

"Lo mau bunuh diri, kan? Biar gue jadi saksi pertama atas kematian lo," katanya dengan santai. Seolah bunuh diri dan kematian bukanlah sesuatu yang penting.

Ketika gadis itu tak kunjung melaksanakan niatnya untuk loncat dari atap gedung, laki-laki itu menguraikan tangannya dan memasukannya ke dalam saku jeans. Dia kembali melangkah. Kali ini berdiri menjulang di samping gadis itu.

Gadis itu memberanikan diri balas menatap kedua manik mata hitam tengah melihatnya dengan intens.

Sesaat. Hanya untuk sesaat, laki-laki itu membiarkan gadis di hadapannya melihat ke dalam matanya. Melihat apa yang tersembunyi di sana dan hanya bisa ditemukan oleh mata yang juga mengalami hal serupa.

Mata itu memperlihatkan segalanya, menceritakan apa yang tidak tersuarakan. Mata itu bercerita bahwa bukan hanya gadis itu saja yang mengalami nasib sial. Hidup laki-laki itu juga sama menyedihkan. Ketika menyadari persamaan antara dirinya dengan laki-laki itu, tubuhnya berubah kaku. Mereka adalah dua luka yang tidak bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan.

"Jangan bunuh diri. Seberat apa pun masalah yang lo hadapi. Lo pasti punya orang yang sayang sama lo. Jangan buat mereka sedih. Karena orang-orang akan berubah setelah mereka kehilangan sesuatu," kata laki-laki itu. "Ada banyak manusia yang berjuang untuk hidup. Ada banyak orang yang berusaha berada di posisi lo. Jadi lo nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Tuhan. Luka-luka yang lo punya, itu harus disembuhkan. Bukan dibunuh gitu aja. Lo harus kuat." Ucapannya tidak terkesan menggurui, karena pada saat yang bersamaan, dia juga tengah menasehati dirinya sendiri. Laki-laki itu mengeluarkan tangan kanannya dari dalam saku dan menarik tangan gadis di depannya. Dia meninggalkan sesuatu di telapak tangan gadis itu. Lalu berbalik dan berjalan pergi.

Gadis itu menatap sesuatu dalam telapak tangannya. Sebuah cat minyak berwarna hitam. Dia menggenggamnya terlampau kuat seiring air matanya yang kembali meluruh. Ucapan laki-laki itu bagai anak panah yang menancap tepat di pusat sasaran. Dia berhasil menarik gadis itu kembali dalam garis rasional.

MengangkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang