Ketika bangun dengan keadaan kepala yang terasa sakit, Angkasa mengerang. Semalam dia baru bisa terlelap ketika jam menunjukkan pukul satu lewat banyak.
Saat pening di kepalanya sedikit mereda, dengan malas dan berusaha sebisa mungkin melawan gaya tarik kasur yang kuat, Angkasa berjalan menuju kamar mandi. Johan masih tengkurap di atas kasurnya sendiri.
Angkasa butuh air dingin untuk menyegarkan pikirannya. Semoga setelah itu dia bisa mengusir ucapan-ucapan Bintang yang terus terngiang tanpa diminta.
Mungkin dia harus menjaga jarak dengan gadis itu.
Tapi, tunggu dulu, untuk apa? Kenapa dia harus menjauh dari Bintang? Memangnya gadis itu salah apa?
Ah, jelas gadis itu salah! Dia telah berani merecoki isi kepala Angkasa. Dan itu bukan hal yang bagus.
Tapi, Bintang tidak bermaksud melakukan itu. Pikiran Angkasa sendiri yang berkhianat. Jadi, gadis itu tidak bersalah.
Angkasa mendengus kesal. Kenapa batinnya terus berdebat tidak jelas seperti ini?
Lupain. Lupain. Lupain. Angkasa terus mengucapkan kata itu dalam hati, bak mantra ajaib. Seakan dia bisa terkena sial jika tidak melakukannya.
Johan masih belum bangun ketika Angkasa keluar dari kamar mandi. Jadi, dia mencoba untuk membangunkan temannya itu atau mereka akan terlambat ke sekolah. "Woy, kebo! Bangun!" ucapnya seraya mengguncang-guncangkan tubuh Johan.
Johan hanya menggumam tak jelas lalu menutup kepalanya dengan bantal, meredam ucapan Angkasa.
Angkasa mulai kehabisan kesabaran. Dia lantas mengambil minyak kayu putih yang disimpan dalam laci mejanya.
Menarik bantal yang menutupi kepala Johan, Angkasa mendekatkan minyak kayu putih itu ke hidung temannya. Seketika Johan bersin-bersin. Angkasa menyeringai.
"Sialan! Jauhin benda terkutuk itu dari gue!" seru Johan kesal. Laki-laki itu seketika terbangun, mengambil posisi duduk. Dia memang memiliki alergi dengan minyak kayu putih. Dan Angkasa selalu menggunakan minyak kayu putih itu untuk mengganggu Johan.
"Abisnya lo susah banget dibangunin," ujar Angkasa cuek. Dia lalu menaruh kembali minyak kayu putih itu ke tempat semula. "Sana mandi!"
Johan mendesah. "Gue harap hari ini libur."
***
Angkasa dan Johan tiba di sekolah pukul tujuh kurang sepuluh menit. Dan alih-alih mengikuti Johan menuju kelas XI IPA 3, Angkasa justru melangkahkan kakinya ke arah lain.
"Woy, lo mau ke mana?" teriak Johan ketika baru menyadari Angkasa tidak lagi berjalan di sampingnya.
"Lo duluan aja!" balas Angkasa yang diimbuhi decakkan sebal oleh Johan.
Angkasa berjalan di koridor dengan tenang. Namun ketenangan itu tidak sampai pada hatinya. Dia resah. Apakah keputusannya ini sudah benar? Apakah hasilnya akan sepadan dengan risikonya?
Karena pikiran yang kacau, Angkasa tidak sadar kakinya sudah sampai di tempat tujuan. Tangannya mengetuk pintu beberapa kali. Dia baru berani masuk ketika seseorang dari dalam ruangan itu mengizinkan.
"Ada apa?"
Angkasa mengambil napas banyak-banyak. Dia menatap laki-laki setengah baya yang tengah sibuk dengan berkas-berkas di tangannya. "Saya mau bicara sebentar, Pa."
Tanpa mengalihkan fokusnya dari dokumen yang tengah dibaca, Surya berkata, "Silakan."
Mendengar respons yang dilontarkan dengan begitu santai, Angkasa menduga Papanya pasti sedang berada dalam mood yang baik. Dia bersyukur atas itu. Semoga ini akan jauh lebih mudah dari yang dibayangkan. "Saya mau ikut lomba graffiti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengangkasa
Jugendliteratur"Jika ucapan selamat ditujukan untuk hal-hal yang baik, lantas di mana letak kebaikan dalam ucapan selamat tinggal?" --- Copyrights 2017 by Anroy. Amazing cover by @firdaadilah