“Kamu yakin mau sekolah di sana?”
Bintang mendongak, menatap wanita paruh baya yang tengah menikmati sarapan di hadapannya. Sejak kapan Mama peduli tentang keputusan yang aku ambil? “Iya, aku mau sekolah di sana.”Dalam balutan kemeja rapinya, Mama duduk dengan anggun dan penuh wibawa. Mama mengambil tisu lalu mengusapkannya ke mulut. Tangannya diletakkan di atas meja, jari-jarinya saling bertautan. Matanya menatap satu-satunya putri yang dia miliki. “Berarti kamu harus tinggal di asrama dan hanya bisa pulang ke rumah setiap hari sabtu dan mingg—”
“Aku tau. Itu bukan masalah.” Bintang memotong ucapan Mama. Lagipula percuma aku ada di rumah tapi Mama selalu sibuk dengan pekerjaan Mama. Nggak akan ada yang nemenin aku. Nggak aka nada orang yang bisa aku cium tangannya ketika aku pulang sekolah. Aku bakal sendirian dan berakhir dengan mati bosan di rumah.
Mama mendesah sebelum kembali membuka suara. “Oke, kalo itu pilihan kamu. Jaga diri kamu baik-baik. Tante Nirma akan mengurus semua kebutuhan kamu. Mama pergi dulu.” Lalu Mama berdiri dan pergi, begitu saja. Tidak berniat menemani dan mengantar Bintang ke sekolah barunya. Baiklah, tidak apa-apa, lagipula BIntang dan Mama tidak sedekat itu.
Bintang tersenyum getir lalu buru-buru menghabiskan serealnya. Dia harus sudah siap ketika Tante Nirma datang nanti.
***
Bintang mengikuti Tante Nirma menyusuri koridor sekolah barunya. Dalam hati, Bintang mengagumi bangunannya yang begitu megah. Tidak heran jika SPP yang dikeluarkan per bulannya terbilang fantastis. Matanya menyapukan pandangan ke sekeliling. Sepertinya bel masuk belum dideringkan karena masih banyak siswa-siswi yang berkeliaran.
Bintang mengekor Tante Nirma ketika wanita itu masuk ke dalam sebuah ruangan yang di depan pintunya bertuliskan ‘Headmaster room’.
Pak Radi yang notabene sang kepala sekolah sontak menegapkan tubuhnya begitu tamu yang sedari tadi dia tunggu, memasuki ruangan.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Tante Nirma.
“Selamat pagi, Ibu Nirma dan BIntang. Silakan duduk.”
Bintang segera duduk di sebelah Tante Nirma.
“Selamat datang di sekolah ini, Bintang. Ini seragam sekolah kamu,”—Pak Radi menyentuh beberapa seregam di atas meja—“kamu bisa mulai belajar di kelas XI IPA 2 hari ini. Tapi kalau kamu belum siap, kamu bisa masuk besok pagi. Dan kami juga sudah menyiapkan kamar asrama untukmu. Kamu akan tinggal di asrama satu putri, di kamar nomor dua puluh empat. Semua buku pelajaran sudah disiapkan di sana.”
Bintang mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
“Apa dia akan tinggal sendirian di kamar asramanya?” tanya Tante Nirma.
Pak Radi menggeleng. “Tidak, satu kamar dua orang.”
Tante Nirma menoleh menatap Bintang, seolah meminta pendapat atau apa. Namun Bintang tidak mengindahkan tatapan itu, dia hanya diam. Tante Nirma kembali menatap Pak Radi. “Apa tidak bisa satu kamar satu orang?”
Sembari memasang seulas senyum, Pak Radi menjawab, “Tentu saja bisa, jika untuk Bintang.”
Bintang mengernyit. Sama sekali tidak menyukai gagasan tersebut. “Nggak. Satu kamar dua orang bukan masalah buatku. Aku nggak suka didiskriminasi,” katanya seraya menatap Tante Nirma dengan kesal. Hanya karena Mamanya adalah penyandang dana terbesar di sekolah ini, bukan berarti Bintang harus diperlakukan dengan berbeda.
Tante Nirma balas menatap Bintang beberapa saat. Dia menghela napas. “Baiklah, biarkan Bintang tinggal di kamar nomor 24 itu, Pak.”
***
![](https://img.wattpad.com/cover/103775591-288-k658480.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengangkasa
Teen Fiction"Jika ucapan selamat ditujukan untuk hal-hal yang baik, lantas di mana letak kebaikan dalam ucapan selamat tinggal?" --- Copyrights 2017 by Anroy. Amazing cover by @firdaadilah