02. Jaket

149 22 0
                                    

Hari-hari bergulir pergi. Tidak terasa ini adalah hari keempat Bintang di sekolah barunya. Selama itu Bintang belum pernah sekali pun meninggalkan area sekolah atau asrama, meskipun siswa-siswi diizinkan keluar dari area itu sampai jam sembilan malam. Lewat dari jam tersebut maka siap-siap mendapat hukuman.

Sesekali Mama menelepon untuk menanyakan kabar Bintang dan apa yang anak gadisnya butuhkan.

Bintang dan Melan pun semakin akrab. Melan tidak pernah sungkan menemani Bintang atau sekadar membantunya.

Hari ini ketika bel pulang dideringkan, Bintang tidak mengikuti Melan untuk langsung ke asrama. Dia menyuruh Melan untuk pulang lebih dulu. Bintang sempat kesulitan menyakinkan gadis itu bahwa dia baik-baik saja jika pulang sendiri. Toh jarak dari sekolah ke asrama tidak terlalu jauh. Asrama terletak di belakang gedung sekolah. Hanya memakan waktu kurang lebih lima menit untuk mencapai asrama dengan berjalan kaki.

Alasan Bintang tidak segera pulang sebenarnya bukan karena gadis itu berniat mengunjungi perpustakaan seperti yang dia bilang pada Melan. Melainkan dia berniat memastikan sesuatu. Karena tadi Bintang menangkap sosok laki-laki yang tidak asing di matanya.

Bintang sempat kehilangan jejak laki-laki itu. Namun lewat sudut matanya, dia melihat laki-laki itu masuk ke dalam ruang kepala yayasan.

Bintang tidak berniat menjadi penguntit, namun ketika telinganya mendengar suara gaduh dari dalam ruangan tersebut, dia tidak bisa menahan langkahnya untuk mendekat. Bintang bersyukur area ini sepi. Jadi tidak akan ada yang mencurigainya.

Dan di sinilah Bintang, mengintai di samping jendela ruang kepala yayasan.

Aktivitas di dalam ruangan itu sukses membuat Bintang didera kejut. Menutup mulutnya dengan kedua tangan, gadis itu setengah mati berusaha untuk tidak menimbulkan suara apa pun.

***

Ke ruangan saya setelah kegiatan belajar selesai.

Layar ponsel itu meredup ketika Sang Pemilik tidak berniat menyentuhnya lagi setelah membaca sebuah pesan masuk beberapa saat yang lalu. Tangannya menggenggam ponsel kuat-kuat seolah berniat meremukkannya. Rahangnya mengatup rapat. Raut wajahnya seketika mengeras.

Ketika bahunya ditepuk dari samping, genggamannya pada ponsel mengendur. Emosi yang baru saja dia rasakan segera dienyahkan. Dia menoleh dan menatap teman sebangkunya dengan pandangan bertanya.

"Gue futsal dulu ya, Sa," ujar Johan yang sudah berdiri dan menyampirkan tas di bahu sebelah kanannya.

Angkasa mengangguk kaku. "Gue mau langsung ke asrama," katanya seraya merapikan peralatan tulis ke dalam tas. Tangannya meraba kolong meja dan mengeluarkan sebuah kertas dari sana. Sebuah lembar jawaban dari ulangan Biologi terpampang jelas dengan nilai delapan puluh lima.

Ingin rasanya Angkasa meremas kertas itu kuat-kuat lalu membuangnya ke tong sampah. Secara teori, nilai delapan puluh lima tidak rendah-rendah amat. Lulus dari KKM yang hanya mematok nilai 80 saja sudah untung-untungan. Tapi untuk Angkasa, dengan mengantongi nilai itu, dia akan mendapat masalah besar.

Angkasa segera berdiri dan keluar dari kelas yang sudah lumayan sepi karena bel sudah dideringkan beberapa saat yang lalu. Langkah panjang-panjangnya memangkas jarak dari kelas XI IPA 3 ke ruang kepala yayasan hanya dalam hitungan menit.

Ketika mencapai pintu, tanpa ragu Angkasa segera mengetuknya tiga kali.

"Masuk!"

Menelan saliva, tangan Angkasa terulur memutar kenop pintu lalu masuk ke dalam ruangan itu.

Tanpa diperintah, Angkasa duduk di depan pria yang mengenakan jas hitam. Mata pria itu menatap Angkasa intens dan penuh intimidasi.

Tangan pria itu terulur, meminta sesuatu tanpa mengucapkannya.

MengangkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang