06. Kemelut Batin

121 16 0
                                    

Ketika kembali ke hadapan Angkasa, Bintang merasa pipinya memanas. Apa laki-laki itu melihat dia berpelukan dengan Pram? Yah, semoga saja tidak. Namun dilihat dari ekspresi Angkasa yang datar-datar saja, Bintang yakin laki-laki itu tidak peduli dengan apapun yang terjadi. Dia juga tidak bertanya mengenai Pram atau alasan Bintang menemuinya.

Lagipula Bintang merasa tidak berada di posisi yang mengharuskan dia menjelaskan apapun. Dan Angkasa juga tidak sedang berdiri di tempat yang mengaruskan dia mendapat penjelasan, 'kan?

Angkasa hanya bertanya "Udah?" yang dijawab anggukan oleh Bintang, lalu mereka berjalan bersisian, kembali ke sekolah.

Dalam perjalanan menuju kelas mereka, Bintang sempat membaca jenis-jenis perlombaan yang tertulis dalam juklak pemberian Pram. Akhirnya dia menemukan sesuatu untuk diucapkan, memecah keheningan yang menemani langkah keduanya. "Sa, ada lomba graffiti, nih. Siapa tau lo tertarik buat ikutan."

Angkasa menerima juklak yang Bintang ulurkan. Matanya membaca nama sebuah sekolah yang tertulis di sana. "Ini dari sekolah lama lo?" tanyanya.

Bintang mengangguk. "Iya, tadi temen gue ngasih itu. Siapa tau murid-murid di sini tertarik buat berpartisipasi," ujarnya. Dalam hati, dia menyadari kata teman tidak sepenuhnya cocok untuk mewakili Pram. Tapi, biarlah. Angkasa tidak berhak tahu lebih banyak, 'kan?

Angkasa menghela napas. "Sebenernya gue nggak pernah ikut kompetisi apa-apa. Jadi, yah, jawaban gue nggak. Gue nggak berminat ikut."

"Kenapa? Bakat lo terlalu berharga untuk disia-siakan tau!"

Angkas menggeleng, lalu mengembalikan juklak pada Bintang. "Lo kasih ke pengurus mading aja, biar di tempel di mading. Siapa tau ada murid yang lain tertarik buat ikutan. Atau, lo bisa kasih ke pengurus OSIS."

"Oke. Tapi, kalau lo berubah pikiran, jangan ragu buat ikut." Bintang berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar kecewa. Lagipula ikut atau tidaknya Angkasa dalam perlombaan itu, tidak ada pengaruhnya untuk Bintang, 'kan?

***

"Kenapa? Bakat lo terlalu berharga untuk disia-siakan tau!"

Dalam cahaya kamar yang remang, yang hanya bersumber dari lampu tidur di samping ranjangnya, Angkasa termenung. Dia terus-menerus terngiang ucapan Bintang.

Angkasa mendengus. Sejak kapan dia membiarkan otaknya memikirkan ucapan seorang cewek yang bahkan baru dikenalnya beberapa hari belakangan? Ini pasti terjadi karena jarang sekali ada orang yang mengakui bakatnya, di saat orangtuanya justru berusaha menjauhkannya dari hal tersebut.

Diliriknya Johan, laki-laki itu sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu. Angkasa memperbaiki posisi tidurnya di atas kasur. Helaan napas berat lolos begitu saja. Munafik jika dia bilang tidak tertarik dengan perlombaan itu, tapi dia yakin sekali Papa akan menentang keras hal tersebut. Papa pasti akan berpikir bahwa hal itu akan mengganggu fokus belajarnya. Dan seharusnya dia tidak seresah ini. Bukankah dia sudah terbiasa melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan keinginannya?

"Tapi, kan, di sebelah lo juga ada Bintang, Sa. Masa Bintang segede gini nggak keliatan, sih?"

Ck! apa lagi, sih, ini?! Angkasa memejamkan mata. Ingatannya memutar kembali memori ketika Bintang berpelukan dengan seorang laki-laki. Nggak. Jangan hadirkan bintang dalam hidup gue kalau dia bakal hilang ketika pagi hari datang. Gue nggak siap dengan segala risiko kehilangan lagi.

"Menurut penelitian para Astronom, sekitar 275 juta bintang baru, lahir setiap harinya. Jadi, nggak mungkin banget kalau nggak ada bintang di langit. Lukisan lo indah, tapi terlalu kelam."

Mengatupkan rahangnya keras-keras, Angkasa berusaha sebisa mungkin untuk tidak keluar kamar, berjalan menuju atap gedung sekolah, dan menambahkan bintang-bintang di lukisan langit malamnya.

Jangan mengubah apapun dalam hidup gue, Bintang. Dont light my sky up. Gue udah terbiasa kayak gini, and its okay.

***

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun Bintang masih belum bisa memejamkan matanya. Melan sudah tidur sejak tadi. Dia yakin temannya itu sudah larut dalam buaian mimpi.

Bintang menghela napas. Tangannya menggenggam juklak pemberian Pram. Kenapa sesuatu dari masa lalu datang tiba-tiba di saat dia tengah mencoba berharap tentang masa depan?

Hatinya tidak akan menyangkal bahwa dia merindukan Pram. Tapi setelah apa yang terjadi, semuanya tidak akan pernah sama lagi. Terlepas dari salah atau tidaknya laki-laki itu.

Tangannya meraih ponsel yang diletakkan di atas meja di samping tempat tidurnya. Bintang membaca kembali chat Line dari Pram yang masuk beberapa jam yang lalu, yang dengan sengaja tidak diberi balasan.

Pramius Aldebaran: Saya udh sampai di Surabaya tadi.

Dengan ragu, Bintang mengetikkan sesuatu.

Bintang Ranjana: Pram?

Bintang pikir laki-laki itu pasti sudah tidur. Namun selang beberapa menit, Pram membalas.

Pramius Aldebaran: Kenapa belum tidur?

Bintang Ranjana: Blm ngantuk.

Pramius Aldebaran: Saya vcall, ya.

Tanpa menunggu persetujuan Bintang, sebuah video call masuk ke ponselnya.

Bintang mendengus ketika wajah Pram tampak di layar ponselnya. "Saya kan belum jawab, kamu gercep banget."

Pram menyeringai. "Kalau menyangkut kamu emang harus gerak cepat, Ta."

Bintang tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mencebikkan bibirnya.

Ekspresi Pram berubah serius. Alisnya mengerut. "Ada sesuatu yang lagi kamu pikirin, ya?"

"Ah, saya lupa kalau kamu terlalu mengenal saya," ujar Bintang. Menghela napas, gadis itu melanjutkan ucapannya, "Tentang lomba piano itu, Pram, saya nggak bisa ikut. Tapi mungkin murid lain ada yang tertarik buat ikut, nanti saya bakal share informasinya."

Pram tidak repot-repot menutupi raut kecewa yang dia tampilkan efek dari ucapan Bintang. "Saya minta kamu buat ikut bukan supaya kamu menghargai apa yang saya lakukan atau menyanjung apa yang saya usahakan, kamu tau itu 'kan? Saya cuman nggak suka kamu berhenti main piano, Ta."

"Dan maaf, bukannya saya bermaksud untuk nggak menghargai apa yang udah kamu lakuin. Tapi, jangan ngelakuin hal-hal yang nggak saya minta, Pram, atau semuanya bakal sia-sia. Kamu udah nggak berada di posisi yang pantas untuk itu," ucap Bintang, mencoba agar nada suaranya terdengar senormal mungkin.

Pram terdiam. Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Bintang lewat layar ponselnya.

Bintang menghela napas. "Kamu nggak tau rasanya. Setiap kali saya main piano, saya selalu inget orang itu."

"Kalau keadaannya berbeda, apa masih ada kesempatan untuk kita?" tanya Pram. Caranya menatap Bintang kelewat tajam, nyaris seperti predator yang tengah mengintai mangsanya.

Bintang menggeleng. "Dan kenyataannya nggak berbeda. Jadi jangan mengandai-andai."

"Apa kamu masih cinta sama saya?"

Hatinya mencelos. Bintang merasa seperti dirinya didorong dari atap gedung sekolah ke lantai dasar. Dia menelan ludah susah payah. "Apa nggak ada pertanyaan lain yang lebih ringan untuk ukuran obrolan tengah malam semacam ini?"

Ada jeda sejenak, sebelum Pram berkata, "Nggak ada. Saya ngantuk. Selamat malam, Ta."

Lalu wajah Pram menghilang. Panggilan video terputus.

Bintang memejamkan mata. Berusaha sebisa mungkin meredam sesak di dada. "Seharusnya kita nggak perlu kayak gini, Pram. Tapi, kerja Tuhan siapa yang tau?"

MengangkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang