Chapter 01 -Luna

74 7 5
                                    

Pernah dengar ungkapan "Thanks God, it's Friday" ?

Itu tidak berlaku dalam kehidupanku. Karena yang terukir di dalam otakku adalah, "Sial. Ini hari Jumat." Hari Jumat adalah hari yang paling kuhindari dalam hidupku. Entah kenapa, selalu ada lembaran cerita kesialan baru di hari Jumat.

Jadi tidak aneh, kan, kalau aku tidak mau masuk sekolah hari ini?

Bukan hanya itu. Masalahnya, sekolah yang kumasuki ini adalah sekolah baruku. Sebagai murid baru, aku harus memberikan kesan pertama yang baik kepada teman-teman dan senior agar tidak di-bully di kemudian hari.

Tapi sialnya, adikku yang merupakan penyuka segala sesuatu yang berbau horror, menganggap hari Jumat adalah hari terbaik sepanjang minggu. Ia selalu menanti-nanti hari dimana ia akan bertemu dengan para setan, makan-makan dengan iblis, atau main catur dengan raja Neraka.

Tentu saja, ia tidak mengetahui rahasiaku yang merupakan provokator hari Jumat harus dihapuskan di dunia maya. Demi menjaga wajahku tetap bersih dari segala ejekan yang akan dia lontarkan di kemudian hari, aku berlaku santai mengikuti keinginannya yang ingin masuk sekolah hari ini juga; hari Jumat.

Dan disinilah aku berada, mengekori seorang wanita setengah baya dengan make-up tebal memasuki ruangan full-AC yang kusakan terlalu dingin. Sejauh ini, belum ada hal sial yang menimpaku. Aku meraba rok bagian belakang untuk kesekian kalinya. Resletingnya sudah ditarik. Aman.

Kesan pertamaku saat memasuki kelas ini adalah biasa saja. Kelas ricuh, cewek-cewek dan cowok-cowok membentuk geng masing-masing, dan sepertinya mereka sedang kerja kelompok.

"Anak-anak! Mohon perhatiannya sebentar." perintah seorang guru wanita yang tiba-tiba berdiri bergitu melihat kami; aku dan wakil kepala sekolah, memasuki kelas ini. Kelas yang tadinya ricuh berganti dengan suara bisik-bisik para cewek-cewek.

Aura wakil kepsek yang menguar seketika membungkam seisi ruangan. "Tolong kerja samanya. Mulai hari ini kalian kedatangan teman baru. Saya harap kalian bisa membantu siswi ini beradaptasi dengan lingkungan sekolah ini." ucap ibu wakasek penuh wibawa.

Setelah itu, seolah ada urusan yang lebih penting dan mendesak, ia segera pamit kepada guru yang sedang mengajar dan berlalu begitu saja. Meninggalkan aku berdiri kikuk di depan kelas. Oh, God. Jangan-jangan ini adalah awal kesialan hari Jumat-ku.

"Tolong, perkenalkan nama kamu." pinta guru wanita itu padaku. Aku menoleh ke depan dan tersenyum canggung. "Ha-hai. Nama aku Vareluna." Aku terdiam sejenak. Memikirkan apa yang harus diucapkan lagi.

Seketika, dari arah belakang, terdengar teriakan histeris seorang cewek. "Buk! Buk! Sandi berdarah! Hidungnya keluar darah, bu!" Oke, ini aku yang pembawa sial atau oknum bernama Sandi yang kebetulan lagi sial? "Sandi!" teriak guru wanita itu yang langsung panik. "Sandi! Kamu kenapa?"

Seseorang tiba-tiba berdiri dan melambaikan tangan. "Sa-saya ngak ba-ba bu! Suer bu! Cuba kaged aja!" ujar si cowok yang kuduga disebut-sebut bernama Sandi tidak jelas. Dia menyambar tisu dari meja di sebelahnya dan langsung mengelap hidungnya yang berdarah.

Setelah darah tidak lagi mengalir, Sandi langsung membuang tisunya sembarang, mengabaikan pelototan tajam si guru wanita. Sambil cengengesan dia berkata, "Tenang, guys. Jangan panik gitu dong. Gue cuma kaget. Baru kali ini lihat malaikat cantik di depan mata. Ngomong-ngomong, tadi nama kamu Vareluna ya? Minta nomor teleponnya dong!"

Cengiran Sandi dibalas dengan hujaman dan lemparan tisu bekas dari arah cewek-cewek. Sementara cowok-cowok tampak mendukung dan ber-high five-ria dengan Sandi. "Sudah! Sudah! Murid-murid! Tolong tenang. Jangan gaduh! Sandi! Jangan buat keributan di sini." titah si guru cewek yang mulai kehabisan emosi.

Sedangkan aku? Jadi obat nyamuk yang sedari tadi dikacangin di depan kelas. Menyaksikan keriuhan kelas yang akan kutempati selama satu tahun ke depan di kelas sepuluh.

"Eh, bu! Lanjutin sesi kenalannya lagi dong bu!" celutuk salah seorang cowok yang tadi sempat ber-high five dengan Sandi. Seketika, kelas kembali hening dan menatapku aneh. "Ah-haha. Emang, kalian mau nanya apa lagi?" tanyaku sok akrab.

Tapi sayang, pertanyaan sok akrabku itu malah membuat kelas kembali riuh. Cowok-cowok mulai heboh dan berteriak-teriak sendiri.

"Nomor hp-nya dong!"

"Eh, akun Instagram-nya apa?"

"Pindahan dari mana, Lun?"

"Udah punya pacar?"

"Nge-date yuk!"

"Ukuran pinggang kamu berapa?"

Entah angin dari mana, pertanyaan terakhir itu mendadak membuat cowok-cowok terdiam. Sebelum akhirnya, mereka langsung mengerubungi cowok yang baru saja melontarkan pertanyaan terakhir itu. Ada yang heboh dan langsung main gebuk. Kelas seketika kembali ribut.

Guru wanita yang berada di sampingku langsung berjalan menuju pojokan kelas. Dibantu dengan cewek-cewek yang sudah histeris, guru itu bersusah payah memisahkan gerombolan cowok yang sudah main hajar.

Sebenarnya hanya sedikit cewek-cewek yang histeris. Cewek-cewek yang lainnya malah menertawakan ulah cowok-cowok yang memang mesum keparat.

Aku melirik diam-diam ke arah cewek yang sedari tadi menatapku secara terang-terangan dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Menyadari lirikanku, cewek itu buru-buru kembali menyembunyikan wajahnya di balik buku tebal yang sedari tadi dibacanya.

Aku menyipitkan mataku untuk melihat buku apa yang sedang dibacanya. Buku itu sejenis novel, dengan cover berwarna biru muda. Tulisan besar-besar berwarna tercetak di sampulnya, berbunyi, "Heart Beats Fast".

Menarik. Aku jadi ingin ikut membaca novel itu. Tapi satu hal yang penting, entah aku harus merasa lega atau khawatir, sejauh ini kesialan yang amat sangat kutakutkan belum muncul. Apakah ini artinya hidupku sebagai siswi SMA baru tidak akan memalukan selama satu tahun ke depan?

Sepertinya tidak.

Pintu kelas tiba-tiba dibuka dari luar tanpa diketuk. Oh, ini dia! Kesialanku sudah muncul! Tubuhku, yang memang berdiri di dekat pintu, langsung terhempas ke arah lantai. Kekuatan manusia yang mendorong pintu itu memang jahanam. Sekuat tenaga aku menahan tubuhku agar tidak jatuh menabrak lantai.

Memikkan usaha yang kulakukan hanya akan berakhir lebih memalukan dengan posisi tubuhku yang bakalan terlihat seperti sedang push-up, buru-buru kutarik kembali semua tenagaku. Membiarkan tubuhku jatuh dengan tanganku yang berusaha keras menjaga rokku agar tetap menutupi pahaku.

Tidak lucu, kan, kalau sampai celana dalamku nampak?

Tubuhku berada di posisi telungkup di atas lantai. Wajahku menghadap keramik dan tidak berani kuangkat. Tuhan! Aku belum siap ditertawakan satu kelas! Aku menutup mataku dan menahan nafasku. Menunggu ledakan tawa penuh ejekan memenuhi atmosfer kelas.

Tapi tiba-tiba, di luar ekspektasiku, kelas berubah hening.

Hah? Kenapa mereka tidak tertawa?

Mendadak, sebuah tangan terulur di samping wajahku. Aku mendongak dan melihat wajah si manusia jahanam yang telah mendorong pintu dengan kekuatan laknat. Mataku betabrakan dengan mata coklat bercorak yang seperti karamel.

"Mau gue bantu?"

Appleswag,
10 April 2017

Heart Beats FastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang