3. Tanpa Kabar

3.8K 195 8
                                    

Flu yang Delan rasakan sudah mulai reda. Ia merasa tidak perlu lagi menggunakan masker. Setelah ke kelas meletakkan tas, ia menuju tempat loker siswa kelas XII IPS 2 terlebih dahulu untuk mengambil buku cetak matematika yang segede kamus Oxford. Kalau tidak ada tugas, ia paling ogah membawanya pulang dan membiarkan benda itu menginap di sekolah selama berhari-hari.

Semalam Delan sms Yunda, tapi tidak ada balasan. Nomornya aktif, WA-nya juga online, tapi Yunda memang sengaja tidak membalas pesannya. Apa pula Yunda ini. Sok misterius, pikirnya. Biasanya setiap malam Delan akan bertanya soal tugas apapun pada Yunda. Hanya di nomor-nomor yang sulit saja ia tanyakan. Dengan begitu mereka akan berdiskusi dan Yunda juga pasti bertanya akan soal yang sulit dia pahami. Istilahnya mereka sedang melakukan kegiatan simbiosis mutualisme.

Delan mengedarkan pandangan ke sepenjuru koridor dan ia sempat berpapasan dengan gadis penjual bunga kemarin. Delan tersenyum untuknya, anehnya gadis itu menatap Delan dengan suatu keterkejutan seperti maling ketangkap basah warga. Tanpa balasan senyum, gadis itu berjalan cepat-cepat menghindari Delan. Lama-lama gadis itu berlari seperti orang ketakutan. Delan mengernyit, apa yang salah dari dirinya? Kemarin-kemarin mencari, setelah bertemu malah seperti orang ketakutan. Delan memutar bola matanya, berupaya tidak memikirkan terlalu berat. Mungkin gadis itu malu, pikirnya.

Delan membuka lokernya. Sedetik ia langsung membeku di tempat. Matanya membulat dan bibirnya sedikit terbuka. Satu pertanyaan muncul di kepalanya. Siapa yang meletakkan benda itu di lokernya?

Ada bunga matahari dan secarik kertas di dalam lokernya. Mungkinkah penjual bunga tadi? Atau... Yunda? Ah, Delan menggeleng kepalanya kuat-kuat. Tidak mungkin Yunda. Yang suka bunga matahari itu Yunda, bukan dirinya. Setahunya, Yunda belum sampai sekolah pagi ini. Kalau kemarin sepulang sekolah, jelas tidak mungkin. Yunda sudah pulang duluan bersama Dimas dan mereka bersenang-senang sore itu bersama. Kurang kerjaan sekali Yunda memberinya seperti ini. Terlalu berharap, jelas tidak mungkin.

Yang mungkin jelas adalah penjual bunga tadi. Dia terlihat ketakutan dari arah berlawanan saat mereka bertemu. Delan curiga. Diambilnya bunga matahari itu dan dibacanya isi dari tulisan yang terdapat dalam secarik kertas itu. Isi tulisan itu sebagai berikut.

Selamat pagi, Delan...

Aku harap pagimu akan secerah bunga matahari yang kubawa. Tersenyumlah terus, Delan. Percayalah bahwa senyummu membawa arti bagi orang-orang di sekelilingmu. Aku tidak ingin melihat kamu bersedih.

Salam,
Pengagum Rahasia.

Seolah keajaiban, Delan langsung terbius oleh rangkaian kalimat sederhana itu. Delan tersenyum sendiri. Hatinya jatuh pada si penulis. Tanpa disadari, secara tersirat, orang yang mengirimkan pesan itu kepadanya diam-diam telah menaruh perhatian kepadanya.

Delan merasa harus benar-benar mengetahui secara persis siapa pengirimnya. Ia menoleh ke segala arah, tapi tidak ada seorang pun yang sedang mengintainya. Dugaannya jatuh pada gadis penjual bunga tadi. Sementara ini, ia biarkan kedua benda itu berada disana. Baru setelah bel pulang nanti akan ia bawa ke rumah. Delan kembali ke kelas sambil membawa buku cetak matematikanya.

...

Sampai mata pelajaran pertama berlangsung dalam pertengahan waktu, sosok Yunda tidak kunjung muncul dari balik pintu kelas. Bangku Yunda kosong, rasanya sepi buat Delan, meskipun Delan sedang jatuh hati dengan orang lain. Delan juga sedikit marah dengan Yunda, karena gadis itu tidak mengabarinya apapun tentang alasan apa yang membuatnya tidak masuk hari ini.

Delan pikir gadis itu terlambat datang ke kelas, tapi ini sudah sampai setengah waktu. Yunda tetap tidak muncul. Sejak semalam gadis itu tidak bisa dihubungi. Menyebalkan sekali buat Delan. Tidak ada hari dimana sikap Yunda tidak menyebalkan kepada Delan.

Suara ketukan pintu praktis membuat Delan menoleh dengan sigap. Sudah semangat-semangatnya menoleh, tapi yang terlihat olehnya malah satpam. Ya, satpam. Pria paruh baya itu memberikan sebuah surat kepada Pak Darsono, guru matematikanya. Mungkinkah itu surat izin Yunda? Dibacanya surat itu oleh Pak Darsono yang menyatakan bahwa Yunda sakit. Yunda sakit? Batin Delan merasa tidak enak.

Seumur-umur, jarang sekali Yunda izin sakit. Sakit apa dia? Demam? Delan merasa harus menjenguk, tapi ia tidak tahu rumah Yunda. Sahabat macam apa Delan ini. Ia baru merasa dan sadar kalau dirinya bukanlah sahabat yang serba tahu segalanya tentang sahabatnya sendiri.

Dimas. Nama itu tiba-tiba terngiang di pikirannya. Dia kan kekasih Yunda. Lelaki itu pasti tahu dimana rumah Yunda. Iya. Delan harus bertanya. Memang belum sampai 3 hari sih... tapi Delan ingin untuk segera tahu dan minta kejelasan Yunda. Kenapa sms-nya di WA tidak dibalas. Padahal dibaca.

...

"Dimas," panggil Delan yang sudah bersandar punggung di tembok luar kelas XII IPA 1, ruang kelas Dimas.

Lelaki itu praktis menoleh bersamaan dengan perempuan di sebelah Dimas. Gadis itu nampak menghentikan obrolannya dengan Dimas saat Delan memanggil nama Dimas.

"Gitu deh Dim. Eh, kayaknya gue mesti duluan nih. Lo mau ngobrol sama dia kan?" ucap gadis itu pada Dimas.

Mereka terlihat akrab di mata Delan.

"Oke, iya. Hati-hati Tiara!" Dimas melambaikan tangannya disertai senyum hangat, juga dengan gadis itu kepada Dimas.

"Hei De. Kenapa?" Dimas menghampiri Delan dan menyalaminya dengan ramah setelah perempuan yang tadi sedang mengobrol dengannya izin pergi lebih dulu.

"Lo nggak jenguk Yunda?"

"Jenguk... nanti malam. Kalau siang ini sampai sore gue nggak bisa. Ada les. Kenapa"

"Loh, lo kok tahu dia sakit?"

"Kan Yunda bilang ke gue. Emang dia nggak bilang ke lo?"

Delan hanya menggeleng, "Gue boleh minta tolong sebentar nggak?"

"Kenapa?"

"Anterin gue ke rumah Yunda. Gue mau jenguk. Lo nggak cemburu kan kalau gue jenguk Yunda?"

Dimas tertawa, "Enggaklah santai... lo sahabatnya, kenapa bisa nggak tahu rumahnya?"

"Gue nggak pernah main kesana soalnya. Yuk, anterin bentar?"

"Duh, sorry De. Bukannya gue nggak mau. Tapi, gue harus les sekarang. Mending lo gue kasih tahu alamatnya saja. Nggak apa ya?"

"Oke... no problem, Dim."

Setelah mendapatkan alamat itu dan dijelaskan arah-arahnya oleh Dimas, segera Delan bergegas menuju kesana. Alamat rumah Yunda tidak terlalu sulit untuk dicari, karena tidak memasuki gang-gang sempit atau apapun itu. Rumah Yunda berada di dalam perumahan. Tanya-tanya tetangga masih bisa. Tentu saja Delan ke rumah Yunda tidak dengan tangan kosong.

***

Salam, Pengagum Rahasia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang