16. Seperti Dinda

1.7K 99 0
                                    

Muka Amel tertekuk-tekuk. Delan tahu bahwa sepanjang perjalanan gadis itu tidak senang. Delan terkekeh menatap muka kusut itu. Merasa diejek, Amel tidak terima.

"Ketawa lagi, ngeselin!" ucap Amel sambil melotot dan menggembungkan pipinya.

Delan tidak menjawab. Jawabannya diganti dengan menyentil jidat Amel dan masih terkekeh gemas. Dibawanya Amel menuju gazebo yang Delan maksud. Amel menselonjorkan kedua kakinya, pegal.

"Motor lo nggak enak banget sih! Tahu begini tadi Yunda gue ajak saja."

Delan berdecak, "Bawel amat sih. Lo saja yang roknya kependekan!"

"Sembarangan! Ya wajar kalau kekecilan, kan sudah kelas dua belas, mau beli baru lagi buang-buang duit saja."

"Pakai sarung lah!"

Amel menjiwit lengan Delan berdasarkan tingkat kekesalannya pada Delan. Yang dijiwit malah tertawa sambil merintih kesakitan. Amel mengerucutkan bibir, lalu membuang muka.

"Halah ngambekan. Lagi PMS?"

"Nggak!" jawab Amel, masih dengan tidak menatap Delan.

Delan masih puas cengengesan tanpa merasa bersalah sama sekali. Lelaki satu ini benar-benar menyebalkan buat Amel. Ia kesal harus disatu-padukan dengan Delan oleh Yunda. Seringkali Amel merasa kalau Yunda cemburu dengan kedekatan Delan pada perempuan selain Yunda. Contohnya saja Risa. Amel khawatir kalau lama-lama Yunda juga cemburu dengan dirinya.

Amel merasa kalau Yunda tidak senang dengan Risa, makanya secara tiba-tiba Yunda melibatkan dirinya untuk berduet dengan Delan. Karena Yunda tahu, dia tidak bisa berganti posisi. Mungkin, barangkali Yunda inginnya dia yang berada di posisi Amel saat ini. Amel sering merasa begitu. Sering merasa bahwa sebenarnya Yunda menyukai Delan. Makanya, Amel tidak suka dengan cara Delan bicara tadi. Mereka sama-sama suka menurut Amel. Tapi, cara mereka bertentangan, akibatnya mereka sulit bersama. Apalagi ditambah dengan kehadiran Dimas di tengah-tengah mereka.

Amel tidak masalah kalau dirinya menjadi penengah Yunda dan Delan. Tapi, Amel takut kalau dia terjebak di antaranya. Ini sungguh tidak lucu. Apalagi sikap Delan dengannya begini hangat. Sikap Yunda begitu ketus. Bisa-bisa ia kehilangan Yunda sebagai sahabat hanya karena sebuah perasaan. Semesta sudah memasukkan Amel dalam permainan kisah Yunda dan Delan. Crush!

"Ayo ah, latihan! Malah melamun lagi," ucap Delan sambil mencolek lengan Amel, kemudian meraih gitarnya dan memetik-metik benda itu.

"Lagu apa? Gue tuh bingung. Belum siap apa-apa."

"Lo sukanya apa?"

"Eng... kalau akhir-akhir ini sih lagi suka Flanella. Bila Engkau."

Delan diam sebentar, mengingat-ingat lagu apa itu. Sebentar saja ia mengingat, Delan langsung mengerti.

"Boleh," jawab Delan sambil mengangguk-angguk dan tidak menatap muka Amel.

"Lo bisa gitarnya?"

Delan hanya mengangguk, pasti.

"Dewa. Sekali request lagu, langsung bisa tahu kuncinya. Sejak kapan lo bisa gitar?"

Delan baru menoleh, menatap Amel, "Sejak ingat Dinda sahabatku bilang kalau dia ingin bisa nyanyi dan aku yang main gitarnya."

Delan tersenyum sekilas, kemudian fokus kembali memetik gitarnya sambil menggumamkan nada lagu yang Amel sebutkan.

"Oh..."

Amel menghembuskan napasnya perlahan sambil mengamati kesungguhan Delan. Suasana perbincangan mereka hening seketika.

"Segitu berartinya ya Dinda itu buat lo?"

Delan menghentikan petikan gitarnya, kemudian matanya menatap lurus-lurus pada Amel.

"Mungkin sama seperti berartinya perasaan lo sama sahabat lo yang nggak bisa lo lupa itu."

Amel terdiam mendengar jawaban itu dari bibir Delan. Gadis itu sama sekali tidak berkutik. Delan sendiri masih menatap kesana, seolah ia berbicara pada masa lalunya.

"Mel,"

"Ya?"

Delan meletakkan gitarnya di samping kiri duduknya, kemudian ia memposisikan duduknya senyaman mungkin di sebelah Amel. Lengan mereka nyaris bersenggolan. Amel tidak bisa bergeser lagi, sebab sebelahnya tiang penyangga gazebo.

"Lo sering mikir nggak sih, betapa semesta ini terkadang begitu lucu. Mempertemukan orang-orang bernasib sama untuk saling mengenal?"

Amel mengulum senyum tanpa perlu menatap wajah Delan, lelaki itu mengamati Amel yang tersenyum

"Kita contohnya," Delan melanjutkan.

"Terus?" Amel mengernyitkan kening, bingung, tidak mengerti arah perbincangan Delan.

"Setiap kali gue ngomong sama lo, gue tuh ngerasa kayak ngomong sama masa lalu gue, Mel."

Mereka saling bertukar tatap.

"Gue kayak ngomong sama Dinda," terang Delan. "Gampang akrab. Padahal baru beberapa hari lalu kita ngobrol kan. Tapi udah kayak begini saja. Kita bercanda seolah candaan kita nggak akan saling menyakiti. Kalau sama Yunda beda. Kita butuh waktu untuk menjadi seakrab itu. Tapi, sama lo. Gue kayak sudah mengenal lama."

Amel terkekeh lirih sambil mengusap tengkuknya, "Perasaan lo saja, De. Cuma sebab masa lalu kita kehilangan sahabat saja, lo jadi ngerasa gue kayak Dinda. Lo berlebihan! Terkadang memang ada orang yang langsung akrab tanpa perlu waktu lama-lama untuk saling mengenal. Mungkin pikiran kita emang sejalan, makanya kita gampang buat nyambung."

"Iya, emang perasaan gue. Perasaan gue emang lo mirip Dinda."

Amel masih terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak Delan, "Berapa juta manusia di dunia ini sih De, yang pasti beberapa di antaranya terasa sama. Lo terlalu larut dalam masa lalu lo, De. Tapi kalau menurut lo, gue mirip Dinda... ya oke. Lo bisa anggap gue sebagai Dinda, sahabat lo. Tapi, gue bukan Dinda. Gue Amel." Selanjutnya, Amel mengulum senyum.

"Oke... sekarang kita latihan saja."

"Siap!"

Delan dan Amel saling bertukar senyum dan duduk berhadap-hadapan. Mereka bersenandung bersama, mencipta ruang sendiri untuk berbagi bahagia dan lara atas nasib yang mengkotak-kotakkan perasaan keduanya secara nyaris sama. Di saat yang sama, Delan memang merasa ada yang lain dari Amel. Tapi, gadis itu sulit ia baca. Perasaan terkadang tidak bisa mewakili segala apa yang tidak terbuktikan. Jadi, Delan masih tetap merasa dan menduga-duga saja.

Ada dua hal yang ingin Delan cari. Pertama, siapa pengagum rahasia itu? Kedua, masa lalu Amel. Rasa-rasanya Delan sudah mulai curiga akan sosok Amel. Tapi, Delan tidak ingin semua cepat berlalu. Ia akan cari tahu pelan-pelan dengan tidak mengejutkan Amel bahwa ia sudah mulai curiga.

***

Salam, Pengagum Rahasia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang