4. Bola-Bola Cokelat

3.1K 188 6
                                    

Yunda menghentikan jemarinya di antara senar-senar gitarnya saat menatap kedua mata tak asing muncul dari balik pintu kamarnya, Delan. Bibirnya terbuka tidak percaya, bahkan ia merasa belum sempat membuat kata-kata untuk beralasan mengenai malam kemarin. Gitarnya diletakkan di sebelahnya.

Delan melangkah mendekati Yunda, lalu meletakkan buah tangan berupa bola-bola cokelat 4 kotak di hadapan Yunda dengan muka datar, tepatnya di ranjang. Delan tahu, Yunda suka bola-bola cokelat, makanya Delan rela beli sampai 4 kotak. Mata Yunda berkedip cepat dalam beberapa kali.

"Tahu rumahku darimana?" itu kalimat pertama Yunda yang keluar setelah Delan duduk di tepi ranjang dan belum mau menatap muka pucat Yunda.

"Nggak penting. Yang penting aku nggak kesasar. Mending kamu bilang maaf karena cuekin aku dan makasih gitu udah dijenguk."

Yunda tidak memenuhi permintaan Delan, telunjuknya malah menunjuk plastik putih di hadapannya dengan kernyitan.

"Ini apa?" tanya Yunda.

Delan baru menoleh, menatap Yunda dan sempat memutar bola mata, kesal.

""Bola-bola cokelat kesukaan kamu. Biar cepet sembuh."

"Wuiii... baik banget," seru Yunda, keasikan.

"Sepi tahu, nggak ada kamu di sekolah. Mana semalam pesanku dibaca doang lagi. Sok misterius."

"Biar kamu nggak bawel!" sanggah Yunda sarkartis sambil menaruh plastik berisi bola-bola cokelat itu di nakas dan memposisikan diri duduk di samping kanan Delan persis dengan posisi duduk yang sama.

Yunda mengambil sekotak dan dimakannya dengan semangat. Delan menyentuh pipi Yunda yang kemudian diusir oleh tangan Yunda. Delan sempat merasakan suhu panas dari pipi gadis itu.

"Makasih ya bola-bola cokelatnya," ucap Yunda sekilas dengan senyumnya dan matanya beralih fokus sepenuhnya pada bola-bola cokelat.

"Sama-sama. Apapun, buat kamu Nda," ucap Delan lirih, tapi Yunda dengar itu. Sayangnya, Yunda tidak berniat membalas. Delan sudah biasa diacuhkan seperti ini. Sudah strong.

"Besok masuk ya?" pinta Delan dengan senyum hangatnya.

"Nggak tahu juga udah sembuh belum," jawab Yunda dengan sedikit mecucu karena mengunyah cokelat.

"Harus sembuh dong... aku nanti sedih nggak ada kamu. Nggak seru."

Yunda tergelak, "Lebay! Lagian kalau ada aku juga kita berantem terus."

"Justru itu yang buat sepi. Nggak ada suara ngeselin dari kamu."

"Oh... jadi inginnya kita berantem terus? Fiks, kita nggak usah sahabatan saja."

Delan berdecak, "Jangan ngomong gitu, ah. Kita sahabat pokoknya."

"Kenapa kalau nggak sahabat? Kan bisa cuma teman."

Delan hanya menggeleng. Dia membuka tasnya, kemudian mengeluarkan bunga matahari dan menunjukkan pada Yunda. Gadis itu menatap bingung, tapi mulutnya masih mengunyah.

"Tadi pagi ada yang taruh bunga ini di lokerku."

Delan mengamati tatapan Yunda yang masih bingung. Dia jelaskan saja pertemuannya dengan gadis penjual bunga itu sampai ke titik dia curiga kalau gadis itulah yang memberikan bunga itu kepadanya.

"Dan kamu suka sama dia?" tanya Yunda, sumringah.

Delan melirik kaku, menyembunyikan kenyataan.

"Akhirnya Delan normal. Seumur-umur baru sekarang aku tahu kamu mulai jatuh hati sama cewek," jelas Yunda sambil cekikikan.

"Astaga, teganya..."

Yunda tergelak.

"Aku pernah ya suka sama orang sebelum dia beberapa kali. Cuma yang terakhir ini nggak dianggap saja. Orangnya ngeselin sih."

"Siapa?"

Delan menatap Yunda dengan tatapan yang dalam. Ternyata Yunda tidak merasa. Ya, iyalah, batin Delan. Mana mungkin merasa kalau hati Yunda sudah diisi oleh lelaki lain. Bodoh Delan, batinnya semakin gusar.

"Ada lah pokoknya. Udahlah, lupain saja. Udah lewat."

Yunda mengerucutkan bibir ke samping dan kembali menyibukkan diri dengan makan cokelat.

"Nih, bunganya buat kamu saja lah. Suka bunga matahari kan," tangannya terulur, memberi.

"Jangan... kamu nggak boleh gitu. Dia kan bela-belain kasih buat kamu. Kamu harus hargai itu dong. Coba kalau kamu ada di posisi dia dan bunga yang kamu kasih diserahkan ke orang lain. Kamu harus belajar menghargai perasaan orang lain sebelum kamu ingin perasaan kamu dihargai oleh orang yang kamu suka."

Delan terdiam lama. Kalau aku menghargai pemberian pengagum rahasia ini, apakah kamu jadi menghargai perasaan aku, Nda. Sementara kamu sudah jadi milik orang lain? Batin Delan, tercabik. Dimasukkannya lagi bunga matahari itu ke dalam tasnya. Yunda tersenyum.

"Ada tugas?" tanya Yunda, mengganti tema perbincangan.

"Ada."

"Apa?"

"Tugasnya kamu harus makan yang bergizi, istirahat yang cukup, nggak boleh begadang, dan besok harus datang ke sekolah. Kamu harus sehat."

Delan mengusap pipi Yunda sekilas dan terlihat senyum samar di air muka Yunda. Delan izin pamit agar Yunda bisa istirahat sekarang. Yunda menatap kepergian Delan dari belakang tanpa dialihkan olehnya. Lelaki itu melambai di balik pintu kamar, lalu hilang dibalik pintu yang ditutup. Tatapan Yunda masih belum dialihkan sampai ponselnya bergetar dan menarik Yunda untuk mengecek ponsel. Dimas.

***

Salam, Pengagum Rahasia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang