Status sebagai cucu pemilik sekolah tidak membuat April bisa berbuat sesukanya, terlebih jika itu berhubungan dengan peraturan. Kakeknya bahkan menyuruh satu guru yang secara khusus untuk membuat laporan dirinya berada di sekolah. Hidupnya tidak pernah benar-benar bebas, entah itu di rumah atau di sekolah. Selalu ada mata yang mengawasinya dengan dalih melindungi.
Sekali melanggar peraturan, April akan mendapatkan hukuman dua kali lipat dari yang didapat para siswa lain. Para guru yang harus menghukumnya pun merasa sungkan. Maka, jika terpaksa melanggar peraturan seperti sekarang ini misalnya, April sebisa mungkin berusaha agar pelanggarannya tidak diketahui siapa pun.
Kakinya melangkah tenang ke arah gerbang belakang. Ini bukan pertama kalinya April telat, dan dia lebih baik memanfaatkan kemampuannya untuk memanjat gerbang belakang daripada menunggu guru yang akan menghukumnya. Sekali namanya tercatat dalam daftar siswa yang melanggar, urusannya akan lebih panjang dari jawaban matematika.
Tidak butuh waktu lama bagi April tiba di gerbang belakang sekolah. Berdasarkan pengalaman, April tahu bagaimana kondisi di balik gerbang. Tidak ada guru yang akan berkeliaran di sekitar gudang pagi-pagi begini, terlebih ketika bel belum lama dibunyikan. Maka, dengan cekatan April mulai menaiki pagar setinggi tiga meter di depannya. Paduan rok, pagar, dan ketinggian sama sekali bukan masalah bagi gadis terlatih itu.
"Hei! Ngapain kamu di situ?!
Suara itu membuat April yang sedang bersiap turun kehilangan keseimbangan. Tubuhnya oleng sehingga pendaratannya ke tanah tidak mulus. Mengabaikan rasa sakit yang mendera, ia segera bangkit dan kabur tentu saja. Sia-sia usahanya menaiki pagar hingga nyusruk ke tanah kalau harus dihukum juga.
Suara orang yang memergoki April masih terdengar di belakang sana. Dia meminta April untuk berhenti sembari mempercepat langkah. Namun, tentu saja April tidak menurut. Memanfaatkan belokan koridor-yang seperti perempatan- tubuhnya melesat cepat ke arah toilet. Tidak lama kemudian telinganya mendengar derap langkah yang menjauh. Selama beberapa saat ia tetap diam di tempat persembunyiannya sambil berusaha mengatur napas.
"Ngapain kamu di sini?"
Secepat kilat April memutar tubuh. Ia mendesak orang yang baru saja bicara itu ke dinding dan membekap mulutnya. "Ssstt, jangan berisik," bisiknya penuh peringatan.
April menajamkan pendengarannya dan untungnya tidak terdengar langkah yang mendekat ke arahnya. Merasa situasi sudah lebih aman, kepalanya melongok keluar guna mengamati situasi lebih jauh. Desahan napasnya terdengar lega ketika suasana koridor tampak kosong. Sayangnya kelegaan itu hanya berlangsung sebentar. Begitu kembali ke posisi semula, April di sambut tatapan tajam dari orang yang mendadak disanderanya beberapa saat lalu.
Tergagap, April menarik tangannya dan mundur beberapa langkah secara bersamaan. Matanya membola hanya beberapa detik setelah itu. "Pa-Pak Rian nga-ngapain di sini?"
Bukannya menjawab, Rian justru makin menajamkan pandangan. Kakinya melangkah mendekati April yang kini mendudukkan kepala. Ia menunduk untuk menyamakan tingginya dengan April lalu berucap rendah. "Seharusnya saya yang tanya, apa yang kamu lakukan di toilet laki-laki?"
Kepala April terangkat cepat, tampak kaget sekaligus tak percaya dengan ucapan Rian. Meski begitu, bola matanya bergerak kesana-kemari untuk meneliti toilet yang menjadi persembunyiannya saat ini. Ringisan pelan keluar dari bibirnya saat menyadari tempat yang dimasukinya.
"Sa-saya salah masuk toilet. Ma-maaf Pak, saya keluar sekarang, deh." Usai berucap terbata, April langsung membalikan badan, berniat pergi tetapi kalah cepat dengan Rian yang tiba-tiba menarik tasnya.
"Pak!" April meronta, berusaha melepaskan diri. Dia merasa akan mendapatkan masalah jika tetap berada di sana.
Sayangnya Rian tidak melepaskan April begitu saja. Dengan sekali gerakan dia membalik tubuh gadis itu hingga mereka kembali berhadapan. "Kenapa kamu bisa salah masuk toilet? Kamu enggak berniat ngintip, kan?" tanyanya beruntun.
Mata April melebar menunjukkan protes, dia bukan orang mesum yang kurang kerjaan. "Ya enggaklah, Pak!" sahutnya kemudian. Kakinya mundur dua langkah agar tangan Rian tidak bisa menjangkau tas atau bagian tubuhnya yang lain.
"Terus ngapain kamu di sini?"
"A-anu sa-saya ...."
"Kamu telat?" tebak Rian kemudian. Melihat April yang kian gelisah, sepertinya tebakannya benar. Gadis itu sangat tidak beruntung harus bertemu guru saat bersembunyi. "Kalau gitu sekarang kamu ikut saya," ucapnya kemudian.
Seketika April panik. "Mau kemana, Pak?"
"Ke ruang BK," jawabnya pendek sebelum menarik paksa April untuk mengikutinya.
"Pak ... jangan ke ruang BK, dong."
Ucapan itu ia Rian abaikan. Sejak kemarin dia sudah menobatkan April sebagai siswi yang bermasalah. Tingkahnya jauh dari kata normal untuk ukuran murid kelas tiga SMA.
Di posisinya April masih berusaha berontak dan juga merengek. Berharap Rian berbaik hati melepaskan dirinya untuk kali ini saja. Sayang, sang guru baru itu tidak berbelas kasih. Dia hanya bisa pasrah saat memasuki ruangan.
"Ini bukan ruang BK?" tanya April setelah menyadari ruangan yang beberapa saat lalu dia masuki.
"Duduk!" titah Rian tanpa memgindahkan kebingungan di wajah April.
Meski diliputi kebingungan, April duduk di sofa dengan perasaan lega. Setidaknya Riang tidak membawanya ke ruang BK. Dia sedang mencari sesuatu di laci. Biar April tebak, ini mungkin ruangan Rian. Sekolahnya memang memberikan ruangan untuk setiap pengajar.
April terperanjat saat Rian berlutut dan menarik kakinya dengan tiba-tiba. Refleks dia menarik kembali kakinya ke posisi semula. Tubuhnya bergeser, berusaha menjauhi Rian dengan tatapan was-was. Mulutnya sudah bersiap untuk berteriak atau semacamnya. Sikap guru muda ini benar-benar mencurigakan.
"Jangan mikir macam-macam," ucap Rian seolah tahu apa yang sedang April pikirkan. Ia bergeser ke tempat April duduk dan kembali menarik kakinya. Sebelum gadis itu sempat protes, tangannya langsung menurunkan kaus kaki putih selutut yang dikenakan April. Sebenarnya, warnanya tidak lagi putih, melainkan merah karena darah.
"Shhh ...."
April meringis saat lukanya dibersihkan oleh Rian. Sebelumnya dia bahkan tidak sadar kalau terluka. Tampaknya, dikejar guru sehabis memanjat pagar membuatnya lupa akan rasa sakit.
"Pelan-pelan, Pak. Perih, loh."
Diliriknya April sebelum mendengus. "Ini bukan karena kamu dikejar Pak Budi, kan?"
"Kayaknya iya, deh," jawab April saat nama guru yang memergokinya disebut. "Pak Budi lihat saya manjat pagar, teru saya jatuh."
Rian menempelkan plester setelah luka di lutut April bersih. Untungnya luka itu tidak terlalu dalam. "Kalau kamu punya tenaga buat manjat pagar, harusnya kamu pakai tenaga itu untuk datang ke sekolah lebih pagi."
Usai berkata begitu, Rian membereskan peralatan P3K dan berdiri. Tepat ketika akan berbalik untuk menaruh kotak itu, April menarik lengan kemejanya yang digulung sampai siku. Kedua alisnya terangkat, penasaran sekaligus waspada dengan apa yang akan dilakukan gadis ini.
"Tolong jangan bawa saya ke ruang BK," ucap April sungguh-sungguh. "Bapak bisa kasih saya hukuman apa aja, tapi tolong jangan bawa saya ke ruang BK."
"Alasannya?"
April melepaskan pegangannya. "Saya enggak bisa kasih tahu."
"Kalau gitu saya enggak punya pilihan lain."
Rian menaruh kotak P3K ke tempat semula. Saat kembali berdiri di depan April, dia melihat gadis itu sedang menunduk, memandangi kedua tangannya yang saling meremas. Helaan napas Rian terdengar. Pasti ada alasan kenapa April bersikap seperti itu. Biasanya Rian tidak akan peduli dengan hal-hal yang bukan urusannya. Namun, mungkin hari ini dia akan membuat pengecualian.
"Saya enggak akan bawa kamu ke ruang BK," putusnya kemudian.
April spontan mendongak. Kedua matanya tampak berbinar. "Beneran?"
"Saya yang akan kasih kamu hukuman. Dan hukumannya ... kamu jadi asisten saya mulai hari ini."
Binar di mata April perlahan surut. Dirinya mungkin bebas dari ruang BK, tapi menjadi asisten dari guru menyebalkan ini bukan pilihan bagus. Masalahnya, ini bukan pilihan, tetapi hukuman yang harus dia terima. Nasibnya hari ini sungguh malang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Teacher (End)
Teen FictionKehadiran Rian sebagai guru matematika baru di sekolah membuat hari-hari April ditahun terakhir SMA-nya menjadi tidak tenang. Diawal pertemuan saja, Rian sudah menghukum April. Hukuman yang kemudian berlanjut kehukuman lainnya. Hingga suatu peristiw...