1. Guru baru (Revisi)

9.6K 282 13
                                    


“Lo enggak masuk kelas?”

Gerakan April yang sedang memantul-mantulkan bola terhenti. Kepalanya miring ke kanan, menemukan Farhan–temannya sejak sekolah dasar yang baru saja memasuki lapangan basket in-door sekolah mereka. Ia menggeleng sebelum menyahut, “Males.”

Di hari kedua sekolah setelah libur panjang, kegiatan belajar-mengajar belum efektif untuk dilakukan. Terlebih di tahun ajaran baru. Para guru masih sibuk mengurus beragam administrasi para muridnya. Sementara yang diurus begitu memanfaatkan waktunya dengan baik. Dalam hal ini, biasanya para perempuan akan berkumpul disatu meja. Menceritakan bagaimana acara liburan mereka yang ujung-ujungnya, membicarakan berbagai hal alias bergosip. Sementara itu, para laki-laki akan berada di belakang kelas. Bermain kartu, gitar hingga bernyanyi dengan suara yang pas-pasan. Benar-benar murid yang berbakti bukan?

Maka dari itu, ketimbang melamun menunggu bel pulang berbunyi, April memilih berakhir disini. Setidaknya, tempat ini tenang sebelum kedatangan Farhan. Hanya tinggal menghitung mundur, lelaki sebayanya itu merusak suasana.

“Soal turnamen Minggu depan ...”

Nah, kan. Tepat sesuai dugaan. Tubuh April berputar dengan cepat, selaras dengan tatapan matanya yang kian tajam. “Kalau lo mau Erin yang maju, mending enggak usah dibahas.”

Sepersekian detik kemudian, bola yang dipegang April melesat ke arah Farhan. Tidak terlalu cepat dan keras, tetapi Farhan sama sekali tidak menghindar sehingga bola itu mengenai perutnya. Keputusan tepat sebab, April mungkin saja kembali mengulangi insiden pelemparan itu jika ia menghindar. Dan lemparan selanjutnya pasti akan lebih bertenaga.

“Mereka juga layak dapet kesempatan, Pril,” ucapnya tenang.

“Kesempatan,” ulang April sembari melangkahkan kaki. Berjalan mendekat ke arah Farhan dan berhenti satu langkah di depannya. “Basi tau. Lo selalu pakai alasan yang sama. Hasilnya, kesempatan itu cuma bikin pacar lo banyak tingkah.”

“Erin bukan pacar gue, berapa kali gue haru jelasin soal itu?” tanya Farhan tidak mengerti. April seharusnya paling tahu, siapa perempuan yang disukainya sejak lama.

“Sekarang emang bukan, tapi bukan berarti dia enggak akan jadi pacar lo, kan?” April membungkuk, meraih ponsel miliknya–yang tadi memang sengaja di letakan di tepi lapangan–lantas kembali bangkit. “Intinya, gue enggak akan biarin tim junior bikin kacau, lagi.”

Setelah mengatakan itu, April berlalu meninggalkan Farhan yang terdiam memandangi bola. Begitu keluar dari lapangan, April berbelok ke arah berlawanan dengan kelasnya. Dengan keadaan tubuh berkeringat pasca bermain basket sendirian, minum air dingin dikipasi angin sepoi-sepoi pasti menyenangkan. Maka kantin jadi pilihan tepat untuk dikunjungi ketimbang ruang kelas yang berisik.

Sesudah mendapatkan segelas minuman dingin yang diinginkannya, April duduk di salah satu kursi kantin. Desahan nikmat dikeluarkan begitu minuman segar melewati tenggorokannya. Tepat seperti bayangan tadi. Sayangnya, pemandangan kedua orang yang baru memasuki area kantin membuat bibirnya berdecih.

“Enggak pacaran apanya, ke kantin aja harus berdua gitu,” cibir April sebelum kembali menyeruput minumannya.

“Lah Pril, kok lo disini?”

Atensi April seketika teralih. Dipandanginya Mita juga Nadia yang berdiri di sampingnya–temannya sejak sekolah menengah pertama–dengan alis terangkat. “Terus gue harus dimana?”

Belum sempat salah satu dari keduanya menjawab, ponsel April lebih dulu bergetar. April meraih benda persegi itu di saku seragamnya. Lampu notifikasi terus berkedip, menandakan ada panggilan atau pesan yang masuk. Benar saja, April menemukan delapan panggilan tak terjawab dan pesan dari Resta–teman sebangkunya.

Dear My Teacher (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang