5. Lupa (revisi)

455 27 7
                                    

"Pril, Leo mana?" tanya Devina ketika semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan.

"Kamar, masih capek katanya," jawab April yang langsung mengambil tempat duduk di sebelah Pras dan meminum susunya. "Aku bareng Papa aja ya."

Pras menatap curiga pada adiknya sebelum bicara, "Kenapa, lo gak mau bareng gue Hah?! Sayangnya hari ini Papa berangkat sama gue tuh."

ucapan Pras membuat April mengerucutkan bibir. Apalagi ditambah dengan senyum menyebalkan dari abangnya itu. Sungguh ia masih kesal dengan Pras karena semalam. Dan niatnya ingin menghindari lelaki itu dengan berangkat sekolah bersama Adrian. Tapi itu hanya niatannya saja yang tidak bisa terlaksana.

Setelah sarapan mereka bergegas ke depan rumah diantar oleh Devina. Pras dan April menyalami Mamanya. Lalu Devina menyalami suaminya yang kemudian mengecup keningnya lama. Pasangan yang sudah lama menikah ini tampaknya akan selalu romantis.

"Pa aku bisa telat ini." ucapan April menginterupsi orang tuanya yang langsung salah tingkah. Ayolah ... ini masih pagi dan orang tuanya malah sibuk bermesraan.

"Tau tuh, kita kan ada meeting pagi, Pa. Emangnya semalem masih kurang ya," sambung Pras.

"Emangnya semalem Mama sama Papa ngapain?" April bertanya dengan mata mengerjab bingung.

Plak.

April tak mendapat jawaban dari orang tuanya. Mamanya bahkan memalingkan pandangan. Lalu ia malah menyaksikan kepala Pras yang dipukul keras tanpa perasaan oleh Adrian. Drama keluarganya dimulai lagi di pagi hari, tidak bisakah mereka lebih tenang.

"Udah jangan dengerin Abang kamu, yuk kita berangkat." Adrian langsung menyuruh April masuk ke mobil tanpa peduli dengan anak lelakinya yang meringis kesakitan. Biar tahu rasa dia, siapa suruh usil. Ini pasti karena anak lelakinya itu masih jomblo. Kasihan, dulu saat seusia Pras ia sudah menikahi istrinya.

Sampai di sekolah, April berjalan santai di koridor panjang menuju kelasnya. Dimana dia akan melewati ruangan para guru. Ya, di sekolah ini setiap guru memiliki ruangan masing-masing. Langkahnya yang tenang langsung terhenti begitu salah satu pintu ruangan terbuka dan penghuninya keluar. Dalam hati sempat menyesal kenapa tadi tidak memilih jalan lain, meski itu berarti ia harus memutar dan kemungkinan digoda oleh adik kelas. Pilihan itu lebih baik daripada bertemu dengan guru menyebalkan ini.

Ingin berbalik dan pergi namun tidak bisa karena sipemilik ruangan itu sudah melihat April. Lelaki itu masih memegang handle pintu ketika memperhatikan April yang berhenti dua langkah darinya. Suara bel berbunyi menginterupsi keduanya untuk kembali beraktivitas.

"April."

Merasa namanya dipanggil, April mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk karena malas bertatap muka dengan Rian. Dia menemukan Rian masih berdiri didepan pintu ruangannya. Apa laki-laki itu tidak mengajar, inikan sudah bel. Tanpa sadar dirinya sendiri masih diluar kelas padahal bel masuk sudah berbunyi. Dengan enggan bibirnya tersenyum, sekadar untuk bersopan santun tentunya.

"Kamu mau ke kelas kan? Saya juga, ayo, saya ada jam di kelas kamu," ajak Rian yang kemudian berjalan mendahului April yang terdiam.

"Kamu mau bolos dari pelajaran saya hm?"

Rian bertanya setelah tubuhnya berbalik dan menemukan April masih berdiri di posisinya semula. Seolah tersadar karena pertanyaannya, gadis itu tergagap dan mulai melangkah. Dalam hati, April terus merutuk kenapa pelajaran matematika ada di jam pertama.

Tepat didepan pintu Rian tiba-tiba berhenti membuat April juga terpaksa menghentikan langkahnya. April langsung memuji refleks tubuhnya cepat, karena kalau tidak, keningnya pasti akan sakit menabrak punggung tegap Rian. Sebenarnya apa yang membuat lelaki itu berhenti, padahal tinggal membuka pintu dan masuk saja, iya kan. Dan pertanyaan yang hanya berputar di otaknya itu langsung terjawab tak lama kemudian. Seolah Rian tahu apa yang sedang ia pikirkan.

Dear My Teacher (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang