Pasca perdebatan tidak penting perihal kemauannya untuk tetap pergi sekolah dengan kaki terluka, April berjalan dengan langkah yang mirip orang pincang. Kakinya memang tidak terluka parah, hanya saja cukup menimbulkan rasa nyeri saat dibawa berjalan. Hal ini juga yang memicu yang perdebatan kecil di rumah. Dimana sepupu dan kakaknya melarangnya untuk pergi sekolah. Bahkan ketika April memaksa untuk pergi sekolah, Leo memintanya untuk menggunakan kursi roda. Ayolah, kakinya hanya terluka sedikit dan mereka memperlakukannya seperti orang lumpuh.
Setelah menyakinkan Leo dan juga Pras tentunya, akhirnya April bisa pergi ke sekolah dengan normal. Tolong jangan bahas cara jalannya karena ia sadar itu tidak normal.
Tujuan April saat ke sekolah datang bukanlah kelas melainkan kantin. Tenggorokannya kering, jadi dia akan membeli air terlebih dahulu.
“Gimana?”
Seketika April menoleh, menemukan Rian yang sudah berdiri di sampingnya. "Apanya?” tanyanya sembari menerima uang kembalian. Meminta penjelasan lebih jauh dari maksud pertanyaan tadi.
"Ee ... itu kaki. Gimana kaki kamu?"
"Oh, udah mendingan kok Pak."
“Baguslah.”
Lalu tanpa kata Rian meninggalkan April yang kebingungan. Jadi, tujuan Rian mendatanginya hanya untuk bertanya itu? Aneh. Usai menggendikan bahunya acuh ia lalu memilih untuk segera ke kelas. Begitu duduk di kursinya, April merogoh laci meja. Hendak mengambil buku paket fisika tertinggal di sana. Namun selain buku, dia juga menemukan sesuatu di dalam laci mejanya. Sebuah kotak berwarna merah dengan pita berwarna senada.
Sontak saja April dibuat mengernyit bingung. Kalau cokelat, bunga atau surat cinta ia tidak akan heran. Maka dengan dilandasi rasa penasaran tangannya bergerak membuka kotak itu. Bibirnya tersenyum ketika mendapati sepasang sepatu berwarna putih. Sangat kontras dengan kotak yang membungkusnya.
Tidak lama setelah itu, tiba-tiba saja benda di dalam saku seragamnya begetar. April segera mengambil handphone-nya. Sebuah pesan baru saja dan langsung dibuka yang ternyata dari Rian.
Gimana?
Bibir April kembali tersenyum. Sekarang mengerti maksud pertanyaan Rian saat di kantin. Pantas saja tadi suara lelaki itu gugup. Pertanyaan yang Rian ajukan dimaksudkan bukan untuk kakinya. Tetapi mengenai pendapatnya tentang sepatu yang dibeli Rian, guna memenuhi janji yang ia paksakan untuk gurunya itu. Tepat ketika akan membalas pesan itu, Mita dan Hani masuk ke dalam kelas. Secara otomatis matanya berotasi, mereka akan segera membuat kehebohan.
"Wih apaan nih?" tanya Mita yang sudah duduk di samping April. Langsung mengambil salah satu sepatu untuk mengamatinya dari dekat tanpa permisi.
"Wah sepatunya bagus,” komentar Hani, “beli dimana?”
"Ada yang kasih,” jawab April malas. Sudah bisa ditebak jika sebentar lagi dua sahabatnya ini akan mengalami kepo tingkat tinggi.
"Siapa? Pacar? Siapa pa-Aww! Ih Res lo apaan sih."
Resta yang baru datang langsung menoyor kepala Hani. Ia eletakkan tasnya di sebelah April sebelum menyahut, "Lagian lo aneh-aneh aja. April kan enggak punya pacar."
"Oh iya ya hehe ... gue lupa," ucap Hani sembari menggaruk pelipisnya.
"Nadia mana?" April berusaha mengalihkan pembicaraan dari sepatu pemberian Rian. Untungnya, pertanyaan itu cukup untuk mengubah topik pembicaraan. Topik sepatu pun terlupakan sampai bel masuk berbunyi. Mereka lalu pergi ke lapangan untuk upacara bendera.
Sementara Rian yang sedang duduk di kursi di dalam ruangan, terus menatap handphone yang ditaruh di atas meja. Tengah menunggu balasan dari April yang tak kunjung datang. Apa April belum melihat sepatu pemberiannya? Apakah ukuran sepatunya pas? Atau jangan-jangan gadis itu tidak menyukainya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Teacher (End)
Fiksi RemajaKehadiran Rian sebagai guru matematika baru di sekolah membuat hari-hari April ditahun terakhir SMA-nya menjadi tidak tenang. Diawal pertemuan saja, Rian sudah menghukum April. Hukuman yang kemudian berlanjut kehukuman lainnya. Hingga suatu peristiw...