Saat ini April sedang men-drible bola yang sebelumnya ia ambil diruang olahraga. Kala kembali ke kelas, April mendapati gurunya di pelajaran terakhir tidak masuk. Sehingga gadis ini memutuskan untuk pergi ke lapangan. Diawal-awal kakinya memang terasa sakit, tapi lama-kelamaan dia tidak merasa sakit lagi ketika berlarian bersama bola
Kini April tengab bersiap untuk melakukan medium shoot, namun gagal. Bolanya hanya mengenai papan Ring bagian bawah lalu terpental. Membuat April berdecak karena tembakannya gagal. Segera saja ia melangkah untuk mengambil bola. Namun langkahnya terhenti ketika seorang laki-laki sudah mengambil bola dan berjalan mendekat.
"Kamu tidak masuk kelas?"
"Tolong jangan hukum saya lagi," peringat April sebelumnya. "Gurunya enggak masuk, Bapak sendiri gak ngajar?"
"Saya sudah tidak ada jam."
"Mau main?" tantang Rian tiba-tiba
"Emang Bapak bisa?" tanya April dengan alis bertaut.
"Kamu meremehkan saya?"
April hanya mengangkat bahunya dengan gerakan ringan. Dia kan hanya bertanya, sama sekali tidak bermaksud meremehkan. Tapi April tidak menanggapi dan langsung mengambil posisi. Rian pun segera memulai permainan karena bola ada padanya. Sekitar lima menit berlalu, April tahu jika Rian bukan hanya sekedar bisa. Lelaki itu cukup jago. Di awal saja dia sudah ketinggalan poin.
Saat permainan berakhir, April duduk di tepi lapangan. Sementara Rian sedang membeli minum. Meskipun harus rela kalah, paling tidak April senang karena menemukan lawan yang hebat. Ingatannya melayang kepada beberapa saat lalu. Ketika Rian berusaha merebut bola darinya atau sebaliknya. Jarak mereka begitu dekat, dan sebenarnya itu hal wajar mengingat mereka sedang saling berebut bola. Namun ada yang tidak wajar pada kerja Jantungnya. Bahkan kini ia merasa pipinya sudah memanas.
Terlebih ketika April mendarat setelah melakukan lay up shoot, dia kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Tetapi Rian dengan gesit menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Jadi kekalahannya kali ini bukan karena Rian saja yang hebat. Beberapa faktor diatas membuat April terkecoh dan tidak bisa fokus tadi.
"Nih."
April tersentak. Dilihatnya Rian menyodorkan sebotol air mineral padanya. "Makasih,” ucapnya setelah menerima air mineral itu. Selagi ia membuka dan meminum air, Rian duduk di sampingnya.
Ketika teringat sesuatu, April menepuk jidatnya sendiri. Teringat sesuatu yang seharusnya di lakukan sejak pagi. Segera ia mengubah posisi duduknya menghadap Rian. Lelaki itu mengangkat alisnya bingung dengan gerakan April yang tiba-tiba.
"Makasih sepatunya, saya suka." April berucap tulus sambil tersenyum.
Sebenarnya Rian bisa menemukan ketulusan dimata gadis itu. Namun mengingat kejadian di kantin dia jadi ragu. Bukankah April tidak suka dengan sepatu itu? Maka matanya menelisik wajah April selama beberapa saat, sebelum mengalihkan tatapannya ketika melihat gadis itu tidak nyaman dengan tatapannya.
"Hmm." Akhirnya anya itu yang keluar dari mulut Rian pada akhirnya.
April mengernyitkan kening, tidak suka dengan respon Rian. Namun karena Rian baru saja memberikannya sepatu, i memilih mengabaikan dan bertanya hal lain. "Kok Bapak tahu ukuran sepatu saya?"
"Saya enggak tahu," aku Rian sambil masih menatap ke depan. "Itu ukuran sepatu adik saya, sebenarnya saya mau memberikan itu untuknya tapi dia tidak mau jadi saya kasih sama kamu. Syukurlah kalau pas, jadi saya tidak perlu membelikan lagi."
April dibuat melongo selama beberapa saat. Tidak suka dengan jawaban Rian yang sangat santai itu. Tidak modal sekali memberikannya sepatu bekas, yah meskipun masih baru tapi kan ... tetap saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Teacher (End)
Teen FictionKehadiran Rian sebagai guru matematika baru di sekolah membuat hari-hari April ditahun terakhir SMA-nya menjadi tidak tenang. Diawal pertemuan saja, Rian sudah menghukum April. Hukuman yang kemudian berlanjut kehukuman lainnya. Hingga suatu peristiw...