1: Langkah Pertama

1K 37 1
                                    


~2 bulan setelah kematian Ratu.~

Raja Jinheung yang telah 2 bulan menduduki tahta terlihat begitu larut dalam pikirannya. Ia berdiri di pinggir kolam istana, tempat ia banyak menghabiskan waktu akhir-akhir ini. Banyak hal yang dipikirkannya. Masih banyak rakyat Silla yang kelaparan, Kerajaan Baekje dan Goguryeo yang terus menggerogoti wilayah Silla yang memang lebih kecil daripada dua kerajaan tersebut. Ia juga memikirkan Hwarang, ia ingin menjadikan Hwarang harapan baru bagi Silla. Dan sebuah ambisi yang dipendamnya sejak lama, menyatukan tiga kerajaan, Goguryeo, Baekje dan Silla.

"Pyeha..." Suara yang amat ia kenal memanggilnya, "Ada apa, Pa Oh?"
"Utusan dari Baekje tiba di Istana,mereka membawa hadiah untuk penobatan anda." Lapor pria 43 tahun itu.
"Benarkah? Kalau begitu katakan pada mereka aku berterima kasih atas hadiahnya." Jawab Raja Jinheung santai. Ia hanya kurang suka dengan Baekje.
"Kenapa kau tidak pergi?" Tanyanya pada Pa Oh yang masih berdiam di tempat.
"Utusan itu berkata ia ingin bertemu dengan anda." Jawab Pa Oh.
Raja Jinheung menghela napasnya. "Aish! Dimana mereka?"
.
.
Raja Jinheung dan Pa Oh tiba di ruangan tempat para utusan itu berada. Ruangan itu adalah ruang tempat ia bekerja sehari-hari bersama para pejabat. Ia duduk di singgasananya. Seorang itusan terlihat masih berusia 30-an itu membungkuk padanya.
"Saya utusan dari Baekje. Raja Baekje mengucapkan selamat atas penobatan anda sebagai Raja Silla, serta ikut berduka atas meninggalnya Ratu Jiso. Baekje mengirimkan 1000 emas, 50 gulung sutera, 20 kulit harimau serta membebaskan 30 orang rakyat Silla yang ditahan di Baekje." Kata utusan Baekje tersebut.
Raja Jinheung mengangguk, "Sampaikan terima kasihku pada Raja Baekje. Kudengar ia sedang sakit saaat ini. Aku mengharapkan kesembuhannya." Balas Raja Jinheung tulus.

"Dan juga, Putra Mahkota Baekje ingin saya memberikan surat ini pada anda." Utusan tersebut kemudian mengeluarkan amplop kain dari dalam bajunya. Ia memberikannya pada Pa Oh yang kemudian membawakan surat itu pada Raja Jinheung.

"Putra Mahkota?" Tanyanya saat ia membuka surat itu. Ia kemudian membacanya.


'Selamat atas penobatan anda, Yang Mulia. Jadi Raja yang bertarung denganku saat itu bukanlah Raja Silla yang sesungguhnya? Bukankah anda juga merupakan salah satu dari keempat Hwarang tersebut? Bagaimana bisa seorang Raja tidak bisa mengatakan dirinya adalah Raja di depan rakyatnya. Anda sungguh seorang pengecut. Karena anda adalah Raja, bukankah anda masih memiliki hutang yang belum anda penuhi? Jika kita berkesampatan bertemu di lain waktu, bertarunglah denganku. Kudengar anda memiliki Hwarang. Sebaiknya persiapkan Hwarang anda dengan baik, karena sewaktu-waktu Baekje dapat menyerang Silla. Dan mengenai hadiah yang dikirim ke Istana anda, barang-barang itu adalah hadiah-hadiah yang pernah Silla kirim ke Baekje. Dan kami hanya memberikan sedikit dari sekian banyak yang telah kalian kirim ke Baekje. Aku menantikan pertemuan kita, Yang Mulia.'


Raja Jinheung menutup matanya dan menggeram pelan dengan tangannya yang meremuk ssurat penuh hinaan itu.
"Orang itu..." Gumamnya tertahan. Ia menatap Utusan Baekje tersebut, "Katakan pada Putra Mahkota-mu, aku juga menantikan pertemuan denganmu. Dan aku juga akan membayar hutangku.Katakan seperti itu, dan kau sebaikmya cepat meninggalkan Silla."
Sang utusan membungkuk, "Baik, akan saya sampaikan." Kemudian utusan itu meninggalkan ruangan.

"Pa Oh!" Panggil Raja Jinheung.
"Ya, Yang Mulia." Jawabnya tegas.
Raja Jinheung menatap pengawal kepercayaannya itu, "Aku akan mengadakan pertemuan besok pagi, panggil para Jenderal, Gubernur wilayah perbatasan, Menteri Pertahanan dan Pungwolju Kim Wihwa."
Pa Oh menundukkan kepalanya, "Baik, Yang Mulia. Saya akan memberitahu mereka." Kemudian ia pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Raja Jinheung membuka kembali surat dari Putra Mahkota Baekje yang telah ia remukkan tadi. Ia meletakkan surat itu di meja.
"Jadi kalian ingin menghancurkan Silla? Baiklah, lakukan saja. Tapi Silla tidak akan lagi menjadi Negara yang lemah." Ia menatap surat itu dengan penuh tekad.
"Hwarang."
.
.
Rumah Hwarang

Anak-anak panah melesat di udara, hanya beberapa anak panah saja yang berhasil mengenai papan sasaran. Dan para Hwarang yang berhasil mengenai sasaran menyunggingkan senyum puas.

Para Hwarang tersebut dulunya adalah anak para bangsawan yang biasanya selalu bermain dan tidak bisa mandiri. Namun di Rumah Hwarang, apapun status yang melekat pada anggota Hwarang tidak akan berlaku. Mereka adalah keyakinan baru Silla, pemuda-pemuda secantik bunga yang akan membawa kemakmuran dan kehormatan Silla. Mereka dilatih bela diri, seni, moral, pengetahuan dan ajaran Buddha yang akan mengabdikan diri untuk Silla dan Raja.

Latihan memanah telah usai, mereka diberi waktu untuk istirahat sebelum pelajaran selanjutnya dimulai.
"Haaahh..lihatlah ini, memanah membuat tanganku menjadi kasar dan terluka. Tangan halusku...." Keluhan manja itu meluncur keluar dari Yeo Wool. Ia memandangi telapak tangannya dengan tatapan nanar.
Suho yang berada di sampingnya menatap pemuda cantik itu meremehkan.

"Kau sebut dirimu Hwarang jika begitu saja sudah mengeluh? Lihat tanganku ini, aku bahkan melindungi Ratu dengan tangan ini." Kata Suho dengan bangga. Namun ia terdiam akibat kata-katanya sendiri. Ia masih mengingat ketika ia menggendong Ratu saat kaki wanita itu menginjak duri kemudian membersihkan duri itu dari kaki Ratu, ia juga mengingat saat ia menangkap Ratu yang pingsan.

Semua kilasan memeori itu membuatnya sedih. Ia begitu mengagumi pesona Ratu, dan ia harus mengikhlaskan diri saat Ratu meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Sejak saat itu, ia cenderung lebih diam dan menyibukkan diri dengan berlatih.

"Sebentar lagi Festival Panen Raya, menurutmu apakah Raja akan merayakan festival ini? Mengingat Ratu meninggal dunia belum lama ini." Tanya Yeo Wool pada Suho.
"Entahlah..." Jawab Suho malas. Ia kemudian berjalan mendahului Yeo Wool.
"Aish..Anak itu." Kesal Yeo Wool.
.
Musim panas telah berganti menjadi musim gugur. Matahari tak lagi seterik minggu-minggu lalu. Di perbatasan Silla dan Baekje, prajurit perbatasan dari kedua kubu saling menyerang. Meski dalam jumlah kecil, suasana di wilayah tersebut begitu serius, tak satupun dari masing-masing kubu berniat menurunkan pedang mereka.

"Berhenti!!" Suara teriakan tersebut berasal dari seorang pria yang memacu kudanya dari arah belakang prajurit Silla.
Para prajurit Silla yang mendengar seruan itu langsung menghentikan gerakannya. Begitu pula prajurit Baekje yang berhenti menyerang lawan mereka.

Pria berkuda itu mendekati prajurit Baekje. "Aku Kepala Prajurit Perbatasan, Kim Saheum. Aku yakin ini hanya sebuah kesalahpahaman, aku akan menarik prajurit Silla dari wilayah ini. Dan kalian sebaiknya juga meninggalkan wilayah pertarungan ini. Mari selesaikan perselisihan ini dengan damai, sebelum mengakibatkan masalah yang lebih besar." Kata pria di pertengahan 30 tahunan dengan janggut tipis itu pada prajurit Baekje.

Prajurit Baekje bersedia meninggalkan wilayah tersebut, begitu pula prajurit Silla yang kembali ke Pos Perbatasan bersama Kepala Prajurit.
Sampainya di Pos, Kim Saheum segera mengadili para prajurit yang berselisih dengan prajurit kerajaan tetangga.

"Wilayah perbatasan adalah hal sensitif bagi Silla dan Baekje. Sadarkah kalian bahwa tindakan kalian tadi dapat menyebabkan perang bagi kedua Negara? Jika hal ini sampai ke telinga Raja dan membahayakan Silla, maka nyawa kalian adalah bayarannya." Bentak sang Kepala Prajurit kepada para prajurit yang tak sampai lima belas orang itu. Sedangkan para prajurit itu hanya dapat menundukkan kepala mereka, menyesali perbuatan mereka yang bisa saja menyebabkan perang bagi kedua Negara.

"Aku tidak ingin kejadian ini terulang kembali, mengerti!"
"Mengerti!" Jawab mereka serempak.



Bersambung...

Hwarang: King Jinheung The GreatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang