Ch 2 : Kisah di Baliknya

2.1K 222 41
                                    

Rintik hujan mulai membasahi jendela besar selasar. Meski tidak begitu jelas, Alex masih bisa menatap pemandangan yang terbingkai di baliknya. Sejauh mata memandang, hanya bagunan khas kota tua yang terlihat, barisan kendaraan yang tumpah tindih di persimpangan, juga kunang-kunang elektrik di papan reklame yang sesekali hidup-mati, ikut menyesap kehidupan malam pusat kota Medan yang penuh sesak. Ketika bola matanya kemudian bergerak ke kiri, dia mendapati sesuatu yang cukup menarik perhatiannya: sebuah menara jam raksasa. Menara itu berdiri di antara bangunan-bangunan perkantoran yang tampak lebih rendah. Pukul dua lewat lima belas menit. Alex merekam sudut-sudut jarum jam dalam tampilan waktu pada menara tersebut.

Atensinya kemudian teralihkan oleh derap langkah kaki seseorang di ujung selasar. Alex menoleh dengan cepat, lalu menghela napas lega. Setelah cukup lama menunggu, orang yang dia tunggu-tunggu akhirnya muncul juga di sana. VJ, dengan wajah kuyunya, berjalan ke arah Alex. Kepalanya tertunduk dalam. Alex hanya tersenyum kecut melihatnya.

"Bagaimana makan malamnya? Menyenangkan?"

VJ menggeleng, lalu berdiri di sebelahnya. Ragu-ragu, dia membuka mulut, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar.

Sebenarnya tanpa bertanya pun, Alex tahu jawabannya. Dia sudah menduga kalau semua akan jadi seperti ini. Karena itu dia rela menunggu VJ di selasar, melewatkan malam tahun barunya tanpa Rumi.

"Kenapa?"

"Ibuku ada di sana. Juga, Ecca ...."

VJ berusaha tegar, meski Alex jelas-jelas melihat tangannya gemetar. VJ terdiam cukup lama. Alih-alih melanjutkan kata-katanya, kakinya justru melangkah menuju lift. Dia menekan tombol. Menunggu pintu besi itu datang dan menjemputnya.

VJ tak berkata apa-apa lagi setelahnya. Dia memang tidak pernah suka membahas tentang keluarganya. Alex cukup mengerti alasannya. Mereka sama. Hidup tanpa keluarga. Sebatang kara. Namun, Alex masih beruntung. Dia punya Bi Asih yang mengasuhnya selama ini. Sedangkan, VJ, dia hidup sendiri.

"Meli menelponku tadi. Dia menanyakan apa kau akan pulang atau tidak. Dia bilang, dia sudah membeli pizza." Alex memang tidak pandai menghibur seseorang, tetapi dia cukup pintar mengalihkan topik pembicaraan.

"Pulanglah, J. Temui dia." Alex menyerahkan kunci mobilnya. Bersamaan dengan itu pintu lift di hadapan mereka terbuka perlahan. VJ masuk ke dalam, sementara Alex masih mematung di luar. Alex masih menungguinya, sampai pintu lift itu menutup dengan sendirinya, membawa serta anggukkan dan senyum getir di wajah VJ turun ke bawah.

_________________


"Lalu, apa yang dia lakukan di hotel malam itu?"

Lagi-lagi--Alex mengerang jengkel tanpa suara. Buku-buku jarinya sudah memutih sejak tadi. Dia muak, sungguh. Ini sudah ketiga kalinya dia bercerita. Namun, petugas polisi bernama Adam itu tidak peduli sama sekali. Pria berambut tipis dengan kumis seadanya di kedua sudut bibir itu terus mengajukan pertanyaan yang sama. Tanpa jeda, membuatnya muak setengah mati. Pada akhirnya apa yang Alex katakan tidak akan ada gunanya. Alex menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan hasrat untuk tidak merontokkan gigi pria itu.

"Menghadiri acara makan malam bersama keluarganya."

Adam berhenti mengetik. Matanya meneliti dengan cermat ekspresi di wajah Alex. Alex tampak jenuh, kentara sekali. Rambutnya yang awut-awutan tidak karuan disibaknya berulang kali. Bola matanya berputar ke sana-kemari. Adam mendengus melihat Alex yang terus bergerak di kursinya. Nyaris dua jam Adam menahannya di ruang interogasi. Adam hanya menginginkan sebuah kejujuran. Sampai Adam mendapatkannya, dia tidak akan melepaskan Alex.

"Kau ini mabuk, he? Kau pikir aku akan percaya dengan semua omong kosongmu?"

Fuck. Diam-diam Alex mengacungkan jari tengahnya di bawah meja. Emosinya benar-benar terkuras sekarang. Dia tidak akan bisa bertahan di ruang interogasi lebih lama lagi. Terlalu sumpek dan sempit. Sedari tadi keringat di punggungnya mengalir deras sampai membasahi sandaran kursi yang didudukinya. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari lampu pijar di atas kepala. Di balik kaca tebal yang memisahkan ruang interogasi dan ruang observasi, pastilah ada banyak orang yang memerhatikan gerak-geriknya. Alex butuh jeda. Sebatang rokok beserta pemantiknya mungkin akan membuat Alex merasa lebih baik. Sayangnya, Alex tidak mungkin meminta hal yang macam-macam seperti itu. Adam sudah memperingatkannya tadi. Alex terancam dipenjara, jika dia sampai berani menghalang-halangi penyelidikan.

"Makan malam, apanya? Kedua orang tuanya bahkan sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Apa menurutmu tulang belulang mereka bangkit dari kubur di malam tahun baru itu? Hah?" Adam berdecak kuat sembari mengeleng-gelengkan kepala.

"Tapi memang itulah yang terjadi sebenarnya," sambar Alex cepat. Dia tetap pada pendiriannya. The fuck? Kedua orang tua VJ sudah meninggal? Alex tidak habis pikir mendengarnya. Tetapi jika ucapan Adam benar, lalu siapa orang yang VJ temui di hotel malam itu?

"VJ bilang akan makan malam dengan keluarganya di hotel itu. Aku yang mengantarnya ke sana. Hubungan mereka tidak baik sejak dulu. Karena itu VJ membatalkan niatnya, lalu aku menyuruhnya pulang ke kos saja. Menemui Meli. Dengan mobilku." Alex kehabisan kata-kata. Dia merasa sudah menjelaskan semuanya. Tetapi, Adam, si polisi gila itu masih saja menganggapnya angin lalu.

"Kalau memang begitu, apa kau tau siapa nama ayah dari temanmu itu?"

Alex diam seribu bahasa. Ucapan Adam selanjutnya seakan menampar dirinya.

"Teman macam apa kau ini?"

"Yang aku tahu hanya nama adiknya saja. Ecca. VJ memanggilnya seperti itu."

Adam menyipit. Ekspresinya mengindikasikan bahwa mungkin ada ribuan nama Ecca di dunia ini.

Polisi itu benar, teman macam aku ini, batin Alex gusar. Ternyata Alex memang tidak tahu apa-apa tentang VJ. Siapa keluarganya, di mana kampung halamannya, Alex sama sekali tidak tahu.

Alex merasa tertipu. Bagai mendapat kacang tanpa isi. Selama ini VJ hanya memberinya bagian kulit saja, sementara isinya, VJ menyimpannya entah di mana.

Alex digelandang ke kantor polisi saat sedang di kelab bersama teman-temannya. Sampai detik ini pun, Alex masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada VJ. Meli tewas mengenaskan di kamar kosnya. Benarkah VJ yang membunuhnya?

Alex tidak mungkin menyuarakan semua isi pikirannya pada Adam. Adam hanya akan semakin menyudutkannya. Juga, mustahil jika Alex bertanya pada VJ. VJ menghilang, setelah membuat mobil Alex ringsek parah menabrak tembok pembatas jalan di Gang Buntu menuju kos-kosan tempat ia tinggal. Demi kepentingan penyedilikan, Bangkai mobilnya masih dibiarkan di sana.

"Temanmu itu sudah membunuh kekasihnya sendiri, lalu kau masih berusaha menutupinya?"

Alex menggeleng tak percaya. VJ memang terlihat tidak baik-baik saja saat terakhir kali Alex bertemu dengannya. Dia bisa merasakan kesedihan itu di mata VJ. Tetapi VJ tidak mungkin membunuh orang, apalagi Meli, gadis yang sangat dicintainya.

"Aku berani bersumpah, VJ bukan orang seperti itu. Dia tidak mungkin melakukannya."

Adam mengangguk sekilas. "Kalau begitu ceritakan, seperti apa dia—VJ, temanmu itu."

OUR STORY [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang