Ch 4: Tikus Kecil Yang Malang.

1.3K 204 68
                                    

VJ tersenyum di tengah rasa putus asa yang menderanya. Semua itu karena Meli.

Dia baru membuka pesan dari Meli. Gadis itu mengirimkan sebuah foto. Tidak begitu istimewa memang. Hanya potret beberapa sisa potong pizza dalam kotak yang kelihatannya sudah hampir habis dimakan. Dengan caption konyol yang tertulis 'kapan kau pulang?'

Pesan itu dikirim satu jam lalu. VJ tertawa kecil. Pizza itu sekarang mungkin sudah dingin, lumer, juga tidak enak di lidah. Tetapi dia akan tetap menyukainya, ketimbang potongan daging sapi dengan kualitas nomor satu yang dia lihat di restoran tadi.

VJ menelan ludah. Mendadak hatinya terasa sangat kecut. Kejadian di restoran itu kembali terngiang dalam benaknya. Victor, Lilian, dan Ecca, betapa mereka terlihat begitu bahagia. Mereka seperti sebuah lukisan, yang sampai kapan pun tidak akan pernah berhenti bercerita. Tentang cinta, juga tentang kehangatan, yang mungkin tidak akan pernah dirasakan VJ seorang.

Air matanya mengalir sunyi. Namun, VJ segera menghapusnya begitu bunyi bel terdengar dari ponselnya.

Kau masih marah padaku? Kenapa kau mengabaikanku begitu? Baiklah, kalau itu maumu. Tunggu saja. Aku akan segera masuk ke kamarmu💋


TIINN ... TIINN

Bunyi klakson terdengar saling bersahutan.

VJ tersentak di kursinya. Suara klakson mobil kembali terdengar. Lampu di depan telah berubah warna, tetapi VJ belum siap menekan pedal gas. Pikirannya tiba-tiba melayang. Mengingat wajah Meli. Sedetik kemudian, dia terpaksa menjalankan mobil yang dia kemudian. Menyeruak barisan kendaraan di depannya. Sebentar kemudian, dia berhenti lagi. Lampu rambu-rambu lalu lintas di persimpangan pusat kota kembali menunjukkan warna merah. Suara klakson mobil semakin merajai jalanan. VJ mendadak gelisah.

Hatinya berkata, Meli pasti salah kirim. Benar. Pesan itu pasti hanya lelucon basi yang sama sekali tidak penting.

"Salah kirim?" VJ mengulang kalimat yang sempat terselip dalam benaknya. Jika Meli salah kirim, berarti pesan itu seharusnya ditujukan untuk orang lain--bukan untuk VJ. Perasaan gelisah semakin menelannya hidup-hidup. VJ menggeleng kuat sembari terus bergumam, "Tidak. Tidak. Tidak. Tidak mungkin!"

Dia ingin percaya, bahwa Meli tidak mungkin melakukan hal tersebut. Meli sedang menunggunya. Meli bahkan membeli pizza untuknya. Tidak mungkin dia menghabiskan waktu di kamar pria lain.

Tetapi bagaimana jika Meli memang bersama pria lain?

VJ tidak akan bisa membayangkannya. Kehilangan Meli sama saja seperti kehilangan dunianya. VJ tidak akan punya apa-apa lagi. Semua orang yang dia sayangi pergi meninggalkannya.

Apa maksudmu?

Aku di jalan pulang. Memangnya kau di mana?

Kau salah kirim?

Balas pesanku!!

Di mana kau? Berhenti membodohiku!

VJ memborbardir gadis itu dengan ribuan SMS, tetapi tak satu pun balasan masuk ke ponselnya.

VJ nyaris gila. Kali ini dia mencoba menghubungi Meli. Namun, hanya suara operator yang menjawab sambungan teleponnya. VJ masih berusaha bersabar. Sekali, dua kali, dia mencoba. Lagi dan lagi. Namun, hasilnya tetap saja sama.

Sibuk. Sibuk. Sibuk. Sibuk.

"MELI!!!" teriaknya frustasi. "Kenapa kaulakukan semua ini?!"

Kepalanya dipenuhi oleh bayangan Meli sedang yang tertawa-tawa bersama pria lain.

"Hah!" VJ terkekeh ngeri. Kata-kata manis yang pernah Meli ucapkan padanya, terdengar seperti omong kosong sekarang. Meli telah menipunya. Meli membunuh hatinya. Kepercayaan yang selama ini VJ berikan perlahan menguar. VJ kembali terkekeh. Dia menyesal karena terlalu banyak berharap. Pada akhirnya, kebahagiaan memang tidak akan pernah menyapanya. Persis seperti apa yang dikatakan oleh ibunya dulu.

Meli bilang, dia menyukai VJ.

Meli bilang, dia ingin selalu bersama VJ.

Dan dengan bodohnya, VJ memercayai ucapannya begitu saja.

VJ mengentak-entakkan kepalanya ke batang kemudi. Berharap suara-suara berisik yang mengganggunya lenyap bersama rasa sakitnya. Namun, Meli menolak untuk pergi. Dia terus bersuara dalam pikirannya, membuat VJ semakin tak menentu.

____________________

DRRT ... DRRTT ....

Ponsel itu menyala, bersamaan dengan suara ledakan kembang api yang sayup terdengar dari luar. Untuk kesekian kali Meli kembali terjaga dengan kedua mata yang terasa sangat berat bagai tertimpa bongkahan batu raksasa.

Meli berusaha meraih ponselnya yang kini telah padam. Jari-jarinya meraba-raba lantai yang dingin. Dia menangis sampai tersedak. Ponsel itu terlalu jauh dari raihan tangannya. Dia ingin menyerah saja, ketika lagi-lagi si pemilik sepasang kaki yang ditutupi sepatu boot hitam itu menendang ponselnya menjauh.

Meli sangat khawatir. Dia ingat, VJ selalu ketakutan saat mendengar bunyi ledakan kembang api. Dia pasti akan bersembunyi sambil menutup rapat kedua telinganya. Meli pernah bertanya, kenapa dia bertingkah seperti itu. Kau itu laki-laki atau bukan, sih? Kembang api sangat indah jika dilihat dari dekat. Meli sangat ingin melihatnya bersama VJ.

Tetapi, VJ tak pernah mau mengatakan alasannya. Dia hanya akan menatap Meli, sembari berkata bahwa dia baik-baik saja. Tahun ini VJ berjanji padanya akan melihat letusan kembang api bersama dari atas gedung. Meli tidak ingin memaksanya. Namun, VJ bersikeras tetap mempertahankan janjinya meski sepasang mata hazelnya terus bergetar. VJ tak bisa membohonginya. Meli tahu dia sangat ketakutan.

Kira-kira di mana VJ saat ini?

Meli tak bisa berhenti memikirkannya.

Ponselnya kembali bergetar kemudian. Menampilkan nama VJ di layar besar itu. Meli beringsut cepat, berusaha menyeret tubuhnya mendekat. Namun, lagi-lagi kaki bersepatu boots itu menggagalkan usahanya.

"Hah ... Kau mau ini? Ambil saja kalau bisa, hmm?"

Meli menengadah. Darah bercampur air mata membuat pandangannya mengabur, tetapi dia tahu lelaki itu sedang menertawainya dengan seringai licik. Kemeja hitam yang dikenakan pria jangkung itu membaur bersama suasana kamar VJ yang remang. Meli tidak tahu siapa pria itu, sebab wajahnya hanya terlihat samar-samar.

"Bre-ngsek ...," makinya, nyaris serupa rintihan lirih.

Pria itu tertawa puas, seolah sedang menikmati pertunjukan sirkus yang tersaji di hadapannya. Dia mengeluarkan sebuah pisau berukuran sedang dari dalam saku. Perlahan, telunjuknya menyapu ujung mata pisau yang berkilat di bawah cahaya lampu neon. Dia sudah tidak sabar.

Meli menatap benda tajam itu dengan tatapan ngeri. Dia terus menggeliat seperti ikan, berupaya meraih ponselnya. Mereka seperti sedang berlomba. Meli terus memanjangkan jari-jari lentiknya. Hatinya berteriak meminta tolong. Namun, sedikit pun pria itu tak berniat menunjukkan rasa belas kasihnya sedikit pun pada Meli.

Pisau itu mendarat tepat di atas punggung tangan Meli. Pria itu menekannya dalam-dalam. Membuat Meli berteriak kesakitan. Sayang, jeritan gadis itu teredam bersama suara ledakan kembang api yang kembali mengudara di atas langit.

Pria itu bangkit berdiri. "Hah ... membosankan."

Teriakan Meli semakin menjadi-jadi ketika pria itu mencabut pisaunya. Kali ini dia mengacung pisaunya di depan wajah Meli. Besi dingin bergerilnya di atas kulit putih pucat gadis itu. pria itu bersiap menggorok leher korbannya. Darah megucur deras dari luka yang dia sayat di leher Meli.

"Tikus kecil yang malang." Pria itu berucap keji. "Tidak seharusnya kau masuk ke dalam perangkap."

OUR STORY [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang